Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Polemik UU Penyiaran: Pemilik RCTI Pantas Bicara untuk Nasionalisme Media?

1 September 2020   06:23 Diperbarui: 1 September 2020   22:03 399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menanggapi kemungkinan jika berhasil uji materi UU penyiaran tersebut membahayakan medsos mereka ramai-ramai netizen menyerang RCTI dan I-News TV. Mereka menganggap RCTI dan I-News membatasi kebebasan berkespresi masyarakat lewat media social.

Banyak kalangan netizen yang menganggap RCTI dan I-News sudah tidak mampu berkompetisi dengan media social oleh sebab itu menggugat UU penyiaran.

Menanggapi hal tersebut sebagai bagian dari MCN Grup Jessica Tanoesoedibjo selaku pemilik RCTI membantah netizen. Menurut Jessica Tanoesoedibjo gugatan tersebut dibuat agar kominfo dan DPR bisa merevisi undang-undang penyiaran yang selama ini digunakan sebagai acuan.

Menurut saya ada benarnya netizen jika RCTI dan I-News TV menyerah bersaing dengan media sosial terlepas mungkin hal-hal yang dirugikan dari copy konten program para pengiat medsos.

Tetapi ganjilnya adalah mengapa tidak semua TV Nasional lain selain kedua stasiyn TV tersebut ikut berperan dalam perjuangan uji materi UU penyiaran di mahkamah konstitusi? Mungkinkah RCTI dan I-News menyerah sebelum perang?

Sebagai kaum milenial itu sendiri seharusnya pemilik RCTI anak Hari Tanoesoedibyo yaitu Jessica Tanoesoedibjo sadar betul apa kekurangan dari stasiun TVnya. Tentu terkait dalam membuat acara yang menarik kaum milenial. Supaya stasiun TVnya tetap berjalan dengan baik dan digandrungi penonton dan tetap memberi untung.

Saya berpendapat "ganjil" jika yang menjadi alasan Jessica Tanoesoedibjo adalah ketatnya pengaturan media tradisional oleh pemerintah sebagai alat komunikasi massa kepada masyarakat. Dirinya juga mengkhawatirkan jika media dikendalikan oleh luar negri (termasuk palatfrom luar negri) maka itu akan menjadi masalah nasionalisme.

Bericara kepentingan  bisnis dan nasionalisme, apakah benar bisnis saat ini harus nasionalis? Tidakah nasionalisme hanya digunakan untuk jualan MNC grup supaya dirinya dapat survive sebagai suatu bisnis karena tahu mereka akan kalah bersaing dengan media social sebagai media yang diminati?

Saat ini dengan menjalarnya perusahaan luar negari yang masuk di Indonesia, mungkinkah kita bicara nasionalisme yang pada kenyataannya untung besar atau sedikitnya usaha mereka yang mengatas namakan nasionalis tetap saja yang menikmati mereka?

Saya kira saat ini jualan nasionalisme dalam bisnis sudah tidak ada relevansinya. Perusahaan dalam negri atau luar negri jika memang nyatanya dalam adanya perusahaan tersebut membawa pada kemakmuran masyarakat.

Kita butuh suatu perusahaan itu "media" misalnnya, sebagai lompatan kesejahteraan seperti media social kini meskipun milik luar negri nyatanya berdampak ekonomi juga melalui karya-karya kreatifitas masyarakat. Maka berbicara bisnis dan keuntungan apa lagi perusahaan kini dengan label nasionalisme adalah "ganjil".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun