Indonesia masuk darurat perceraian memang tidak dapat ditampik. Resesi ekonomi Indonesia saat ini sepertinya memberi andil besar pada angka perceraian dalam rumah tangga.
Frustasi ekonomi di masa pandemi corona sebagain masyarakat berlomba menggugat cerai dinilai sebagai solusi. Maka saat dari itu kedepan "cerai" saat krisis ekonomi, sudah pantas dijadikan budaya baru dan masyarakat harus menganggap cerai adalah hal yang biasa.
Tidak salah memang fakta dari kebutuhan hidup selalu saja membuat pusing pikiran.Tetapi apakah benar goncangan ekonomi membuat frustasi manusia semakin menajam?
Inilah terkadang menjadi pertanyaan penting itu. Sedikit dari banyakanya berbagai pertanyaan yang mengganjal dari hidup. Apakah hidup manusia harus pasti punya uang?
Kenyataannya hidup memang harus beruang, bukan beruang kutub dari negara Rusia, tetapi manusia beruang: manusia harus selalu mempunyai uang mecukupi kebutuhan yang harus dibeli.
Dilema, dilema, dan dilema sudah menjadi bagian dari kehidupan. Maka dari itu tidak ada kata lain selain memperkuat keyakinan hidup apapun keadaanya.
Bawasaanya semua bentuk cobaan hidup, manusia harus kuat-kuat bertahan untuk tetap menjalaninya. Karena pada saatnya ketika memang ada usaha bukan tidak mungkin kita dapat melalui kesusahan hidup yang ada.
Memang hidup tidak dapat lepas dari latar belakang dampak perkara dari suatu maslaah. Saat ini dengan kehidupan ekonomi morat-marit akibat corona.
Sungguh menjadikan nasib hidup masyarakat Indonesia kini semakin tragis dalam hal ekonomi memenuhi kebutuhan rumah tangga. PHK terjadi dimana-mana, usaha mengalami kelesuan, dan banyak sekali pengangguran. Â Maka dari itu entah mengapa saya yakin: semakin banyak orang frustasi di era pandemi ini.
Bayangkan yang biasanya ketika ekonomi normal, kita bisa bekerja, ada penghasilan, kita bisa jajan dan jalan-jalan. Anak-istri dapat tercukupi kebutuhan.
Tetapi dengan keadaan sekarang, coba Anda bayangkan? Jangan salahkan jika cinta, sayang, dan pernikahan bubar tanpa adanya kemapanan ekonomi.
Karena dunia pernikahan saat ini anti dijalankan hanya atas cinta dan sayang bukan mistos melainkan realita. Ekonomi goyang sedikit "stress" rawan sekali berpotensi perceraian Â
Menjalani hidup, kemampuan ekonomi sangat memang diperlukan. bahkan dengan ungkapan bahwa ekonomi adalah alat vitalnya kehidupan itulah nyata adanya. Kasarannya kini, hidup harus punya uang adalah kebenaran utama membeli kebutuhan hidup.
Tetapi mula-mula menjadi manusia harus dapat ikhlas dan waspada sebagai kesadaran. Supaya apapun keadaannya dapat menemukan titik terang. Tidak jatuh pada jurang sesatnya pikiran meskipun sedang krisis ekonomi.
Tidak dipungkiri memang siapa yang tidak stress apa bila sudah berkeluarga, tidak bekerja kena PHK, usaha mengalami kelesuan, sedih tiap hari menganggur, bukankah mungkinkah opsi cerai menjadi solusi?
Sebagai ungkapan lari dari masalah memang benar lebih baik "cerai" bila tidak ingin semakin stress pikiran. Karena dimasa pandemi sangat rawan sekali orang jatuh stress. Bagimana tidak stress anak dirumah saat ini tidak sekolah minta di buatkan PR?
Belum dengan tekanan tidak bekerja dimana dipikiran rasanya mepet tidak ada penghasilan. Anak minta ini, istri butuh itu, maka tidak salah saat ini rawan sekali kekerasan dalam rumah tangga untuk pelampiasan kesetresan pikiran.
Tetapi saya kira alasan kasus perceraian bukanlah nikah muda. Dikarenakan banyak mereka yang menikah muda, juga dapat langgeng-langgeng dan aman-aman saja pernikahannya. Intinya dalam menikah bukan saja siap ekonomi tetapi juga siap mental menghadapi dinamikanya.
Tetapi bukan alasan siap menikah karena ekonomi belum mapan. Meski ekonomi belum mapan asal keduanya antara laki-laki dan perempuan sudah siap mental. Saya kira tetap akan berjalan normal-normal saja.
"Sebeb menikah bagi orang yang siap menikah dan mau berusaha mempertahankan pernikahan itu punya semangat memecahkan bersama masalah pernikahhnya. Istilah pribahasanya: "bersama kita teguh bercerai kita runtuh"
Memang dinamika ekonomi dalam keluarga pasang surut nantinya memang benar harus disadari. Masalah ekonomi pasang surut tidak hanya dialami orang menikah saja, lajang juga merasakannya.
Menikah jika ingin jauh dari perceraian menurut saya, ia harus sudah selsai dengan dirinya. Kemudian secara penuh ingin berkomitmen terhadap keluarganya sendiri.
Dengan komitmen kuat sebagai pribadi, saya kira manikah tidak akan menimbulkan masalah termasuk perceraian. Mungkin banyak kasus percerian saat ini dimasa pandemi corona.
Mungkin bisa terjadi karena nikah muda dan tebiasa dengan hidup mapan kerja di pabrik atau di sector usaha lainnya. Karena faktor pandemi corona di PHK mengalami kesullitan tidak siap menerima kahanan hidupnya saat ini sulit. Atau bisa karena virus corono yang saat ini memudahkan orang mengurus urusan administrasi perceraian membuat mereka berbondong-bondong minta cerai.
Menjalani pernikahan, "cerai" di akibatkan ekonomi memang bukanlah mitos belaka. Sebab di desa saya sendiri yang istrinya keluar negri. Sudah menjadi barang biasa rumah tangganya di ambang perceraian. Karena pertimbangan hasil ekonomi yang timpang antara laki-laki dan permpuan menjadi perbandingan. Untuk itu mereka meminta jalur perceraian.
Kembali mungkin budaya dari wacana masyarakat, dimana seorang istri harus dicukupi suami. Mungkin adalah penyebab angka perceraian di Indonesia sangat tinggi, jika suami sedang krisis ekonomi disamping hal-hal lain masalah dalam rumah tangga. Semua itu mungkin saja bisa dijadikan alasan yang rasional perceraian secara kebudayaan masyarakat.
Maka dari itu pada intinya dalam menjalani rumah tangga adalah kesadaran. Supaya masalah dalam rumah tangga sekecil apapun dapat diselsaikan tanpa adanya perceraian. Kasihan terhadap siapa-siapa yang akan menjadi korban dalam kasus perceraian tersebut, termasuk anak-anak kita nantinya. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H