Di dalam setiap hal yang kita lalui dalam hidup, aku, kamu, dan mungkin mereka membutuhkan suatu dasar pertemanan yang bernilai untuk mengisi ruang-ruang hidup yang kosong.
Namun pembedaharaan pada kata "hidup" itu, sepertinya kita dan mereka hanya dapat menuntut bagaimana jika diri kita dimengerti tanpa kita melepas cara mengerti diri itu sendiri.
Sungguh seperti magic yang ajaib, kita terkadang lupa kita sendirilah yang salah menuntut dan terus menuntut demi sebuah kepuasan egoisme kita.
Kenyatataannya egoisme yang berujung pada pertengkaran dan juga sikap antitesisnya yaitu kedewasaan dari hidup. Mungkin hanya akan menjadi sedikit tanya dalam sebuah penantian kapan waktu dewasa itu datang, dimana kita tidak diselimuti lagi rasa egoisme yang berujung pada pertengkaran satu sama lain.
Memang sedikit agak canggung atau apapun perubahan dalam jalan hidup memang akan terus tampil pada apa yang semestinya dikehandaki. Tentu baik kedewasaan dan egoisme adalah sikap manusia yang tentu ada didalam tubuh, pikiran, dan perasaan yang sama.
Ibarat kesatuan dalam mesin, dimana setiap elmennya memiliki fungsi masing-masing. Sama halnya anatomi tubuh manusia yang mungkin saja menjadi dasar dari moodnya sendiri, yang fungsi dalam anatominya itu terkontaminasi pada racun-racun virus pikiran manusia sebagai chips dari otak yang menggerakan setiap bagian anatomi tubuh.
Tetapi entah bagaimana jalan itu dipijak bagi manusia yang selama hidupnya hanya menunggu kematian. Pada dasarnya setiap manusia adalah menunggu mati oleh sebab itu manusia dilahirkan.
Untuk itu cahaya pengetahuan dari dalam pembaharuan hidup itu semestinya diterima sebagaimana sebuah pelajaran dari hidup, dimana banyak orang bijak menyebut bawasannya hidup ini adalah bagaiamana kita melepas dahaga, hanya mampir untuk minum sejenak.
Apakah benar kita terlalu menggenggam apa yang disebut dengan kematian itu dan lupa bahwa kita ini dilahirkan untuk mati? Dari sedikit orang yang dimana dirinya tidak takut kematian dan mayoritas orang takut untuk mati.
Entah bayangan apa yang menakuti mereka pada bab kematian itu bila dilahirkan itu tetap masih berlangsung sebagai penyambung peradaban dunia. Seharunya jika manusia takut mati, mereka juga harus takut pada kelahiran dimana manusia-manusia baru itu tidak pernah dilahirkan.
Namun kenyataannya, jumlah dari manusia itu terus melaju menunjukan kenaikan yang sangat pesat. Mungkin itu lahir dari konsekwesi bahwa bumi ini masih mendukung seorang manusia untuk berkembang biak dengan tujuannya masing-masing yang bermuara pada kehendak alamaiah sebagai makluk hidup itu sendiri melestarikan spesies.
Apapun rasanya, semua manusia menuju jejak kebaikan dimanapun tempatnya dan bagaimapaun keadaaanya karena memang sifat alamiah manusia semuanya mengidealkan kebaikan termasuk menjemput kematian atau melahirkan spesies baru sebagai generasi penerus.
Namun mungkinkah kebaikan akan sama artinya bila dimaknai pada idealnya masing-masing manusia? Tentu kebaikan adalah hal yang berbeda bila dimaknai pada setiap pribadi masing-masing orang. Karena itu kebaikan bisa menjadi kejahatan bila ditafsir merugikan pihak-pihak lain yang tidak sama mengidealkan itu.
Dan itu hanyalah masalah persepsi dari kapasitas pemikiran logika manusia, karena bagaimanapun manusia diciptakan dengan logic yang kapasaitas dari berpikirnya ditentukan oleh pikirannya sendiri. Sedangkan asupan pikiran merupakan bagian dari bagaimana mereka sadar akan pengetahuannya sebagai bagian dari eksistensialismenya.
Tetapi bagaimanakah jika manusia diselimuti rasa gelap pada pengetahuan batin mereka sendiri yang justru saling menyakiti satu sama lain antara manusia atas dasar ketidak puasan mereka masing-masing yang disandarkan pada ego atau kehendak apa yang menguntungkan diri mereka?
Sebagai manusia tentu kenikmatan dari hidup telah kita terima dari apa yang kita sebut sebagai tuhan yang maha kuasa. Semestinya hidup dilalui dengan rasa bersyukur menjadi acuan yang utamanya bawasannya apa yang menjadi nasib diri adalah ketentuan yang seharusnya sudah harus disadari sebelumnya sebagai bagian dari deklarasi menerima hidup apapun konsekwensinya.
Seperti kata wanita dewasa disana dalam memandang sebuah pernikahan sebagai bagian dari kehendak alami manusia yang dibudayakan beratus bahkan beradad-abad yang lalu.
Pernikahan menurut wanita dewasa itu memang bukan lagi disandarkan pada ego masing-masing. Wanita menyadari bahwa hidup tidak ada yang mudah begitu saja menuruti apa yang diucapkan oleh orang-orang yang tidak merasakan hidupnya.
Wanita dewasa itu menganggap bahwa jodoh yang dipilihnya dalam sebuah pernikahan adalah kehendaknya sendiri yang menginginkan itu meski konsekwensi antara harapan dan kenyataan yang sangat berbeda.
Pernikahannya yang diselimuti pertengkaran dengan sang suami, dimana hari-hari mereka adalah ego masing-masing yang terus dipertentangkan. Tak ayal, kata-kata seperti kasar, saling menyalahkan satu sama lain dan harapan pada keuntungan masing-masing menjadi warna dalam bahtera rumah tangganya.
Dan apa yang harus dicontoh dari seorang wanita dewasa adalah dirinya yang memilih, dan apapun yang terjadi dalam pernikahannya merupakan konsekwesi yang harus juga diterima.
Ia menyangka seburuk apapun suaminya adalah hal yang harus dirasakannya, itu merupakan cerminan dirinya, dimana ketika dirinya justru menantangnya, yang ada hanya pertikaian yang tidak ada habisnya dan dapat berujung pada perpisahan yang mungkin diri sang wanita dewasa itu sudah mengikat kencang akan konsekwesi yang harus disadari sedari awal saat menginginkan sebuah pernikahan.
Kenyataannya titik kedewasaan, memang sulit untuk ditetapkan pada diri manusia. Karena yang tersisa pada sikap dewasa adalah menerima. Setiap orang harus menerima dirinya dan orang-orang yang sudah dipilihnya meskipun tidak sesuai dengan harapannya.
Namun sebagaimana harmonisnya sebuah hubungan tetap saja ada krikil-krikil pertengkaran kecil yang harus dilalui. Sebab kedewasaan adalah hormon, dan hormone itu berbeda-bede setiap harinya dengan tantangan keadaan diri dan pikirannya disini dan saat ini.
Mungkin kedewasaan itu bentuk dari rasa menerima untuk menyadari, pertengakran seperti apapun tetap akan terjadi dibalik egoisme dari bentuk kedirian seseorang. Manusia hanya dihadapkan pada control dari pemikirannya untuk memutuskan apa yang baik untuk mereka. Sekali lagi kedewasaan adalah sikap dari rasa terima yang harus mereka lakukan untuk meredam keputusan apa yang justru akan merugikan segala-galanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H