Namun kenyataannya, jumlah dari manusia itu terus melaju menunjukan kenaikan yang sangat pesat. Mungkin itu lahir dari konsekwesi bahwa bumi ini masih mendukung seorang manusia untuk berkembang biak dengan tujuannya masing-masing yang bermuara pada kehendak alamaiah sebagai makluk hidup itu sendiri melestarikan spesies.
Apapun rasanya, semua manusia menuju jejak kebaikan dimanapun tempatnya dan bagaimapaun keadaaanya karena memang sifat alamiah manusia semuanya mengidealkan kebaikan termasuk menjemput kematian atau melahirkan spesies baru sebagai generasi penerus.
Namun mungkinkah kebaikan akan sama artinya bila dimaknai pada idealnya masing-masing manusia? Tentu kebaikan adalah hal yang berbeda bila dimaknai pada setiap pribadi masing-masing orang. Karena itu kebaikan bisa menjadi kejahatan bila ditafsir merugikan pihak-pihak lain yang tidak sama mengidealkan itu.
Dan itu hanyalah masalah persepsi dari kapasitas pemikiran logika manusia, karena bagaimanapun manusia diciptakan dengan logic yang kapasaitas dari berpikirnya ditentukan oleh pikirannya sendiri. Sedangkan asupan pikiran merupakan bagian dari bagaimana mereka sadar akan pengetahuannya sebagai bagian dari eksistensialismenya.
Tetapi bagaimanakah jika manusia diselimuti rasa gelap pada pengetahuan batin mereka sendiri yang justru saling menyakiti satu sama lain antara manusia atas dasar ketidak puasan mereka masing-masing yang disandarkan pada ego atau kehendak apa yang menguntungkan diri mereka?
Sebagai manusia tentu kenikmatan dari hidup telah kita terima dari apa yang kita sebut sebagai tuhan yang maha kuasa. Semestinya hidup dilalui dengan rasa bersyukur menjadi acuan yang utamanya bawasannya apa yang menjadi nasib diri adalah ketentuan yang seharusnya sudah harus disadari sebelumnya sebagai bagian dari deklarasi menerima hidup apapun konsekwensinya.
Seperti kata wanita dewasa disana dalam memandang sebuah pernikahan sebagai bagian dari kehendak alami manusia yang dibudayakan beratus bahkan beradad-abad yang lalu.
Pernikahan menurut wanita dewasa itu memang bukan lagi disandarkan pada ego masing-masing. Wanita menyadari bahwa hidup tidak ada yang mudah begitu saja menuruti apa yang diucapkan oleh orang-orang yang tidak merasakan hidupnya.
Wanita dewasa itu menganggap bahwa jodoh yang dipilihnya dalam sebuah pernikahan adalah kehendaknya sendiri yang menginginkan itu meski konsekwensi antara harapan dan kenyataan yang sangat berbeda.
Pernikahannya yang diselimuti pertengkaran dengan sang suami, dimana hari-hari mereka adalah ego masing-masing yang terus dipertentangkan. Tak ayal, kata-kata seperti kasar, saling menyalahkan satu sama lain dan harapan pada keuntungan masing-masing menjadi warna dalam bahtera rumah tangganya.
Dan apa yang harus dicontoh dari seorang wanita dewasa adalah dirinya yang memilih, dan apapun yang terjadi dalam pernikahannya merupakan konsekwesi yang harus juga diterima.