Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Mungkinkah Sang Aku akan Habis?

26 Desember 2020   07:19 Diperbarui: 26 Desember 2020   07:30 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: ujare.com

Saat riuh mulai berbisik, aku ingin menjadi mercusuar ditengah ombak yang ganas. Dinamika hidup memang penuh dengan untaian keinginan dan harapan.

Mungkinkah harapan sendiri sesuai dengan apa yang manusia inginkan? Lagi-lagi aku seperti hidup dalam bayang-bayang tidak aku punyai, sedikit ingin memelas diri, melupakan semua apa yang menjadi dasar dari keinginan.

Maka pada saatnya, aku ingin menjadi diri yang tidak lagi berharap apa-apa. Tidak lagi ingin seperti apa-apa. Namun aku harus menerima kenyataan lagi bawasaanya sekuat-kuatnya mercusuar ditengah laut itu, adakalanya ia akan tumbang juga dikoyak ombak.

Apapun dalam hidup, tidak ada yang kekal sebagai apapun dirinya termasuk manusia. Lagi-lagi menjadi manusia, sakit hati, kecewa, bahagia, dan sengsara, rasanya akan tetap hinggap pada waktunya.

Untuk itu berlarilah dirimu manusia dalam bayang-bayang angamu sendiri. Karena pada saatnya engkau akan terhempas dibalik pintu ketidak kekalan dirimu.

Bahagiamu, sengsaramu, dan kekalutan yang mengisi hari-harimu tidak lain adalah renunganmu mencapi kedewasaanmu sendiri.

Para hina, para nestapa dan para manusia papa yang sudah enggan lagi hidup dalam bingkai kemauannya. Sudahilah, dan tetap sudahilah dirimu sebagai mana adanya. Pelarian itu sungguh membuat diri sangat membenci dirinya sendiri.

Tidak lain, beban hidup yang manusia buat sendiri, haruslah tetap dijalani walupun pahit dan getirnya hidup dakam pikiran sendiri.

Lamunan ini sungguh menciptakan hati-hati yang rapuh dalam setiap kesengsaraan hidupnya. Menjadi rendah, maupun menjadi tinggi.

Sudahlah bahwa dirinya akan usai pada akhirnya, pada waktunya yang jika tidak disyukuri dirimu hanya akan membenci hidup.

Akuilah dan sadirilah nasibmu, malangmu, dan rasa ketidakpuasanmu pada sesuatu. Derita dan bahagia karena ulahmu sendiri, semua tidak lain dari itu.

Saat diri mengkurur diri-diri lain, dan kita tidak bisa merasakan hal yang sama. Sakit hatimu adalah penderitaanmu yang tidak disadari.

Menjadi apa dirimu saat ini, puas atau tidak dirimu pada kehidupanmu, dirimu adalah liang lahat yang kau ciptakan sendiri sama seperti aku yang menciptakan hidupku kini.

Hapuslah dan teruslah lupakan renunganmu. Syair-syairmu bagai asam garam rasamu sendiri yang telah nista, mengapung bagai kumbul pancing yang terkoyak dihatam ombak dari angin yang datang.

Untuk itu, tumbuhlah dirimu bersama bintang-bintang malam yang mulai tertutup mendung. Aku sendiri seperti angan yang tidak pernah akan sampai pada waktunya.

Bencilah pada hidup jika kau ingin membenci, bidadari-bidadari itu bagikan rayuan maut yang tidak akan ada gunanya dalam pikiramu.

Sungguh akulah yang frustasi itu, mengahrapkan sesuatu yang sudah hilang, mungkinkah aku harus mengemis pada nyamuk-nyamuk liar malam, yang terus menggerogoti darah dan membuat kulitku kian panas disetuhnya?

Kembali, aku memang selalu ingat wajah cantiknya yang ingin aku jadikan dia menjadi tempat dimana dirinya ingin aku peluk sepanjang waktu.

Namun akulah yang terkadang hilang dari diriku, yang terbuai pada nistanya harapan yang terkadang jauh dari keinginan hari-hari pada kenyataanku.

Biarlah ini menjadi segumpal cerita pada orang-orang yang mungkin tidak dapat lagi diharapkan nasibnya.

Aku sendiri tidak dapat menjamin nasib hidupku akan cukup, lebih, atau kurang pada kenyataan hidupku. Bias-bias diri tenggelamlah engkau dalam lamunan yang terkadang rancu berubah menjadi sang aku.

Kini dirimu hanya ditantang menjadi jinak dalam arti sebenarnya, tulisan ini hanyalah terapi pada ketidakmampuan menjawab angan-anganku sendiri.

Bagimana aku bisa menyakinkah dirinya, jika kaupun sendiri ingin dimapankan nasibmu pada orang lain yang mungkin akan menjadi penyelamat hidupmu.

Aku saja hampir menyerah, bagaimana nasibku kedepan, seperti apa nasibku kini ingin aku terus renungi.

Mimpi-mimpi diriku seperti sudah hancur, meyakinkan diriku sendiri saja tidak mampu, apalagi aku harus meyakinkamu dan menajawab harapan-harapanmu.

Sungguh aku ingin menangis meratapi apa yang menjadi suratan ilahiku. Burung camar itu seperti bernyanyi dalam imajinasiku.

Mungkinkah lusa, esok, ataupun dimasa yang akan datang akan ada seseorang yang mampu menerima kenistaan hidupku yang memprihatinkan ini?

Bagimana harapanmu kau gantungkan, aku seperti bukan jemuran yang baik untuk menjawab harapan orang lain yang mungkin akan menjadi sebuah benih kebersamaan.

Sang aku telah lalu, aku tidak dapat menjamin apapun bahkan keinginanku sendiri. Luapan pada mimpi yang semu, duniaku begitu sempit karena hayalku sendiri.

Maka musnahlah sang aku, pendamlah "aku" pikiranku dan hayalku ingin aku korbankan pada harapan yang justru telah menyiksa batinku.

Dengarlah-dengarlah sebuah suara yang tidak akan aku suarakan pada siapapun. Mengejarmu dan berusaha membuat suatu belas kasih merupakan ketidakmampuanku.

Aku memang ingin menari bersamamu, membuat tafsir dalam hidup ini menjadi seuntai kisah yang berakhir pada rasa bahagia hidupku sendiri.

Untukmu yang mungkin mengharapkan diri pada orang lain tinggi, aku seperti orang rendahan yang tak pantas menjamin masa depanmu bila bersamaku.

Kau adalah yang berharga itu, aku mungkin tidak akan mampu menjawab harapanmu. Aku sendiri akan menghacurkan harapanku sendiri.

Aku yang hidup bersama gairah, melampaui batasku sendiri, sesungguhnya aku ingin menghancurkan sang aku dalam hidupku.

Egoismeku selama ini, kesalahan-kesalahan yang pernah aku buat sendiri yang akhirnya menghancurkan segalanya. Ingin aku tasbihkan bersama syair ini yang mampu menenggelamkan diriku bersama suara rintik hujan malam ini.

Buatlah hidupmu bahagia dengan anganmu, mungkin akulah penganggummu dengan sejuta impian semu untuk mampu membahagiakanmu.

Penyair mungkin hidupnya harus terus merana dalam batinya sendiri, untuk mengurai waktu hidupnya. Kata-katanya tidak lain adalah kesadaran baginya, bawasannya semua merupakan terapi untuk selalu menguatkan hidup.

Pada waktunya, pengalaman akan hidup dalam kenistaan diri, bertahan, dan terus mempertahankan hidup, sang aku pasti akan habis pada waktunya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun