Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Kehendak Melampaui Reproduksi

4 Agustus 2020   23:50 Diperbarui: 9 Agustus 2020   00:23 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: stompoutmalaria.org

"Saat beban dari penafsiran hidup hanya terdiri dari pelbagi dimensi pemenuhan akan kebutuhan disanalah hal yang menyentuh ke- almiahan akan dilampaui oleh manusia tidak terkecuali reproduksi"

Terpana pada lamunan malam itu, seperti teringiang jauh, semua memang serba berandai-andai. Manusia yang sudah harus melepas hanya bisa mengandaikan, andai saja harapan itu ada: "seorang manusia penantang" yang ingin melepas masa lajangnya.

Memang perkara menunggu sampai kapanpun selama seseorang mau menunggu, waktu tidaklah dapat ditentukan, kapan ia akan mengakhiri dalam masa penantianya itu.  

Disadari atau tidak, bila terus menunggu manusia hanya akan bergelut pada penantian tanpa ujung, yang hanya akan menjadi sebuah kesia-sia pada akhirnya.

Namun yang ingin digambarkan serasa memang ingin didekatkan. Jika perempuan digombali lelaki tidak suka, namun diajak serius cenderung bingung, apa kata dari hati lelaki tersebut? Mungkinkah pilihan itu memang sulit untuk dipilih? Sehingga manusia tidak secara cepat dalam menentukan pilihannya sendiri?

Dengan ungkapan lengah sendiri. Dasar dari keberanian adalah niat, yang sebenarnya lahir dari dalam dirinya sendiri, bukan orang lain. Semua lelaki asalkan mereka telah membuat suatu tekad, laksana Gunung pun didaki, Lutan itu disebrangi.

Ini bukan sekedar hanya komedi "omong" yang pada hakekatnya, semua orang bisa bicara, se-menariknya, se-mampunya bahakan sedemikian mempesonanya omongan tersebut. 

Karena semua yang di dasari dari hati dengan niat yang sungguh-sungguh nyatanya memang tidak akan pernah terbagi meskipun tanpa bicara sekalipun.

Nada dari kata-kata: "Gunung akan didaki, Laut akan disebrangi", bukan karya dari penyair perangakai kata paling masyur namanya di dunia. Sebab begitulah adanya lelaki. nalar yang terkadang sudah tidak dapat dinalar lagi. 

Dipikir secara terus-menerus, mungkin ujung dari berpikir muaranya tetap ada pada berpikir kembali tanpa tindakan yang menyudahi--- apa-apa yang membuat kegelisahannya tersebut.

"Senyatanya manusia sudah kodratnya seperti itu. Mungkin, keyakinan dari moral tersebut adalah pengandai. Bagiamanakah ketika kita ditantang menjadi manusia saja? Hidup sebagaimana hasrat yang ingin dijalankan? Perkara kebaikan dan keburukan tidak peduli manusia dekat dengan Tuhan atau Setan. Karena kesadaran manusia adalah keduanya antara kebaikan dan keburukannya sendiri".

Antara lelaki dan perempuan dasarnya mereka manusia yang sama. Tidak lebih manusia, bukanlah seorang yang harus mencari pembeda-beda antara lelaki dan perempuan sebagai simbol itu. Apapun ungkapan membedakan hanyalah penyerah, yang apa-apanya digantungkan pada persepsi kultural usang dan dominan. Bahwa ada yang lemah dan kuat dalam menjadi manusia.

Leleki seharusnya tidaklah melulu hanya rasionalitas. Begitu pula dengan perempuan, tidak juga dengan dominan perasaannya. Menjadi manusia adalah dualitas tersebut. 

Kelemahan dalam upaya menjadi keduanya sekaligus, ciri dari manusia yang sebenarnya. Manusia tidak layak dalam menjalankan dasar "manusianya" jika hanya satu yang dominan.

Karena situasi tetap dalam permainan gender yang sudah tidak relevan dengan konteks zaman. Namun sungguh kontradiktif luapan-luapan harapan pada hidup ini. Mungkinkah karena pada dasarnya semua orang memilih dengan harapannya sendiri? Bahwa apa-apa yang menjadi pilihan harus sesuai dengan keadaan imajinasi harapannya?

Sungguh peradaban masa depan merupakan zaman dari suatu kebingungan besar. Terkadang standart moralitas yang tinggi masih diberlakukan. 

Namun dengan moralitas tersebut ialah yang merepresi hasrat menjadi manusianya sendiri. Kenyataan pada keinginan reproduksi, semua ditarik ulur oleh kemapanan ekonomi, kemapanan pekerjaan, dan asset kekayaan. 

Mungkin pada "mapan" dalam pilihan terhadap orang lain yang menjadi standart sebagai sebutan "Cinta" kategorisnya sendiri.

Oleh karenanya, manusia saat ini cenderung dikukung dalam norma. Hasrat yang ditekan sebagai kehendak alamiahnya. Terkadang dalam ketidakberanian itu manusia menjalani sesuatu yang diluar nalarnya. 

Mereka harus menekan walau hasrat sebenarnya tidak dapat membohongi dirinya sebagai manusia. Ingin tetapi selalu saja ada pertimbangan norma, rasionalitas, bahkan pertimbangan suatu etis dalam pandangan-pandangan dogma moralitas yang semakin kuat bercokol didalam ideologinya.

Kini para penantang hidup lebih kepada sikap manusia yang labil dalam mengambil keputusan. Tidak siapapun di abad ke-21 melahirkan manusia-manusia penantang yang melampaui realitasnya sendiri. 

Sebab hidup saat ini disuguhkan imajinasi yang hebat dan mempesona untuk "hidup" lebih dalam memfokuskan diri menununggu waktu. Andai saja, semua berusaha kesana---- kedalam imajinasinya sendiri yang mereka akan tuju secara alamiah yang tidak dibebankan pada sesuatu itu.

Karena bagian terdasar sudah mulai terlupakan. Bahkan pengaruhnya sendiri sangat membuat cengang. Entah manusia akan berpikir apa lagi untuk mempengaruhi hidup. 

Supaya jauh lebih baik sebagai bagian dari menyongsong masa depannya sendiri. Memang menikah adalah resiko dari masih tebalnya kultural masyarakat kita dimana reproduksi harus berawal dari sana.

Yang tertinggal dari kultural-kultural itu. Tentu bagaiamana keberanian manusia untuk tidak meredam hasratnya. Menikah yang menjadi sebab pembelengu atau setiap kecemasan dari setiap apa yang menyangkut pemenuhan-pemenuhan ekonomi sangat tidak berimbang. 

Mungkinkah separuh dari pemuda adalah generasi pemikir yang enggan melangkah dalam hubungan untuk melanggekan spesies dalam reproduksi pernikahan?

Suatu yang sudah menjadi gelaran cerita yang terbalik. Pemuda-pemudi kini di abad ke-21, merupakan pemuda-pemudi yang dilahirkan juga dari pemuda di abad sebelumnya ingin melampuai realitasnya. Tetapi cerita dari orang tua penjual Nasi Rames depan kantor saya dengan segenap perjuangannya mengikuti perkembangan dunia melalui ekonomi.

Tidak di Kota atau Desa. Dahulu kata orang tua yang sedang berjuang untuk pemenuhan kebutuhan keluarganya dengan lantang berkata "miris" terhadap generasi saat ini yang banyak menimbang.

Penjual Nasi Rames itu berkata: "Saya dahulu menikah tanpa pertimbangan. Asal sudah sama-sama mau kita jalani. Keputusan apapun tentang ekonomi dan sebagaianya. 

Kita bicarakan nanti antara suami dan istri. Berjuang dalam tugas bersama-sama. Ya sudahlah, hidup ya dijalani saja. Toh, nanti rejeki dari hidup juga menyusul sendiri, jangan pernah takut tidak ada rejeki".

Karena sebenarnya dalam penundaan atau ketakutan mengakhiri masa lajang, apakah manusia diabad ke- 21 merupakan kumpulan dari orang-orang matang, rasional, dan tidak diburu waktu? 

Tentu jika semua benar, mengapa hasrat sendiri harus direpresi pada kuktural moral yang justru manusia seperti kehinaan pada upaya reproduksi spesiesnya sendiri? Cenderung enggan melakukan hubungan reproduksi pada saat belum terpenuhinya upaya pernikahan?

Jadi bagimana aktivitas-aktivitas reproduktif (sex) ini dapat terus menjadi sebuah aktivitas biasa, jikalau moralitas, norma-norma, bahakan kepatuatan sosial menjadi penghambatnya? 

Tentang gairah sendiri dan pengejaran pada sisi rasio yang cenderung akomodatif kebutuhan ekonomi, kerja, uang dan harapan mengikis keadaan alamiah manusia diabad 21 yang ingin melampaui realitas kebutuhan alamiahnya sendiri.

Mereka cenderung urung melakukan hubungan reproduktif karena alasan moralitas dan ketika ia akan melakukakannya tanpa pernikahan yang sah. 

Karena mereka tetap dikukung oleh ideologinya sendiri dengan suatu keadaan yang sangat berdosa berpegang pada ajaran moralitas umum saat ini. Namun alternatif-alternatif hidup seperti telah menjadi wacana baru tanpa tidakan.

Jika memang manusia enggan melahirkan manusia karena alasan reproduktif, mengapa ia rela sendiri dalam kesepian mengekang hasrat melakukan hubungan reproduksi (Sex)? Mungkin sebenarnya manusia abad ke-21 yang sadar norma-norma dan kultural itu---- munafik menyadari hasratnya yang butuh terfasilitasi?

Abad ke- 21 dengan segudang kesibukan manusia-manusia mencari nikmat dari pekerjaan dan uang untuk membeli sesuatu. Jelas hidup manusia saat ini mediskriminasi hidup secara alamiah yang justru menjadi bahan pemikiran kedua bukan priorotas utama dalam menjalani hidup.

Atau dengan latar belakang pendidikan, pengetahuan akan kenikmatan akan barang dan jasa atas akses uang. Juga norma-norma moralitas bahkan kultural tabiat dosa sendiri yang bercokol pada ideologinya. 

Menjadikan manusia-manusia abad 21 terkumpul sebagai manusia pemikir yang sedang menggejala pemuda dan pemudi saat ini akan langgeng kedepan. Lalu mempinggirkan hal-hal alamiah yang harus mereka lakukan sebagai pengisi hidup yang hakiki system reproduksi manusia.

Generasi penantang merupakan nama yang harus disematkan pada zaman abad ke-21 ini. Tantangan itu yakni bentuk-bentuk dari kehidupan yang secara alamaih dari reproduksi lebih meninggi. Sebab semakin banyak orang menundanya atas rasionalitas. Punya atau tidak punya daya beli menyokong reproduksi, mampu atau tidak mampu menajalani aktivitas reproduksi, adalah bagian tertunda sisi alamiah manusia abad ini.

Namun punya atau mampu jika itu menjadi ukuran, obat-obat anti hamil itu banyak dipasaran, mengapa hidup cenderung dikekang terhadap hal-hal yang alamiah? Mungkinkah diabad ke 21 ini manusia kehilangan gairah untuk hidup bersama, yang mereka masih nyaman dengan keluarga leluhurnya, tidak membangun keluarga sendiri, setidaknya untuk tujuan berasmara dalam balutan alamiah reproduksi antara lelaki dan perempuan abad ke-21?

"Seperti telah menjadi masalah baru dalam moderitas yang semakin kompleks. Persepsi ledakan penduduk mungkin adalah gejala-gejalan itu. Tetapi jika dibandingkan dengan abad-abad sebelumnya, semakin bertambahnya penduduk justru semakin kemakmuran itu terlihat tidak disadari banyak manusia".

Apakah kini masih banyak manusia-manusia kekurangan gizi? Sebodoh-bodohnya orang masih dapat makan dan bukankah dalam bertahan hidup paling utama adalah kebutuhan makan? 

Situasi yang terbalik, semakin makmur zaman justru membuat manusia semakin takut melangkah pada kehendak alamiah mereka melesatrikan spesies "reproduksi"..

Meskipun hidup saat ini tidak hanya makan saja, tetapi dengan hubungan reproduksi (sex) jika memang pernikahan sebagai jalan dari budaya, moralitas, dan norma-norma--- bukankah semakin manusia berpengetahuan tahu bagaimana kehendak alamiah ini harus tetap jalan?

Dengan kecanggihan teknologi atau obat-obatan anti hamil kini ada, mengapa upaya pernikahan dan genderang reproduksi sendiri cenderung dienggankan oleh manusia ketika mereka dapat mengatur sendiri jumlah anak yang akan mereka lahirkan?

Uang, kesibukan akan kerja, dan mode-mode hidup yang mereka kejar. Membuat generasi manusia abad ke-21 merupakan generasi penantang yang dipertanyakan. 

Mampu tidak mereka melawan belenggu pemikiran akan persepinya sendiri, yang sebenarnya setiap dari zaman ada akomodasi kemudahan. Tinggal dipilih mau atau tidak menggunakan itu. Andai saat ini bukan bagian dari generasi penantang itu. Mungkin indah dalam cinta akan dengan mudah terfasilitasi kegiatan reproduksi manusia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun