Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Polemik UU Penyiaran: Pemilik RCTI Pantas Bicara untuk Nasionalisme Media?

1 September 2020   06:23 Diperbarui: 1 September 2020   22:03 399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat dihadapkan modal dan kepentingan keuntungan, apakah kita harus berpikir nasionalisme? Tidakkah nasionalisme kini: bukankah hanya dipahami sebagai "bahasa" dimana Negara selalu dijadikan alat kepentingan orang-orang yang mengaku semangat nasionalismenya tinggi?

Saat agama sudah tidak dapat dijadikan dalih mempertahankan keuntungan, solusi berikutnya mencari untung, mungkinkah mengedepankan ungkapan semangat nasionalisme?

Menjadi sesuatu yang wajar jika orang mempertahankan bisnisnya. Sebab dari bisnis itu sendiri mereka dapat bertahan hidup.

"Namun yang harus dipahami dari bisnis itu sendiri, siapa yang tidak mampu melaju dengan tantangan zaman disitulah bisnisnya akan hancur".

Maka dengan kepanikan RCTI dan I-News TV dan lebih luasnya MNC Grup milik "Hari Tanoesoedibjo" yang melakukan Uji Materi UU penyiaran ke mahkamah konstitusi.

Layakah menggunakan isu moralitas dan nasionalisme sebagai dalih mempertahankan keuntungan untuk faktor-faktor ancaman mereka?

Dengan banyaknya media sendiri saat ini, tantangan penyiaran televisi memang semakin berat. Saya tidak memungkiri bawasannya saya sendiri saat ini, sudah tidak tertarik menonton televisi.

"Bukan apa, televisi saat ini tak ubahnya hanya sebatas hiburan hanya layak ditonton oleh orang-orang tua yang haus hiburan dan anak-anak kecil yang belum mengenal internet".

Tidak salah bila milenial kini akrab dengan smart phone mereka atau laptop, memilih hiburan lain di media yang lain selain TV. Sebab di media lain seperti media social mereka dapat mendapatkan hiburan yang sesuai dengan passion mereka.

Bayangkan jika kita adalah seorang Rocker atau Gamaers, bukankah tidak mungkin menonton tayangan FTV misalnya yang lagi hits saat ini FTV: Tangisan Seorang Istri? Yang beck soudnya akrab sekali di telinga: "kumanenagis membayangkan"-- lagu yang dinyanyikan oleh penyanyi Rosa, bukankah tidak ada relevasinya dengan minat milenial yang semakin komplesks dalam memilih penyiaran?

Ibaratnya saya minat dengan pengetahuan , seni, dan filsafat, apakah tayangan televisi ada? Begitu juga dengan tutorial game online, mungkinkah di acara TV akan ada?

Pertanyaan-pertanyaan millennial itulah yang saat ini ditanyakan kepada penyiaran stasiun televise. Mungkinkah TV dapat menayangkan sesuatu yang dapat mengikuti zaman?  Dalam arti membuat suatu hiburan yang di media social sendiri tidak ada?

Atau kah dengan mudahnya kini live media social yang dijadikan dalih ruginya hak siaran Televisi yang disinyalir di bajak penggiat media social, apakah pengaruhnya sangat mendasar?

Saya kira tidak, sebab penggiat media social melakukan streaming secara copy tidak jauh pasti tayangan bola. Bukankah kini streaming bola juga dapat dilakukan membajak TV-TV lain selain TV yang ada di Indonesia? Luar negri misalnya?

Belum dengan sudah menjalarnya TV berbayar itu sendiri khusus tayangan bola. Bukankah itu competitor yang nyata televisi komersial itu sendiri yang ada di Indonesia?

Seperti di artikel saya sebelumnya membahas pendapat saya mengapa RCTI dan I-News melakukan uji materi UU penyariaran yang salah satunya kemungkinan nantinya RCTI dan I-News tahun depan mungkin mendapat hak siar tayangan bola.

Bukankah menjadi pertanyaan itu sendiri ketika memang penyiaran seperti semua Televisi dirugikan dengan adanya penyiaran legal yang dilakukan para penggiat media social, seharusnya tidak hanya RCTI dan I-News TV yang menggugat UU penyiaran?

Inilah berbagai keganjilan itu mengapa tidak semua stasiun TV menggugat. Pasti ada suatu kepentingan yang merugikan RCTI dan I-News dalam copy penayangan program mereka oleh penggiat media social.

Jika kita ingin menggali selain tayangan bola itu sendiri, adakah acara TV yang menarik di streaming yang nyatanya menghabiskan kuota internet juga? Selain bola tidak ada acara TV yang berkualitas menarik generasi milinial. Bukankah itu merupakan suatu kenyataan yang harus setasiun TV itu sendiri sadari?

Penyiaran dan nasionalisme ganjil

Sepekan kemarin gugatan UU nomer 32 tahun 2002 digugat oleh RCTI dan I-News TV ke mahkamah konstitusi. Taufik selaku Corporate Legal Direktor MNC Grup Jumat (28/8/20) menyampaikan UU penyiaran yang digugat tidak mengebiri kreativitas medsos. Tetapi demi kesetaraan penyiaran dan moralitas bangsa.

Kemkominfo menyampaikan jika memang uji materi UU penyiaran dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi. Kemungkinan akan menutup Live di berbagai medsos seperti Instagram, youtabe , facebook serta paltfrom audio visual memaksa harus berizin termasuk penggiat-penggiat hiburan media social.

Menanggapi kemungkinan jika berhasil uji materi UU penyiaran tersebut membahayakan medsos mereka ramai-ramai netizen menyerang RCTI dan I-News TV. Mereka menganggap RCTI dan I-News membatasi kebebasan berkespresi masyarakat lewat media social.

Banyak kalangan netizen yang menganggap RCTI dan I-News sudah tidak mampu berkompetisi dengan media social oleh sebab itu menggugat UU penyiaran.

Menanggapi hal tersebut sebagai bagian dari MCN Grup Jessica Tanoesoedibjo selaku pemilik RCTI membantah netizen. Menurut Jessica Tanoesoedibjo gugatan tersebut dibuat agar kominfo dan DPR bisa merevisi undang-undang penyiaran yang selama ini digunakan sebagai acuan.

Menurut saya ada benarnya netizen jika RCTI dan I-News TV menyerah bersaing dengan media sosial terlepas mungkin hal-hal yang dirugikan dari copy konten program para pengiat medsos.

Tetapi ganjilnya adalah mengapa tidak semua TV Nasional lain selain kedua stasiyn TV tersebut ikut berperan dalam perjuangan uji materi UU penyiaran di mahkamah konstitusi? Mungkinkah RCTI dan I-News menyerah sebelum perang?

Sebagai kaum milenial itu sendiri seharusnya pemilik RCTI anak Hari Tanoesoedibyo yaitu Jessica Tanoesoedibjo sadar betul apa kekurangan dari stasiun TVnya. Tentu terkait dalam membuat acara yang menarik kaum milenial. Supaya stasiun TVnya tetap berjalan dengan baik dan digandrungi penonton dan tetap memberi untung.

Saya berpendapat "ganjil" jika yang menjadi alasan Jessica Tanoesoedibjo adalah ketatnya pengaturan media tradisional oleh pemerintah sebagai alat komunikasi massa kepada masyarakat. Dirinya juga mengkhawatirkan jika media dikendalikan oleh luar negri (termasuk palatfrom luar negri) maka itu akan menjadi masalah nasionalisme.

Bericara kepentingan  bisnis dan nasionalisme, apakah benar bisnis saat ini harus nasionalis? Tidakah nasionalisme hanya digunakan untuk jualan MNC grup supaya dirinya dapat survive sebagai suatu bisnis karena tahu mereka akan kalah bersaing dengan media social sebagai media yang diminati?

Saat ini dengan menjalarnya perusahaan luar negari yang masuk di Indonesia, mungkinkah kita bicara nasionalisme yang pada kenyataannya untung besar atau sedikitnya usaha mereka yang mengatas namakan nasionalis tetap saja yang menikmati mereka?

Saya kira saat ini jualan nasionalisme dalam bisnis sudah tidak ada relevansinya. Perusahaan dalam negri atau luar negri jika memang nyatanya dalam adanya perusahaan tersebut membawa pada kemakmuran masyarakat.

Kita butuh suatu perusahaan itu "media" misalnnya, sebagai lompatan kesejahteraan seperti media social kini meskipun milik luar negri nyatanya berdampak ekonomi juga melalui karya-karya kreatifitas masyarakat. Maka berbicara bisnis dan keuntungan apa lagi perusahaan kini dengan label nasionalisme adalah "ganjil".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun