Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Diri, Ilham, dan Karya Kepenulisan

11 Agustus 2020   20:00 Diperbarui: 12 Agustus 2020   12:58 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suatu ketika saya sedang mencari inspirasi dalam memandang hari-hari. Alam sebagai sesuatu entitas yang lain dari diri manusia selalu menyajikan sesuatu yang berbeda. 

Berbagai bentuk ketidaknyamanan batin selalu saya tulis. Umunya penulis bukan hanya harus mempunyai batin yang murni, tetapi niat yang kuat dalam mencari ilham kepenulisan.

Seorang penulis adalah bagaimana karya tulisnya kelak akan menjadi seperti hidup mengilhami pembaca tulisannya-- lebih dari itu ketajaman membaca sesuatu untuk ditulis kembali juga harus dengan batin yang benar-benar bersih.

Kehidupan termasuk alam didalamnya seperti menjadi fasilitator terhadap manusia untuk kembali pada dirinya sendiri dan menyatu pada semestanya. Singkatnya alam adalah saudara manusia yang harus disadari, ruang yang besar mengilhami diri.

Ombak pantai dan lekuk indah pasir yang nyata, saya seperti tergerak dalam ketidak sadaran. Saya ingin melepas beban keformalan sebagai yang katanya dewasa itu. Bermain air dengan lepas meskipun hanya sendiri. Tetapi tunggu, memang kesendirian itu sangat melelahkan, bersama-sama dengan banyak orang juga sama "melelahkan".

Apakah kesendiriaan saat itu, dipinggir laut dengan memandang Samudra Hindia, adalah upaya mencari ilham baru untuk suatu kreativitas yang berbeda, yang akan menjadi suatu karya tuli baru?

Air laut dan pasir yang berhamburan, disudut sana banyak sampah dibibir pantai, rasanya saya saat itu ingin merperagakan dunia saya sendiri jauh dari hingar bingar kenyataan.

Saya besok ingin membeli meja tulis/kantor untuk memenuhi dunia imajinasi saya. Nantinya akan saya design ruangan itu dengan gambar-gambar filsuf seperti Nietzche, Buddha, dan Habert Marcuse, tidak lupa tokoh filosofis dar pulau Jawa yakni; "Mbah Semar" yang legendaris itu.

Maka dengan ini, saya akan menamakan ruang kerja barunya itu dengan nama "The Imaginations Room" untuk menjawab jangka dan reka-an dalam hidup manusia. Supaya mimpi-mimpi manusia yang fiksi itu terlihat lebih nyata ketika tangannya sendiri mengusahakannya.

"Satu kata dari satu langkah usaha, saya yakin tidak akan mengkhianati hasil pada akhirnya. Tekad dalam menjalani hidup sendiri merupakan suatu bentuk dari setiap apa yang dinamakan "diusahakan" dalam menggapai setiap keinginan manusia".

Memang keinginan terkadang memberatkan. Tetapi lebih berat mana ketika keinginan itu hanya dibiarkan tanpa usaha untuk mewujudakn keinginan itu yang hanya ada dalam pikiran?

Buaknkah cita-cita sendiri dari hidup, berasal dari setiap keinginan pikiran manusia? Terdiam dalam lamunan, saya tahu, terkadang keinginan tidak selalu sesuai dengan harapan tetapi dala hidup itu manusia selalu mencoba mengejar harapan.  

Tetapi dalam kebulatan tekad, hidup manusia bukankah ingin selalu bahagia? Dan apakah bahagia harus mewujudkan berbagai keinginan itu? Saya sendiri menganggap bahwa bahagia adalah bebas dalam menentukan sebuah karya sesuai dengan keinginan dirinya.

Ketika kita bekerja untuk dan dari orang lain, kita hanya sebatas; "aku butuh uang untuk hidup, namun dengan perasaan sendiri tidak bahagia. Apa tidak ada kontradiksi dari dalam dirinya sendiri?

Inilah yang saya rasakan sebagai manusia yang berkontradiksi dari dalam diri. Itulah "rasa" yang setiap hari ada didalam ruang kerja konvensional yang saya sedang geluti.

Memang semua dapat disambi ketika mampu. Tetapi apakah setiap orang akan optimal ketika semua hal yang ia lakukan tanpa focus dulu mana prioritas? Termasuk hal apa yang tidak membuat ia bahagia didalammnya manusia lakukan? 

"Saya adalah seorang yang berlebih dalam berpikir. Saya sering tidak focus terhadap apa yang tidak "saya "anggap penting dalam hidup saya sendiri. Saya adalah manusia selektif, bahkan untuk sebuah karya saya, saya sendiri memilih".

Sepertinya kepentingan hidup manusia adalah karya dari setiap apa yang ditulisnya. Karena  dari proses menulis itu jika ia penulis dan dapat diaplikasikan hal lain; dia menemukan dirinya sendiri untuk ia mengerti dan kenali dirinya bersama dengan karyanya. Juga tentang kelebihan berpikir yang memenuhi otak saya adalah buah-buah seripihan diri manusia yakni berwujud saya.

Pada dasarnya ketika seseorang berlebih dalam berpikir, ia hanya butuh teman untuk berbicara. Tetapi dengan orang yang ingin mendengarkan keluh kesah, apakah ada orang yang rela ketika; mereka juga punya masalah yang harus mereka hadapi dalam menjalani hidupnya sendiri?

Harapan pelipur kesepian dan teman "Jodoh" dan pengaharapan merupakan hal yang transcendental, sama-sama mencari kerelaan itu adalah bentuk dari hidup manusia untuk tidak terasing dalam dunianya sendiri. Menjalani kehidupan memang saling membutuhkan, tetapi dalam kebutuhan itu, haruskah ditempuh walaupun membelenggunya sendiri?

Bersama dengan orang yang tepat, atau menemukan dulu orang yang benar secara sinergitas energy saling menerima, itulah yang benar-benar harus ditunggu oleh manusia. Untuk semua itu, saya sendiri menemukan kebebasan dalam berbicara dan didengar melalui semua apa yang ditulis saya sendiri dalam setiap karya-karya saya.

Bukan saya tidak butuh orang lain "butuh". Tetapi bukankah hanya akan menjadi neraka bagi kita; berbicara bukan dengan orang yang tepat dan mengerti diri kita dengan kompleksitas wacana berpikirnya?

Karena hal yang paling menyakitkan bagi manusia tentu "pembicaraannya" yang tidak dimengerti orang lain. Bukakah hal ini yang membuat keterasingan bagi manusia itu sendiri termasuk saya?

Semua orang memang terlahir bukan untuk dikenali, pertanyaannya adalah: apa kepentingan kita mengenali orang lain, atau mungkin menawarkan diri untuk dikenal orang lain jika; " tidak adanya ketertarikan untuk saling mengenal satu sama lain"?

Keheningan dengan bau dupa sebagai aroma terapi jiwa manusia. Rasanya manusia butuh keadaan yang hening, tenang, untuk dia merasakan enrgi yang tersimpan bahkan dari dirinya sendiri.

Memang tidak untuk disangka secara lebih, sisi misterius manusia, sangat layak untuk dimengerti keadaannnya, bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk orang-orang yang ada disekitarnya.

Bahkan untuk menjadi seorang manusia dengan aktivitas menulis sebagai bagian dari hidup saya. Orang tua saya saja tahu bahwa; anaknya menjadi "penulis" mengetahui itu dari obrolan seorang Guru di desa saya yang menghampirinya ketika bapak saya ada di sawah.

"Guru itu menanyakan kepada bapak saya. Ada seorang anak desa dengan tulisannya yang sangat bagus dari desa ini. Seorang guru itu tahu anak tersebut adalah anak dari bapak saya. Tetapi ia tidak percaya diri untuk langsung bertanya, mungkinkah itu anaknya, dan bapak saya menjawab dengan senyum lebar bahwa; benar "saya" adalah anaknnya.

Entah, mungkin dimasa depan, penulis besar atau presiden sekalipun akan lahir dari anak para petani. Profesi yang dianggap sebelah mata namun mulia itu. Perkara nasib memang siapa yang tahu. Dari keluarga mana kita akan lahir? Akan menjalani dinamika hidup seperti apa sebagai diri manusia nanti?

Semua serba teka-teki yang harus terjawab oleh waktu dan langkah kita sebagai manusia. Tentang saya bisa menulis pun masih tanda tanya, saya tidak pernah bercita-cita sebagai penulis, apa lagi bisa menulis itu sangat jauh saya bicarakan dulu.

Saya hanya sadar, saya hanya anak seorang petani desa. Pendidikan saya juga pas-pasan. Hanya sempat kuliah teknik tetapi tidak mendapat ijazah. Putus ditengah jalan karena saya ingin menjadi penulis saja dari pada bekerja secara konvensional, yang juga saya rasa tidak akan betah pada akhirnya.

Untuk itu menjadi penulis sepertinya adalah upaya dalam menjemput harapan dan manatap dunia baru yang lebih membahagiakan. Perkara dengan nasib itu, mungkin kegagalan ada karena manusia tidak pernah mencoba.

"Maka cobalah jika waktu itu masih ada; itulah falsafah yang harus dipegang ketika menetukan hidup mulai dari apa yang sedang dipikirkan yaitu; apa yang menjadi rasa saat ini untuk segera ditunaikan tanggungannya, termasuk mimpi itu sendiri untuk menjadi seorang penulis kelas dunia".

Ketika memang belum nasibnya, setidaknya saya sudah pernah mencoba. Dan ketika nanti tidak menunjukan hasilnya sebagai penulis yang bekerja dengan hobi dan  ketekunan untuk terus bekerja sembari bahagia walapun sedikit ada menderita. Mungkin kerja konvensional adalah jalannya, meskipun tetap menderita sedikit bahagia dalam bekerja.

Tetapi kepentingan untuk melanjutkan hidup itu sendiri harus diatas segalannya. Hidup memang untuk melanjutkan "hidup" bagi manusia. Salah satu caranya adalah dengan bekerja mengabdi pada orang lain ketika manusia tidak bisa bekerja secara mandiri.

Bekerja secara mandiri atau bekerja pada orang lain bukanlah seorang manusia antara jenius dan bodoh. Apapun hidup memang seharusnya menjadi umum dan saya menyadari itu. Tetapi "hidup" bukan hanya untuk menantang dunia. Karena ketika sudah melampaui umum, manusia juga butuh melepas dunia.

Namun bagaimana pun lepasnya menjadi manusia itu; mereka tetap harus membangun peradaban dunia; "dunia" yang lahir dari dalam dunianya sendiri. Dan tentang dunia yang lahir dari dalam dunianya sendiri itu adalah bekerja untuk "menulis" bagi saya.

" Tubuh dibersihkan dengan air, pikiran disucikan dengan kebenaran, jiwa dibersihkan dengan pelajaran suci dan kendali indra-indra, kecerdasan dibersihkan dengan pengetahuan"

Menjadi diri manusia: benar-benar menjadi "manusia" ketika mereka dapat hidup berbahagia dengan mengunakan akal dari pengetahuannya. Maka jika kau " manusia" ingin terus hidup dalam waktu kehidupannya sendiri: kejarlah semua bentuk kebahagiaan itu.

Lagu bengawan sore itu yang dinyanyikan Mantos: "Senadyan koyo ngopo manungso, mung biso ngreka lan njangka". Artinya: meskipun seperti apa manusia, hanya bisa membuat reka-an dan menjangka sesuatu yang belum benar-benar terjadi pada hidupnya. Maka dari itu  saya pun seperti membuat suatu reka-an dan jangka hidup diri untuk mewujudkan apa yang menjadi mimpi saya--- didalam ketekuan ingin menjadi seorang penulis besar dunia.

  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun