Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Nasibmu Buruk, Harapanmu Sirna, Hidupmu Memprihatinkan, Itu Kebangkitan Spiritual!

16 Januari 2021   16:57 Diperbarui: 16 Januari 2021   17:15 1061
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setangkai gelas ini memanggil untuk dikucurkan air guna melepas dahaga tenggorokan. Kenyataanya hidup adalah paradoks, kontradiktif, bahkan mengandung kesumpekan, yang sangat dalam jika terus dirasakan pahitnya oleh manusia.

Entah mengapa sore ini, dengan disir dingin yang seperti menggoda saya, suara hujan rintik-rintik yang syahdu, membuat perenungan, saya haruslah menciptakan sebuah "kesadaran" yang tinggi bagi diri saya sendiri.

Sebagai anak manusia, tentu saya bukanlah sosok yang mampu menerima apapun dalam hidup ini. Adakalahnya saya tidak terima, saya ingin berontak, dan saya ingin mempertanyakan pada Tuhan, bagaimana ia menciptakan suatu keadilan bagi diri saya sendiri?

Namun, apakah sesuatu yang ada disana, tentang yang hidup disini, ditubuh ini, dan dikeadaan saat ini, kita menyalahkan sesuatu yang ada tidak ada dalam kapasitas diri kita sendiri? Bahkan kesalahan dan pergolakan nasib diri, bukankah kita sendiri yang menciptakan itu?

Ilusi besar, manusia seperti terdampar pada apa yang ingin ia sendiri harapakan untuk hidupnya. Tetapi konsekwensi dari harapan itu sendiri, bukankah hanya akan mendatangkan sebuah konflik dan kekecewaan jika keinginan yang tidak realistis itu semakin dipaksakan manusia?

Air hujan tipis kemungkinan akan datang pada saat musim kemarau, begitu juga kepastian dari konsekwensi hidup, mau tidak mau manusia harus terima sebagai sebuah perbuatan meski hanya menjadi harapannya sendiri.

Renungan akan nasib yang buruk, merasakan degradasi hidup, saat diri merasa krisis sana-sini, tidak diterima oleh keadaan yang diharapkan, mungkinkah itu merupakan sebuah kutukan dari yang maha kuasa pada diri-diri manusia?

Atukah dengan tinginya harapan itu, yang pada akhirnya adalah biang suatu kekecewaan manusia, mungkinkah banyak manusia terjebak pada harapannya sendiri, yang membuat mereka menderita dalam menjalani hidupnya?

Desir batu pada ombak laut disana, ada kalanya kita ingin menjadi mercusuar yang tetap berdiri dan gagah dibalik harapan-harapan yang kita sendiri harapankan dari hidup. Tanpa tahu mercusuar sendiri dapat dihatam badai besar ombak lautan dan terkikis oleh air yang menegelamkan pondasi-pondasi mercusuar itu.

Maka manusia, bahkan dirimu sendiri saja tidak abadi, tubuhmu akan mati dan menjadi tanah, dan keabadian hanya didapatkan pada jiwa. Namun bukankah jiwapun akan terus mengisi ruang-ruang yang mungkin akan terus berganti dalam hidup?

Ketika kita bayi, tumbuh menjadi dewasa, saat itu pula karena waktu, kita akan menjadi tua renta dan mati pada akhirnya. hidup yang seperti hanya mimpi bila direnungkan, Apakah yang akan kau cari manusia, untuk hidupmu di dunia ini?

Jika kau mencari kebahagiaan, bukankah hidup manusia bersanding pula dengan kesedihan? Ingin kekayaan, bukankah harus melihat dan merasakan suatu kemiskinan yang bisa saja tidak dapat ditolak?

Kaya dan miskin tidak harus dengan memiliki banyak atau sedikit harta, tetapi dengan kemiskinan akan karakter menjadi manusia itu sendiri, yang pada akhirnya membuat hidup selalu salah dalam memandang suatu kebenaran menjadi manusia itu sendiri itu juga merupakan suatu kemiskinan yang nyata didalam diri manusia.

Apakah kita pernah bertanya pada diri, untuk apa kita hidup di dunia ini? Mungkinkah kita hanya akan memandang harta yang berlimpah tanpa membangun sebuah karakter dalam menguatkan hidup itu sendiri?

Ataukah kita memang hidup didunia untuk memandang itu dan hanya akan mencari harta untuk kenikmatan-kenikmatan hidup dunia, yang sudah pasti dibalik kenikmatan ada kesengsaraan?

Harapan pada hidup yang tinggi, pada akhirnya ketika harapan itu menggebu-gebu, hanya akan menjadi sebuah konflik dalam diri. Apakah kita sebagai manusia sangat anti pada kehilangan-kehilangan harapan yang dapat saja sirna?

Seperti matahari yang bersinar pada siang, bulan yang terlihat dimalam hari, harapan pun seperti itu, ia tidak akan pernah tentu menjadi sebauh jawaban akan pertanyaan-pertanyaan diri atas keinginannya sendiri sebagai manusia yang berubah-ubah.

Dan bukankah secara pasti harapan berjodoh dengan kekecewaan? Bukankah tanpa harapan dan meneriman hidup apa adanya, diri-diri manusia itu tidak terbebani dalam memandang hidup? Kenyatanya manusia tahu harapan menyiksa dirinya, tetapi sedkit orang yang sadar akan itu.

Manusia terus terbuai oleh janji ketertarikan pada tubuh dan pikirannya sendiri, bawasannya hidup, harus merasakan apapun yang menjadi bagian dari harapan dan keinginannya sendiri.

Naasnya manusia tidak hanya berharap pada dirinya sendiri tetapi juga berharap pada orang lain untuk dapat saling memenuhi harapannya.

Disitulah akar konflik yang secara tradisi sendiri selalu mengancam manusia. Karena sebenarnya harapanlah dan saling mengahrapkan dirinyalah yang menciptakan sebuah konflik dalam bait kehidupan manusia.

Maka dari itu keprihatinan dalam hidup sendiri tidak lain berakar pada keinginan dan harapan yang kita gantungkan tinggi pada hidup.

Menjalani hidup sendiri nyatanya adalah citra dari adanya kesengsaraan dan kebahagiaan, mati dan terlahir kembali, serta penderitaan yang sebenarnya datang dari ilusi-ilusi pikiran yang manusia itu sendiri buat untuk kehidupannya.  

Setiap manusia terlahir secara pasti punya makna dari yang maha kuasa yang menciptakannya. Tanpa ada sebuah tujuan dari penciptaan manusia itu sendiri, mungkin kita sebagai manusia tidak pernah akan diciptakan oleh Tuhan.

Untuk itu dengan sikap-sikap manusiawi yang kita punya, ketertarikan pada nafsu tubuh, godaan pikiran, dan semua yang menjadi suatu ganjalan hidup antara bahagia dan duka nestapa.

Seringkali setiap kejadian pada diri manusia yang paling utama haruslah disadari mengapa semua itu terjadi dalam hidupnya sendiri. Ibarat hidup adalah penderitaan, dimana mimpi yang hancur, harapan yang sirna, nasib yang buruk, hidup yang memperhantinkan.

Tidak lain untuk diambil sebuah pelajaran bawasannya semua bentuk derita dan nestapa pada rasa itu sendiri, yang dirasakan oleh manusia adalah sarana kebangkitan spiritual manusia untuk menyadarkan arti menjadi manusia itu sendiri.

Karena dalam keadaan terpuruk, gagal, dan tidak diterima oleh hidup itu sendiri, sudah dipastikan cahaya-cahaya pengetahuan akan masuk untuk menunjukan dimana sebauh letak kesalahan dari hidup itu sendiri. Lalu mengajarkan umat manusia untuk lebih baik dalam menjalani dan memperjuangkan hidupnya dalam sebuah kebenaran sebagai manusia itu sendiri.      

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun