Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Megawati dan Outsourcing Gaya Baru Jokowi di UU Cipta Kerja

6 Oktober 2020   19:27 Diperbarui: 6 Oktober 2020   19:47 891
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: linggaperwira.files.wordpress.com

Setiap jalannya periode pemerintahan Negara akan selalu ada undang-undang baru yang diciptakan, itu sesuatu yang sudah wajar dilakukan.

Maka tidak salah jika pemerintahan Jokowi membuat suatu undang-undang baru Omnibus Law UU cipta kerja untuk kebijakan dunia usaha dimasa pemerintahannya.

Dalam setiap kebijakan pemerintahan memang tidak akan lepas dari adanya yang dirugikan dan ada yang diuntungkan, itu sudah menjadi kenyataan didalam jalanya kebijakan untuk masyarakat sebagai warga Negara.

Tentu dengan kebijakan yang baru-baru ini akan dirasakan elemen masyarakat pekerja yakni para buruh. Kebijakan itu adalah UU Cipta Kerja yang telah di sahkan oleh DPR, Senin (05/10), dimana banyak pihak mencap DPR bekerja mensahkan UU Cipta Kerja tersebut dinilai senyap, tidak berpihak pada masyarakat pekerja.

Apakah undang-undang tersebut memang tidak layak di buat oleh pemerintah, yang pada akhirnya banyak masyarakat khususnya elemen pekerja (buruh) yang dirugikan?

Sebab sebelumnya  rancangan UU Cipta Kerja sendiri menjadi polemik khususnya kontra dari kaum buruh, yang sudah dipastikan hak-hak sebagai buruh akan disunat oleh adanya UU cipta kerja tersebut.

Antara lain UU Cipta Kerja di era pemerintahan Jokowi dinilai merugikan pekerja "buruh" antara lain kebijakan berikut ini;

"Upah minimum yang flexibel, memangkas jumlah pesangon, penghapusan cuti atau izin khusus, outsourcing semakin tidak jelas nasibnya, dan memberikan kesempatan pengusaha mengontrak pekerja tanpa batas waktu".

Disisi lain sebenarnya dalam hal ini UU Cipta Kerja Negara juga dirugikan dengan adanya RUU cipta kerja di masa Pemerintah Jokowi.

Negara turut juga mensubsidi jaminan ketenagaakerjaan pekerja dan membayar sisa upah pesangon buruh, yang  disepakati 32 kali gaji dan pengusaha hanya bayar 23 kali gaji sisanya pemerintah setelah di sahkannya UU Cipta Kerja. 

Mungkinkah UU Cipta Kerja akan sama merugikan sama seperti seperti sistem Outsourcing yang dulu dilakukan dan di sahkan oleh pemerintah Megawati terhadap buruh?

Dimana UU cipta kerja ini sama seperti outsourcing gaya baru yang disahkan sebagai undang-undang oleh Pemerintah Jokowi?

UU Cipta Kerja: Outsorcing Gaya Baru

ilustrasi: kompas.com
ilustrasi: kompas.com

Pada masa pemerintahan Megawati, ekonomi nasional yang mengalami krisis sejak 1998 berangsur-angsur stabil.

Di sisi lain, pemerintahan Megawati bersama DPR mengesahkan Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

UU inilah yang menjadi cikal-bakal praktik outsourcing di Indonesia karena mengatur tentang perusahaan penyedia tenaga kerja.

Disisi lain UU Cipta Kerja juga dilakukan pengesahanya pada saat masa pandemic covid-19 dimana ekonomi sedang mengalami masa resesi oleh DPR (5/10).

Pengangguran terjadi dimana-mana, banyak karyawan terkena PHK oleh perusahaan tempat mereka bekerja dimasa pandemic covid-19.

Mungkinkah saat ini merupakan momentum yang memang benar-benar keadaannya sesuai untuk diciptakan dan memuluskan membuat undang-undang Cipta Kerja oleh pemerintah?

Setelah krisis ekonomi muncul undang-undang baru ketenagakerjaan muncul seperti pasca 1998, ekonomi saat itu mulai tumbuh tahun 2003, dimana pemerintah Megawati menerapkan system outsourcing.

Mungkinkah krisis dijadikan alasan untuk mengganti undang-undang ketenagakerjaan yang sangat sensitive dirasakan oleh kaum buruh/karyawan?  

Memang jika ditelisik lebih dalam UU Cipta Kerja sama halnya system outsorcing, dimana meski menjadi pegawai langsung dibawah perusahaan pihak pertama.

Besar kemungkinan saya kira perlakuannya akan seperti karyawan perusahaan outsourcing atau perusahaan alih daya sebagai perusahaan pihak kedua.

Tetap dimana nantinya karyawan dapat diproyeksikan kontrak beberapa tahun dan di putus kontraknya sesuai keinginan perusahaan. Ibaratnya keinginan itu sama seperti project perusahaan pihak pertama kepada pihak kedua yakni perusahaan outsorcing.

Maka UU Cipta Kerja memungkinkan tidak ada perusahaan outsorcing, tetapi perusahaan dapat menerapkan karyawannya seperti karyawan outsourcing.

Sebab dari pembaharuan UU cipta kerja yang kontrak kerja sendiri tidak terbatas sangat sulit karyawan kemungkinannya menjadi pegawai tetap perusahaan.

