Menanggapi kemungkinan jika berhasil uji materi UU penyiaran tersebut membahayakan medsos mereka ramai-ramai netizen menyerang RCTI dan I-News TV. Mereka menganggap RCTI dan I-News membatasi kebebasan berkespresi masyarakat lewat media social.
Banyak kalangan netizen yang menganggap RCTI dan I-News sudah tidak mampu berkompetisi dengan media social oleh sebab itu menggugat UU penyiaran.
Menanggapi hal tersebut sebagai bagian dari MCN Grup Jessica Tanoesoedibjo selaku pemilik RCTI membantah netizen. Menurut Jessica Tanoesoedibjo gugatan tersebut dibuat agar kominfo dan DPR bisa merevisi undang-undang penyiaran yang selama ini digunakan sebagai acuan.
Menurut saya ada benarnya netizen jika RCTI dan I-News TV menyerah bersaing dengan media sosial terlepas mungkin hal-hal yang dirugikan dari copy konten program para pengiat medsos.
Tetapi ganjilnya adalah mengapa tidak semua TV Nasional lain selain kedua stasiyn TV tersebut ikut berperan dalam perjuangan uji materi UU penyiaran di mahkamah konstitusi? Mungkinkah RCTI dan I-News menyerah sebelum perang?
Sebagai kaum milenial itu sendiri seharusnya pemilik RCTI anak Hari Tanoesoedibyo yaitu Jessica Tanoesoedibjo sadar betul apa kekurangan dari stasiun TVnya. Tentu terkait dalam membuat acara yang menarik kaum milenial. Supaya stasiun TVnya tetap berjalan dengan baik dan digandrungi penonton dan tetap memberi untung.
Saya berpendapat "ganjil" jika yang menjadi alasan Jessica Tanoesoedibjo adalah ketatnya pengaturan media tradisional oleh pemerintah sebagai alat komunikasi massa kepada masyarakat. Dirinya juga mengkhawatirkan jika media dikendalikan oleh luar negri (termasuk palatfrom luar negri) maka itu akan menjadi masalah nasionalisme.
Bericara kepentingan  bisnis dan nasionalisme, apakah benar bisnis saat ini harus nasionalis? Tidakah nasionalisme hanya digunakan untuk jualan MNC grup supaya dirinya dapat survive sebagai suatu bisnis karena tahu mereka akan kalah bersaing dengan media social sebagai media yang diminati?
Saat ini dengan menjalarnya perusahaan luar negari yang masuk di Indonesia, mungkinkah kita bicara nasionalisme yang pada kenyataannya untung besar atau sedikitnya usaha mereka yang mengatas namakan nasionalis tetap saja yang menikmati mereka?
Saya kira saat ini jualan nasionalisme dalam bisnis sudah tidak ada relevansinya. Perusahaan dalam negri atau luar negri jika memang nyatanya dalam adanya perusahaan tersebut membawa pada kemakmuran masyarakat.
Kita butuh suatu perusahaan itu "media" misalnnya, sebagai lompatan kesejahteraan seperti media social kini meskipun milik luar negri nyatanya berdampak ekonomi juga melalui karya-karya kreatifitas masyarakat. Maka berbicara bisnis dan keuntungan apa lagi perusahaan kini dengan label nasionalisme adalah "ganjil".