Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

G30S, Narasi Besar Politik Indonesia yang Terus Berulang

23 September 2020   08:50 Diperbarui: 23 September 2020   09:52 303
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terkait siapa yang benar dan siapa yang salah dalam peristiwa G 30 S, saya sebagai generasi muda tentu sudah tidak mau membahasnya lagi perkara siapa yang salah dan siapa yang benar dalam peristiwa itu.

Sejarah yang dikait-kaitakan dengan jalannya politik saat ini memang sangat membosankan, seakan memukul lawan politik dengan sebutan PKI lebih renyah dari pada beradu gagasan politik di Indonesia.

Gagasan dinegara yang membangun politik tanpa logika memang mahal harganya. Sudah pasti jalannya politik mengkaitkan isu-isu "Sara" dan kenistaan kemanusiaan sebagai jualan politiknya.

Maka dari itu saya kira sejarah hanya akan menjadi dongeng dikala memang sejarah itu sudah terlewati. Untuk itu wacana pengahapusan sejarah dari pendidikan di Indonesia merupakan upaya pengahapusan dongeng nyata yang problematis dan hanya mengorek luka lama.

Dilupakan sayang tidak dilupakan menjadi beban masa lalu, begitu pun narasi G 30 S yang seperti sudah menjadi proyek politik dari masa ke masa sebagai bangunan  wacana besar politik Indonesia.

Dalam tulisan ini, saya memang tidak mau condong pada salah satu pihak mendukung yang bersetru pada konflik G 30 S. Apa lagi menerapkan dalam ide kehidupan sehari-hari paham-paham ideologis yang berseteru tersebut.

Semua ideologi itu  menurut saya sudah usang dan dalam memandang sebuah ide-ide politik sudah harus mampu bergerak maju kedepan bersama dengan tantangan jaman, pendapat saya sebagai generasi muda.

Mengapa saya sebut sejarah "ideology" termasuk kronik G 30 S itu usang. Karena semua pihak yang frontal dalam berpolitik saat itu adalah proyek-proyek mencapai kekuasaan golongan. Dimana simpati rakyat hanyalah alat legitimasi meraih kekuasaaan.

Tentu tidak hanya dijaman dulu, saat ini juga sama seperti itu. Dalam proyek kekuasaan yang menjadi jembatannya adalah rakyat. Hanya saja bungkus dari legitimasi rakyat saat ini bukanlah gagasan melainkan modal dalam berpolitik membeli suara rakyat.

"Jika dulu untuk meraih simpati rakyat dengan tawaran ideologis akan hadirnya keadilan "sama rata sama rasa", kini siapa yang membagi uang rata kepada pemilih disitulah ia dapat berkuasa".

Kini dengan narasi ideologis tersebut "komunisme" atau dengan ideology "militerisme" sebagai pihak yang ikut juga dalam kronik G 30 S tersebut yang terjadi di Indonesia. Wujud Negara "militerisme" dalam idenya sendiri menginginkan semua orang harus patuh pada kekuasaan yang totaliter.

Keduanya ideologi tersebutlah menurut saya sama sudah "usang" ditelan jaman yang semakin demokratis. Tidak mungkin semua itu dapat diterapkan di Negara demokrasi saat ini seperti Indonesia dan dunia.

Maka tidak lain dari isu-isu mendeskriditkan lawan politik dengan isu-isu PKI, Kardun, Cebong dan bahkan Kampret meminjam istilah kekinian adalah mainan kekuasaan sebagai dalih mengambil legitimasi rakyat.

Sebab PKI sendiri sudah mati sejak 1965 dan Kardun, Cebong maupun Kampret adalah istilah memetakan lawan politik dalam sebuah proyek meraih kekuasan politik.

Memang dalam menunjukan simpati pada rakyat, kekuasaan politik tidak dapat lepas dari ketertarikan pada sesuatu ide. Tetapi apakah hari ini, dalam berpolitik masih relevan berbicara ideologis?

Saat tawaran-tawaran ideologi sendiri kabur dan tidak berbekas sebagai pertarungan ide dalam politik Indonesia kini? Dengan politikus-politikus disana, tanyakan; apakah mereka paham konsep dua ideologi besar, yang sepanjang sejarah menjadi dongeng  perseteruan pikiran-pikiran politik dunia, dimana itu hanya dijadikan sentiment melawan kompetitor politik?

Narasi dalam melawan legetimasi kekuasaan politik di dunia sendiri itulah awal yang memunculkan suatu perang dingin antara antara kedua Negara yang memimpin Blok Barat dan Blok Timur?

Barat yang dinilai sebagai Kapitalis dan timur sebagai Komunis. Bukankah kedua blok tersebut adalah kumpulan Negara-negara yang ingin berkuasa di dunia dengan ideology mereka? Dimana saat itu kedua Negara tersebut menarik masing --masing bloknya untuk mencari kekuatan baru di Negara-negara non blok seperti Indonesia?

Meskipun tidak menjadi sekutu antara kedua blok tersebut. Tetapi dapat mempengaruhi setiap kebijakan dan keputusan politik non blok Negara yang bersangkutan untuk memihak salah satu kekuatan besar blok politik tersebut antara timur dan barat.

Yang akademisi dan politikus dulu sebut dengan istilah neokolonilisme. Dimana jika Negara tidak mau disingkirkan dalam pergaulan internasional, harus berafiliasi dengan kedua blok tersebut memilih salah satunya.

Tetapi kini berbicara sejarah ibarat angin lalu yang sudah tidak perlu dibicarakan lagi hanya mengoek luka lama. Sebab kemanapun dibahas "sejarah" di negri yang dalam politik tidak mengutamakan logika dalam berpolitik seperti Indonesia,  "sejarah" tidak akan pernah ada juntrungan kejelasanya.

"Sejarah politik hanya akan membuat pikiran spaneng dengan narasi ideologi sebagai "sejarah" perlawanan politik dan mencari simpati rakyat, yang akan dibenturkan kedalam narasi sejarah yang sebenarnya hanya dongeng pengetahuan saja".

Bukakah pada kenyataannya sejarah yang tidak selsai, semua hanya akan membelah masyarakat seperti kini stigma PKI yang terjadi setiap bulan September, sebagai legitimasi mendapat simpati rakyat dan melawan lawan politik dalam wacana dunia politik Indonesia?

Disatu sisi mengapa saya sepakat hapus sejarah karena politik saat ini sudah tidak membicarakan ideologi di Indonesia. Hanya berbicara kekuasaan dan bagaimana memperebutkan kekuasan tersebut dengan apapun sumber dayanya termasuk membelah masyarakat.

Jadi saya berpikir untuk apa pelajaran sejarah jika hanya untuk mensetigma orang lain dan hanya membuat runcing frontalisme masa lalu yang dibawa ke masa depan?

Partai politik sebagai proses dari kekuasaan yang panjang seharusnya memang selalu bicara ideologi, dimana disitu sejarah dibutuhkan untuk membaca arah politik kemana muara dari ide-ide mereka membangun masyarakat.

Bukankah kini membuat simpati masyarakat tidak perlu dengan menggunakan ide, hanya cukup pembagian uang yang rata dapat membuat rakyat sudah simpatik?

Oleh karena itu jalannya bagaimana membuat simpati rakyat dengan uang dalam berpolitik sudah dapat di corakan dari mana ideology itu berasal yakni kapitalisme yang mungkin dilakukan sebagai tawaran dagang kekuasaan politik .

Saya kira kita sudah final didalam berbicara ideology politik, bahwa kita adalah kapitalis yang butuh uang untuk apapun modal dari menjalani hidup.

Karena pada dasarnya hidup, semua butuh uang dan harus mencari uang sebagai apapun untuk bertahan hidup jika masih manusia, termasuk mencari proyek kekuasaan politik. Menjadi manusia, bukankah tetap yang mereka kejar adalah uang untuk akomodasi penghidupannya masing-masing?

Maka dari itu dalam menjalankan proyek kekuasaan sendiri. Rakyat akan selalu dilibatkan dalam kisah menarik simpati dan heroisme politik yang mensejarah, tetapi sudah tidak relevan dengan jaman hanya menjadi perpecahan karena ideologi sejarah tersebut.

Tidak salah jika kita memang jengah dengan sejarah heroisme, tetapi disisi lain mendegradasi kemanusiaan. Sebagai contoh kolonialisme Belanda yang disebut di Indonesia sebagai kejahatan besar kemanusiaan,.

Tetapi di Belanda, mereka menyebut bahwa praktik kolonialisme adalah kejayaan negara dan membantu bangsa-bangsa yang terbelakang dalam kehidupan politik, termasuk datangnya Belanda ke Indonesia saat itu sebagai tujuan luhur.

Padahal itu hanyalah dalih, sebenarnya apa yang mereka cari adalah kekuasaan dan kemewahan yang dapat mereka bayar dengan uang melalui monopoli sumber daya alam yang diperdagangkan ke eropa hasil bumi dari Indonesia.

"Kolonialisme adalah wujud pencarian keuntungan, tentu itu sudah pasti sama dengan dua ideologi besar dunia yakni komunis dan kapitalis yang merambah ke Negara-negara dunia".

Sedangkan di Indonesai isu G 30 S, dimana disana ada narasi besar penistaan politik, kehinaan politik, dan heroism politik. Dalam  semesta wacana Negara yang berpolitiknya tidak menggunakan logika seperti Indeonesia.

Disitulah praktik tragedy kemanusiaan dalam sejarah G 30 S akan di korek dan dalam mengorek luka tersebut. Pihak yang berslah dalam persepsi masyarakat yakni PKI akan terus disebut di bulan kejadian itu terjadi yaitu bulan September sebagai jualan politik.

Tentu sebagai sebuah isu sepanjang jalannya praktik proyek kekuasaan politik Negara Indonesia dalam politisasinya meraih simpati rakyat. Bukankah setiap tahun isu PKI selalu muncul bulan September adalah kenyataannya sebagai simpati citra politik politikus?

Dalam sejarah saya tidak mau membela siapapun. Tetapi kejengahan saya sendiri adalah ramainya istilah PKI setiap bulan September.

Apakah seharusnya saat kita sudah tidak mau jengah dengan isu ini, baiknya sepetember di nobatkan hari PKI saja supaya tidak gumunan termakan isu receh ini, yang setiap tahaun pasti dikorek dan terus dikorek lagi dalam semesta wacana politik di indonesia?

Supaya kita tidak termakan isu-isu provokasi yang dinarasikan para pemegang proyek-proyek kekuasaan dalam bernarasi untuk simpati politik rakyat? Rakyat bisa tenang menjalani kehidupannya, dimana hidup yang dibutuhkan adalah uang, bukan mengurusi sejarah yang hanya akan menimbulkan sebauah perpecahan suatu bangsa?

Maka sadarlah hari ini, isu PKI adalah isu kekuasaan yang ingin memperpanjang narasi kenistaan dan kepahlawanan menarik simpati politik rakyat sebagai bagian dari proyek politik mereka-mereka yang ingin berkuasa di Indonesia.   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun