Bagimana aku bisa menyakinkah dirinya, jika kaupun sendiri ingin dimapankan nasibmu pada orang lain yang mungkin akan menjadi penyelamat hidupmu.
Aku saja hampir menyerah, bagaimana nasibku kedepan, seperti apa nasibku kini ingin aku terus renungi.
Mimpi-mimpi diriku seperti sudah hancur, meyakinkan diriku sendiri saja tidak mampu, apalagi aku harus meyakinkamu dan menajawab harapan-harapanmu.
Sungguh aku ingin menangis meratapi apa yang menjadi suratan ilahiku. Burung camar itu seperti bernyanyi dalam imajinasiku.
Mungkinkah lusa, esok, ataupun dimasa yang akan datang akan ada seseorang yang mampu menerima kenistaan hidupku yang memprihatinkan ini?
Bagimana harapanmu kau gantungkan, aku seperti bukan jemuran yang baik untuk menjawab harapan orang lain yang mungkin akan menjadi sebuah benih kebersamaan.
Sang aku telah lalu, aku tidak dapat menjamin apapun bahkan keinginanku sendiri. Luapan pada mimpi yang semu, duniaku begitu sempit karena hayalku sendiri.
Maka musnahlah sang aku, pendamlah "aku" pikiranku dan hayalku ingin aku korbankan pada harapan yang justru telah menyiksa batinku.
Dengarlah-dengarlah sebuah suara yang tidak akan aku suarakan pada siapapun. Mengejarmu dan berusaha membuat suatu belas kasih merupakan ketidakmampuanku.
Aku memang ingin menari bersamamu, membuat tafsir dalam hidup ini menjadi seuntai kisah yang berakhir pada rasa bahagia hidupku sendiri.
Untukmu yang mungkin mengharapkan diri pada orang lain tinggi, aku seperti orang rendahan yang tak pantas menjamin masa depanmu bila bersamaku.