Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bagaimana Kaya Sebelum Tua Jika Begini

20 Juni 2022   10:39 Diperbarui: 22 Juli 2022   19:38 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: jernih.co

Sebagai pembahasan yang serius, saya mencoba menjabarkannya dengan serius juga meskipun impian menjadi kaya bagi orang-orang biasa seperti saya itu merupakan sebuah lelucon yang patut ditertawakan.

"Bayangkan biaya kebutuhan naik, gaji stagnan dengan standart upah minimum dan setiap hari harus makan, memenuhi kebutuhan, serta membeli barang-barang penunjang kehidupan yang pasti akan dibutuhkan"

Tentu bukan saya merendahkan diri, atau juga merendahkan orang yang sama-sama "biasa" seperti saya, tetapi ini "Indonesia", yang mana segala sesuatu di ukur dengan harta dan uang yang dimiliki dan itu berpengaruh pada status social kehidupan bermasyarakat kita.

Memaknai itu, saya juga baru-baru ini tentu sangat tertampar oleh realitas kehidupan saya sendiri, bagaimana seorang yang kaya juga mempengaruhi algoritma jodoh, yang mana jodoh, menikah, membangun rumah tangga merupakan jalan utama menuju kehidupan bermasyarakat umumnya di Indonesia ini.

Karena setidaknnya orang kaya itu lebih dipandang menarik membangun masa depan berkeluarga dibanding yang biasa atau miskin seperti saya dan mungkin kalian kebanyakan di Indonesia.

Bawasannya jodoh tidak dibuka lebar seluas-luasnya, intinya kebebasan berjodoh itu hanya ilusi belaka, yang akhirnya tetap yang ekonomi biasa berjodoh dengan biasa, miskin sama miskin dan yang kaya ada perhitungan bagaimana harta kekayaannya dapat ditambah satu sama lain mengkonspirasi kemakmuran, setidaknnya itu di dalam cara berpikir orang kebanyakan dari kita.

Namun itu realtif bisa di sepakati, itulah realitasnya berjodoh di jaman apapun yang sebelum-sebelumnya termasuk ruang-ruang abad ke- 21 ini, masih dengan diksi yang sama dan kita tidak dilahirkan sebagai generasi yang bisa menamfikannya.

"Bukan apa, saya tidak bermaksud menyindir kalian; seperti di jelaskan oleh Mentri Keuangan Sri Muliyani bahwa; kekayaan di seluruh Indonesia ini hanya dikuasi oleh satu persen orang-orang kaya Indonesia. Itu berarti yang biasa seperti saya dan kalian; bahkan miskin itu jumlahnya lebih banyak dan kemungkinan satu nasib sama saya itu realitas kita bersama yang tidak dapat kita pungkiri nasibnya".

Kembali pada pembahasan, bagaimana hal itu bisa menarik antara jodoh dan kekayaaan? Tentu tawaran dari kemapanan dan nasib yang mungkin kecil kemungkinan terkatung-katung di masa depan secara ekonomi bila berjodoh dengan orang kaya; menjadi tawaran yang realistis bagi kita atau orang-orang yang tidak memilih berjodoh dengan kita yang biasa dan cenderung miskin ini.

Sebenarnya, ini bukan masalah sakit hati atau apapun itu perkara saya tertapar realitas hidup tidak dipilih dan tidak bebas memilih jodoh, yang mana tertolak oleh jodoh itulah realitas yang sedang saya alami.

Ada tendensi realitas orang biasa yang cenderung miskin itu tidak dipilih oleh orang-orang yang ekonominya lebih diatas kita, berlaku juga dalam kehidupan kita saat ini, yang mana paradigma orang-orang Indonesia memandang harta dan kekayaan itu realitas seadanya yang harus disadari dalam hidup.

Apakah kisah perjodohan dan kekayaan semua itu salah? Bukan salah atau keliru, itu adalah hal yang paling normal dari manusia, yang mana mereka mencari aman dalam kondisi apapun termasuk pada bagian ekonomi hidup.

Ibaratnya di jaman batu, manusia berlindung di dalam sebuah Gua "berlidung" dari dingin maupun cuaca yang buruk. Sekarang pun sama mereka "manusia" berlindung di dalam penguasaan sumber daya dan kekayaaan untuk hidup, yang mana sumber daya dan kekayaan merupakan jaring pengaman yang nyata bagi manusia dewasa ini "aman" dalam mengarungi kehidupan berekonomi mereka.

Maka tertolak akan jodoh karena pengalaman waktu itu saya belum bekerja, saya anak orang yang biasa yang jika dihitung sumber dayanya sangat minim. Mungkin kasus itu sama dengan kalian kebanyakan mengacu orang kaya itu hanya 1 % di Indonesia; tetapi menguasai semua bentuk kekayaan yang ada, untuk itu nasib kita tidaklah mungkin banyak berbeda bagian dari yang 99 % itu .

Sebagai manusia, pelajaran apa yang dapat di sadari bersama antara orang yang biasa tertolak oleh jodoh yang di inginkannya, yang mana yang diinginkan itu keadaan ekonominya di atas kita?

Itu sangat menyadarkan kawan dengan apa itu "sadar" sebagai manusia bereksistensi dengan meterialisme. Ya tentu; bagaimana kita membangun kebutuhan material itu juga penting untuk disadari.

Tidak lain adalah menyelamatkan generasi kita kelak jika kalian ingin punya anak sama dengan paradigma orang-orang kaya itu berpikir, bagaimana pertukaran perjodohan dengan yang sama-sama kaya juga ada konspirasi kemakmuran untuk kebaikan generaasi mereka.

Saya jadi membayangkan ketika waktu itu saya dipermudah oleh jodoh yang sama sekali saya hanya mengandalkan kebutuhan dibawah perut untuk terpenuhi, yang pasti terjadilah pernikahan itu dengan sejumlah kebutuhan penunjang material yang tidak siap, belum bekerja, minim sumber daya dari orang tua.

Tentu kasusnya akan tambah bingung antara kebutuhan rumah tangga yang harus di bangun tetapi belum membangun karir dan finansial, yang juga harus terbangun sebelumnya mengakomodasi perjalanan dari sebuah pernikahan.

"Dalam hidup tidak semua dapat kita bangun secara bersamaan; contoh ketika kita berpacaran atau bergelut dengan gaya hidup seperti hobi "motor" atau "treveling" misalnnya. Mungkinkah dengan kebutuhan pacaran atau hobi itu secara bersamaan dijalankan, kita dapat membangun bagaimana tabungan itu dapat terkumpulkan walaupun kita sudah bekerja? Apa lagi belum bekerja tidak ada penghasilan mampukah membangun itu? Hobi butuh dibeli, bahkan pacaran butuh kencan sana-sini".

Semenjak saya sudah bekerja lagi, karena pas tertolak oleh jodoh itu saya terkena PHK akibat pandemi corona di awal 2020-an yang lalu oleh perusahaan saya bekerja.

Saya berterimakasih kepada yang menolak saya untuk berjodoh, yang mana saya dapat membangun pernikahan dengan material dan mental yang matang meski usia saya ini akan menginjak 30-an tahun. Tetapi saya tidak lagi mempermasalhakan itu untuk terus fokos menabung dari hasil bekerja saya meski upah saya sangat minim.

Tabungan bagi saya, apa lagi kita hidup dijaman yang serba material apa-apa harus di beli, harga-harga yang semakin naik tidak dapat kita control. Pentingnya tabungan untuk dapat memperkuat kita dalam upaya kita berdaya beli untuk jaring pengaman kehidupan kita.

Seperti banyak disinggung bahwa saya yang terlahir sebagai generasi milenial, diperdiksi oleh beberapa media konvensional akan sulit memiliki hunian. Tentu itu bukanlah ilusi namun sudah menjadi sebuah kenyataan yang harus kita terima oleh generasi milenial, dimana harga rumah dan tanah semakin naik, pendapatan kita tidak seberapa kenaikannya.

"Apalagi untuk generasi Z yang mungkin harganya akan lebih naik lagi di masa depan dengan kelangkaan sumber daya dan permintaan akan sumber daya itu meningkat dengan jumlah penduduk yang semakin banyak perlu kebutuhan akan hidup seperti rumah dan tanah".

Bukankah "rumah" merupakan salah satu penunjang eksistensialisme kita dalam hidup, yang mana rumah itu bukan saja sebagai identitas kita tetapi juga tempat belindung keluarga? Inilah yang membuat nikah dini, atau nikah dengan keadaan finansial yang belum kuat, bukan anak orang kaya dan sebagainya akan beresiko besar pada kemiskinan generasi kedepan.

Sebagai contoh dan perbandingan berpikir kita. Saya punya teman yang mana ia akan menikah, sebut saja namanya Aziz Zulfikar (28), ia akan menikah dengan wanita pujaannya dalam waktu dekat ini dengan keadaan yang belum bekerja, tabungan yang mungkin ada, tetapi jumlahnya tidak seberapa.

Orang tua Aziz memandang pernikahan anaknya dengan kekhawatiran, apakah mereka dapat memenuhi kebutuhan pernikahan anaknya? Sedangkan biaya pernikahan jumlahnya itu tidaklah sedikit, membeli emas, pernaik-pernik pernikahan, dan seserahan yang harus diberikan, semua itu harus dibeli dengan uang.  

Maka dengan persiapan menikah Aziz yang mungkin seadannya, apakah semua itu tidak akan mempengaruhi masa depan generasi Aziz itu sendiri, yang mana kaya sebelum tua itu bisa dilakukan oleh Aziz? Tidak merepotkan generasi sebelumnya, yang mana kedepan tidak direpotkan oleh generasi kedepannya dengan Bahasa sandwich generation didalam bentuk keluarga Aziz?

Pastinya semua anak yang terlahir sebagai milenial ataupun generasi diatasnya Z misalnya; bagaimanapuan akan menjadi beban bagi setiap generasi. Salah satu contohnya mungkin Aziz, bagaimana orang tuanya juga ikut menanggung beban penikahan Aziz yang sudah pasti tetap ikut menanggung bersama.

Dengan pemenuhan orang tua terus menerus terhadap kebutuhan anak membuat orang tua juga mungkin kesempatannya menabung sangat kecil, yang mana dana untuk masa tua nanti justru malah untuk kebutuhan anak, yang memungkinkan sanwicch generasion itu terjadi.

Namun kembali, "saat ini" merupakan cerimaman apa yang akan terjadi di masa depan. Jika hari ini belum ada persiapan hidup dengan tabungan finansial, tentu keadaannya akan sulit mengakses apapun kebutuhan hidup termasuk pernikahan dan bangunan keluarga setiap generasinya; salah satu contohnya adalah Aziz Zulfikar dan keluarganya itu mempersiapkannya untuk sama-sama membangun kelarga pula.

"Pasti akan ada hutang generasi, dimana generasi sebelumnya membeck up generasi sekarang dan generasi sekarang juga berkontribusi membeck up kebutuhan generasi sebelumnya itu adalah roda kepastian hidup itu, yang mana kesempatan kaya tua itu hal yang sulit diwujudkan saling gali lubang tutup lubang untuk generasi".

Belum dengan membangun keluarga ketika kita masih miskin, yang mana kita akan membawa istri pada kemiskinan dan juga anak "jika ada" ikut miskin. Saya membayangkan ketika kebutuhan hunian "rumah" saja oleh keluarga tidak terpenuhi dan saat ini masih sewa, bukankah dengan  pendapatan yang minimum selamanya hunian tidak dapat terjangkau, memungkinakan anak kedepan juga kasusnya akan sama tetap sewa rumah tidak dapat membeli rumah?

Itulah dasar-dasar yang mungkin akan terjadi kedepan bahwa kemiskinan structural itu teridetifikasi akan sangat mungkin terjadi. Itulah mengapa saya yang sudah bekerja saat ini dengan adanya penghasilan; berpikir bagaimana mempersiapkan finansial untuk hidup adalah priortas utama sebelum menikah dan membangun keluarga.

Menikah sesiapnya tidak berpatokan umur tetapi nilai finansial yang ada dan terkumpul selama lajang untuk menjemput jodoh dan membangun kelurga saya kelak.

Semakin tua dan saya semakin di sadarkan oleh realitas, saya semakin hati-hati dalam menetukan keputusan hidup dan tidak mau ceroboh mengikuti hawa nafsu yang sesaaat itu, bahwa pernikahan dan membangun keluarga, perlu persipan yang matang secara finansial dan mental.

Jika tidak sadar akan hal itu tentang pernikahan, resikonya akan sangat besar yang akan berbuah pada dosa mewarisi kemiskinan structural bagi generasi kita kedepan.

"Bagaimanapun kemiskinan itu merupakan siksaan bagi setiap generasi, yang mana karena kemiskinan akselerasi hidup itu sangat tipis dan sulit sekali berkembang menjadi lebih baik. Kebutuhan pendidikan, kesehatan dan lingkungan hidup yang layak bagi generasi semua itu dibutuhkan kekayaan atau cukup finansial dalam mengakses itu".

Inilah pekerjaan rumah bersama diri kita sendiri bahwa tantangan hidup kedepan akan semakin sulit dengan harga-harga kebutuhan yang naik. Maka dari itu kita harus beprikir dan bertindak untuk memecahkan solusi kehidupan bersama ini, yang tengah menjadi isu bukan hanya generasi saat ini tetapi lintas generasi memberikan sara hidup terbaik untuk kita dan siapapun nanti yang akan menjadi pewaris generasi kita.    

 

  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun