Dalam penanganan wabah pes tersebut, dr. Cipto Mangunkusumo sempat memaparkan pengalamannya di sidang ilmiah s'Gravenhage, ada warga terjangkit pes dikucilkan di lingkungannya.
Karena kena pes, dia tidak boleh masuk rumah oleh keluarga. Akhirnya dia pergi merebahkan dirinya di bawah pohon untuk menunggu sampai ajal tiba.
"Tidak bertanggungjawab bagi seorang dokter membiarkan beribu-ribu orang jatuh menjadi korban pes dengan harapan bahwa wabah itu akhirnya menjadi bosan sendiri minta korban orang Jawa".
Kata Tjipto: Kita tidak boleh lengah, dalam sidang ilmiah itu, dikutip dari buku 'Dr Cipto Mangunkusumo' karya Soegeng Resodihardjo, terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1992.
Sebagai seorang dokter sekaligus pejuang kemerdekaan yang anti pada pemerintah Kolonial Belanda selepas mendapat bintang Orde van Oranje Nassau yang prestisius itu.
Dr. Cipto rehat sejenak dari dunia kesehatan masyarakat yang menjadi profesi utamanya. Dia memutuskan ke Bandung untuk bekerja pada surat kabar De Express, menuangkan pikirannya yang antikolonialisme dalam tulisan-tulisan kritis terhadap pemerintahan.
Cipto kemudian mendapat reputasi sebagai sosok penentang pemerintah. Dimana kegigihannya memperjungkan kemerdekaan Indonesia membuahkan hasil di tahun 1945, dimana Indonesia dapat merdeka dari penjajahan Belanda.
Kemudian pada tahun 1915, wabah pes kembali melanda Surakarta, Jawa Tengah. Dia meminta pemerintah kolonial Belanda untuk dikirim ke Surakarta. Namun pemerintah tidak mengabulkan permintaan Cipto, karena Cipto sendiri yang anti-pemerintahan.
Karena kecewa dengan sikap dari kebijakan pemerintah terhadapnya, dimana seorang dokter terpanggil jiwanya membantu sesama manusia, Cipto mengembalikan bintang jasa Orde van Oranje Nassau pada 10 Mei 1915.
Sebelum mengembalikan bintang jasa itu, dia melancarkan aksi protes dengan mengenakan bintang jasa tersebut di pantatnya. Aksi ini menjadi pembicaraan publik kala itu sebagai ungkapan kekecewaan yang sangat berani anti pada pemerintahan kolonial.
Salahkan Dr. Cipto Mangunkusumo yang protes terhadap kebijakan pemerintah colonial Belanda saat itu mengembalikan tanda jasa dari pemerintah? Ataukah dengan ekspresi mengenakan tanda jasa di pantatnya, mungkinkah itu melanggar suatu norma kepatutan?