Begitu juga dengan pesangoan yang kecil kemungkinan jika tidak ada pegawai tetap, saya kira perusahaan akan menerapkan kontrak secara berkala. Dimana jika kontrak secara berkala perusahaan dapat tidak terbebani pesangon.

Nantinya disitulah ruang-ruang untuk pegawai dapat pesangon semakin dipersempit kemungkinannya untuk mendapatkan pesangon. Karena pesangon sendiri bagi karyawan sangat menguras kantong kas perusahaan.

Begitu juga kini setelah pengesahkan UU Cipta Kerja tidak ada upah minimum kabupaten dan sebagainya, nantinya dihitung secara global menurut inflasi di daerah masing-masing.

Dimana perusahaan dapat secara flexible menentukan jumlah upah menurut standart perusahaan sendiri bukan upah yang ditetapkan pemerintah.

Berkaca dari pengalaman saya sendiri, Saya memang sudah bertahun-tahun bekerja di perusahaan outsourcing. Pegawai outsorcing menurut saya merupakan pegawai kelas dua yang dibayar dan mendapat fasilitas dibawah kariyawan perusahaan induk outsourcing.

Maka saya berkaca dari fasilitas-fasilitas yang saya dapat dari perusahaan outsourcing yang tidak pernah mengangkat saya sebagai pegawai tetap.

Perjanjian kontrak belum habis alasan projeck tersendat di saya diberhentikan secara sepihak alasan pihak pertama sudah tidak memberikan project. Meski kontrak masih lama, tidak ada kopensasi untuk uang pesangon.

Untuk gaji perusahaan outsourcing sendiri dibayarkan terkadang sesuai kemampuan perusahaan. Banyak perusahaan outsourcing membayar gaji perusahaan dibawah UMR, saya merasakan gaji dibawah UMR pada tahun 2009 sampai dengan 2011-an saya masing mengalaminya di Jakarta.

Pada saat itu saya juga pernah bekerja di perusahaan outsorcing lain ditahun 2014 sampai 2016. Saya tidak diberi jaminan kesehatan dan pensiun oleh perusahaan outsourcing.

Jika saya pahami apa yang terkandung dalam isi UU Cipta Kerja sendiri sudah pernah saya alami karena saya memang sudah terbiasa bekerja di perusahaan outsorcing dengan system yang ada seperti tertera dalam UU Cipta Kerja.

Memang perusahaan outsourcing kebanyakan diterapkan di perusahaan telekomunikasi, sebab saya bertahun-tahun bekerja di perusahaan outsourcing di sector telekomunikasi.

Secara realistis saya memang berpikir dengan adanya perusahaan outsourcing membuat efesiensi tersendiri untuk perusahaan, dimana beban pembayaran karyawan bisa di tambal sulam dulu oleh perusahaan outsorcing guna mengerakan investasi perusahaan untuk maju.

Maka saya sendiri tidak kaget dengan UU Cipta Kerja yang saya nilai secara realistis memang sangat efektif untuk perusahaan "dunia usaha" untuk dapat bertumbuh, jika tidak terlalu dalam dibebankan hak-hak buruh.

Tetapi sebagai buruh sendiri apalagi buruh perusahaan outsourcing, tentu saya bertahun-tahun terhimpit dan tidak pernah sejahtera dengan bekerja di perusahaan outsorcing.

Dimana hasil dari kerjanya sendiri ditentukan nasib perusahaan outsourcing, syukur dapat perusahaan outsorcing bagus mau membayar diatas UMR, tidak sedikit juga pernah bekerja di perusahaan outsourcing yang membayar dibawah UMR.

UU Cipta Kerja mungkin ingin menyasar semua segmen sektoral apapun jenis usahanya "perusahaan", yang memungkinkan dapat mengefisiensikan perusahaan itu sendiri di berbagai sektornya. Caranya yakni dengan melepas hak-hak buruh yang dinilai memberatkan dunia usaha.

Saya tidak menyalahkan perusaahaan "dunia usaha" saat ini yang sangat kompetitif dan syarat investasi pembaharuan produk yang cepat dan menarik konsumen. Dilain pihak saya juga hormat pada perjuangan buruh yang ingin haknya, dimana dari hak itu sedikit-sedikit buruh/karyawan dapat sejahtera.

Namun semua kembali lagi pada kepentingan dunia usaha sendiri yang memang harus bertrasformasi. Pemerintaha Megawati tahun 2003 menerapkan system outsourcing tentu adalah efisiensi perusahaan saat itu supaya investasi dunia usaha "perusahaan" tumbuh.

Begitu juga saat ini dimana tantangan perusahaan akan fluktuasinya ekonomi yang tidak pasti ingin mengamankan perusahaan harus ada cara baru dalam efisiensi.

Mungkin ini adalah hukum ekonomi perusahaan, untuk itu saya sebut UU Cipta Kerja adalah Outsorcing gaya baru, dimana system UU Cipta Kerja sendiri tetap mengusung ide perusahaan outsourcing.Tetapi menghilangkan perusahaan outsourcing sebagai pihak kedua.

Praktiknya dipangkas langsung dengan pekerja bersangkutan sama seperti perusahaan outsourcing. Meski itu adalah karyawan perusahaan induk atau pihak pertama diperlakukan seperti kariyawan pihak kedua atau perusahaan outsourcing.      

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun