Perlu diketahui bawasanya diabad ke-21 mungkinkah kejahatan perang tidak akan ditentang oleh masyarakat dunia, yang saat ini tengah ada pada rasa kesadaran kemanuisaan yang tinggi?
Ataukah dengan para prajurit militer itu yang sedang ada dipangkalan militer, mungkinkah mereka semua menginginkan perang?
Tentu tidak semudah itu, berangkat untuk perang yang nyatanya diri dan keluarga mereka menjadi taruhanya. Lebih menyeluruh kemanuisaan yang akan menjadi korbannya.
Tetapi mentalitas prajurit dengan semangat patriotisme. Mungkin saja berpikir demikian, perang pun tidak apa yang penting membela negara.
Namun dengan jiwa patriotic tersebut, saya kira sudahlah tereduksi pasca semangat kolonialisme negara-negara sudah berakhir.
Menjadi pertanyaan saat ini dengan kualitas sumberdaya yang maju. Sadarnya manusia akan hak hidup orang lain, serta keadaan yang" sulit" ketika terjadi peperangan yang cenderung menyengsarakan masyarakat.
Apakah seorang prajurit pun tidak akan berpikir dua kali? Atau dengan warga sipil yang sama sekali tidak mencintai kekerasan, mungkinkah mau di didik militerisme menjadi pasukan cadangan perang Negara jika dirinya anti perang?
Jika dipikir secara rasional, proyek negara dan wilayah kekuasaan secara politik adalah proyek dari penguasa. Mau apapun dan bagaimana pun yang banyak diuntungkan adalah penguasa.
Tidak ketinggalan orang-orang yang mengabdi pada penguasa, juga tidak dipungkiri tetap ada dampak keuntungan dalam mengabdi pada kekuasaan tesebut termasuk kekuasaan negara.
Namun dengan warga sipil, yang memang tidak terlibat didalam Negara, bukankah itu hanya menjadi warga Negara saja tidak lebih? Tetap saja tidak mau dilibatkan terlalu jauh urusan Negara terkecuali mempertahankan diri sendiri saat terjadi krisis keamanan apapun?
Maka tidak mungkin warga sipil akan ngoyo-ngoyo membela negara saat ini, jika jalannya negara saja tidak memberi dampak keuntungan padanya justru menyengsarakannya.
Inilah yang terkadang menjadi sangat rancu itu. Warga sipil tidak dibayar sepeser pun oleh negra justru memberi pajak kepada negara.
Kalau memang wagra sipil menjadi tentara sebelumnya, itu memang sudah kewajibanya. Dan tentara dibayar oleh warga sipil untuk menjadi aparatur militer Negara menjaga kemungkinan adanya krisis keamanan termasuk perang.
Tetapi dengan tentara jika mereka jujur dan rasional, maukah benar-benar diajak berperang jika memang bukan tuntutan profesi? Dengan sekarang yang berprofesipun dimiliter bukankah juga belum tentu mereka menghendaki perang?
Inilah yang terkadang menjadi rancu orang-orang sipil non militer diproyeksikan sebagai cadangan pasukan Negara. Beberapa pihak masyarakat sipil memang berpandangan: disinyalir tetap akan mengundang masalah hak asasi manusia (HAM) meskipun itu hanya para mahasiswa yang mengikutinya.
Belum dengan status atau arogansi yang akan ditimbulkan warga Negara sipil itu sendiri jika memang dibekali kartu anggota dan sebagainya jika nantinya program komponen cadangan pertahanan Negara sejenis militerisme tersebut benar-benar terealisasi.
Bukan apa, sesama aparatur Negara yang sah saja terkadang bertikai di jalan merasa yang paling tinggi posisinya dan mentang-mentang ada dan bagian aparatur tersebut.
Apakah tidak mungkin ketika banyak orang dididik secara militer tidak akan menimbulkan kekacauan berikutnya disebabkan arogansi di masyarakat?
Merasa bahwa mereka keras dan layak dihormati seperti ormas layaknya preman nantinya mengatasnamakan komponen pasukan candangan Negara?
Bukankah saat ini banyak ormas berlatar belakang sipil tanpa didikian militer saja keras kepada masyarakat, apa lagi nanti merasa sudah dididik oleh militer?
Komponen cadangan: Saat ada Perang Juga Tidak Berguna
"Program Kemenhan pasukan cadangan pertahanan Negara: Pemerintah memang berdalih program itu tidak wajib diikuti dan bukan militerisasi. Tetapi nyatanya ada target merekrut 25 ribu mahasiswa, fungsinya sesuai Undang-undang mendukung TNI".
Meskipun aktivis dan anggota DPR menangapinya beresiko melanggar HAM, apakah mungkin program kemenhan itu akan tetap dijalankan?
Kenyataannya sebagai bagian dari kebebasan masyarakat sipil, supaya tidak diikat oleh Negara bagaimanapun "Negara" ada karena pajak masyarakat sipil. Maka ada benarnya jika anggota DPR dan aktivis berperasangka akan melanggar HAM program tersebut.
Belum dengan potensi perang yang saat ini ada, tetapi saya sangka lebih minim karena bukan lagi zaman kolonialisme. Meskipun nantinya perang ada, komponen pasukan cadangan pertahanan Negara juga tidak akan dapat berbuat lebih jauh: kasaranya tidak berguna apa-apa.
Sebab jikalau nanti perang, kita bukalah perang fisik melainkan perang kecanggihan senjata. Mungkinkah komponen cadangan tersebut akan diajari bagaimana mempergunakan senjata yang canggih?
Sedangkan dari dalam TNI sendiri yang bertugas "professional" mengamankan negara juga mempunyai pasukan masih banyak belum semua dapat mengoprasikan alat-alat tempur canggih tersebut?
Jika toh terjadi program itu dilaksanakan, tidak adakah delik lain kepentingan dari kemenhan yang saat ini dipimpin Prabowo Subianto untuk kepentingan politiknya?
25ribu penduduk untuk basis suara politik tidaklah sedikit mengingat jika ditelisik Prabowo Subianto yang saat ini menjabat sebagai ketum Partai Gerindra kembali. Ada desus politik sepertinya Prabowo Subianto berambisi politik membidik RI 1 2024.
Bukankah selain dari pada faktor politik, faktor lain seperti korupsi anggaran tersebut juga tetap ada dan dapat berpotensi terjadi dalam setiap oprasional program tersebut: membentuk komponen cadangan pertahanan negara?
Selama ini anggaran kemenhan lah yang paling besar diantara anggaran-anggran belanja kementrian lainnya. Tidak lebih bijakkah baiknya mengurangi program efisiensi anggaran belanja kemenhan, atau memang anggaran tersebut diadakan untuk ambisi politik Prabowo Subianto nantinya?
Inilah yang perlu dikritisi masyarakat bawasannya setiap program pasti ada potensi-potensi kepentingan lain selain membela negara .
Maka dari itu saya tidak sepakat jika program komponen cadangan pertahanan Negara melibatkan unsur mahasiswa atau unsur lain-lainnya masyarakat sipil terus dilanjutkan kemenhan sampai terealisasi.
Bukankah jika keadaan mendesak tanpa di didik militer rakyat dapat menjaga dirinya masing-masing yang nantinya dapat untuk cadangan pertahanan Negara?
Apakah dalam perang memepertahankan kemerdekaan dulu rakyat di didik jauh-jauh hari? Apa lagi saat ini, bukanlah dimasa krisis keamanan dunia yang akan berpotensi perang. Saya rasa pasukan cadangan pertahanan Negara tidak perlu.
Karena bisa saja rakyat sipil yang diakui sebagai militer cadangan pertahanan Negara akan menjadi klompok-klompok radikal yang sudah terlatih. Dimana nantinya hanya akan membuat kacau keamanan masyarakat dan Negara itu sendiri.
Ditambah mahasiswa sering melakukan demo, apakah nantinya tidak digunakan untuk kepentingan politik? Dimana nantinya hanya akan membuat kacau karena sebelumnya telah dididik cara-cara pertahanan diri militer dalam setiap aksi demonya?
Masyarakat Indonesia meski mengaku beradab dan segala macamnya kenyataannya arogansi tetaplah menjadi kepercayaan utama. Kini jika memang bangsa kita beradab, apakah tawuran pelajar di ibukota ada?
Atau dengan ormas-ormas itu, bukankah tidak akan seperti preman? Di banyak wilayah kota besar banyak kasus pungli, nama ormas sebagai alibi melakukan pungli tersebut adalah hal biasa.
Oleh karena itu watak arogansi yang masih membara lebih baik warga sipil jangan dididik komponen pertahanan Negara. Apa lagi sejenis militerisme meskipun beda nama bela Negara sekalipun. Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H