"Bila tertarik--- "manusia" tertarik dengan lawan jenisnya pasti memberi tanda. Bila tidak, ia juga akan menunjukan berbagai simbol dari berbagai tanda-tanda mewartakan perasaannya".
Dalam kisah romansa anak muda, sekali gayung bersambut, lanjutkanlah. Ketika tidak pasti akan berhenti dengan sendirinya berdasar kepatutan. Karena begitulah cinta dengan perwujudannya, ia adalah benih-benih respon yang harus terjawab di waktu itu juga bagi manusia".
Memang misterius tetapi tidak se-misterius jika dihadapan cinta menurut persepsi kita sendiri sebagai seorang manusia yang sedang dalam pencaharian akan cinta.
Pada dasarnya untuk mengisi hidup ini, apakah benar kita akan melajang seumur hidup kita? Tentu burung-burung pun bersama dengan pasangnyanya untuk mengarungi hidup. Di mana ia punya tempat kembali dan alasan untuk pergi; demi mengarungi bahtera jalan kehidupan ini.
Istilah cinta sendiri bagi saya, tentu sebagai khiasan dalam menggambarkan kehidupan romansa yang sebenarnya sangat sederhana bagi manusia.Namun terkadang dalam setiap teorinya, cinta diibaratkan petualangan yang hebat, butuh perjuangan, pencapaian, bahkan kisahnya seperti Romeo dan Juliet yang sering menjadi contoh kesejatian cinta sesungguhnya.
Saya sendiri agak ragu, apakah itu benar? Mungkin saja benar menurut pendapat orang-orang yang mempercayainya. Karena romansa antara dua sujoli, narasinya sudah terbangun rapi dalam kisah yang pelik, mensejarah dan untaian tragedi. Tentu bagaimana dongeng-dongeng, sinetron, film, dan kisah-kisah dalam imajinasi yang terbumbui  sebagai sebuah fiksi. Akan tetapi  semua seakan nyata dan patut dicontoh untuk dilakukan oleh manusia, apaun dan siapa pun latar belakangnya.
Percaya atau tidak percaya itulah sebuah kebenaran yang harus kita terima dalam memandang percintaan. Cinta sudah diasosiasikan seperti itu sedemikian hebatnya mirip cerita karangan fiksi yang melegenda. Kita tidak dapat berbuat apa-apa selain mengikuti dimana alur cinta sendiri menunjukan caranya supaya berhasil dan meyakinkan lawan jenis.
Tentu untuk mau bersama dengan menjalani cinta, yang didalam membangun fiksinya tersebut ingin paling sempurna dalam menjalinan cinta sesama manusia.Tidak dapat disangkal, kita butuh teman hidup seperti dua sujoli itu.
Seperti burung-burung atau binatang lainnya yang memandu kasih lalu beranak-pinak. Sebagai sarana untuk mengarungi bahtera kehidupan. Saling menguatakan atas nama relasi "cinta" antara pria dan wanita dalam bingkai hidup mereka.
Dalam membangun sebuah cinta, kita memang harus merayu, berjuang, tetapi tidak bodoh supaya tidak disebut bucin atau budak cinta oleh lawan jenis kita. Yang apa-apanya selalu dimanfaatkan untuk kepetingan mereka sendiri seperti mengusir rasa sepi atau lain sebaginya, justru tidak membuahkan hasil untuk sama-sama sepadan dalam menjalani hubungan cinta.
Kembali lagi jika itu sebuah pra syarat dari cinta, apa mau dikata? Tidak lebih kita harus dengan sukarela membangun narasi kisah percintaan kita sesuai dengan fiksi yang dianggap nyata itu. Membangun pendekatan yang efektif, serta menyehatkan diri bahwa; dalam mendekati wanita atau sebaliknya-- wanita mendekati pria harus benar-benar total tanpa adanya keminderan hati untuk lepas dari drama dan tragedi.
Sebab kita adalah mahluk yang sama-sama butuh antara satu dengan lainnya. Jika memang gayung sudah bersambut, lanjutkan dan jangan pernah tanggung.
Mengapa menyambut percintaan harus demikian dalam pendekatan? Sebagai obyek percintaan tersebut rela berfiksi dalam perjuangan mencapai cinta?
Apakah memang harus sedemikian hebatnya? Memang usaha yang setengah akan mendapatkan hasil yang setengah pula. Begitupun narasi kisah cinta manusia. Tetapi cinta tetaplah cinta jika kita terus mengusahakannya selama masih menjadi manusia.
Dalam wacana memandang cinta seorang manusia memang tidak sederhana. Tentu tidak seperti dua ekor ayam jantan dan ayam betina yang berkejaran begitu saja lalu "jadi": "melakukan hubungan sexsual, kemudian bertelur, beranak pinak, setelahnya reprokusi kembali.
Inilah manusia dengan segala kompleksitas pemikiraanya. Bahkan ketika dalam pendekatan mendekati lawan jenis sendiri, tidak klik satu sama lain dan sama-sama mau hidup bersama atau mencoba menjalani hubungan, ia tidak akan pernah jalan menjadi hubungan cinta.
Sebab dalam manusia memandang "cinta" banyak sekali latar belakang yang mempengaruhi wacananya. Tidak lain adalah wancana pemikirannya sendiri. Ketika kriteria ideal menjadi tumpuan, setiap manusia ingin selalu memilih apa yang menurutnya sebagai ideal itu. Karena cinta pun sebenarnya sama, ia adalah bayangan nyata dari para penafsirnya.
Tetapi bagaimana dengan sempitnya pilihan lalu ungkapan menyerah pada pencarian akan cinta manusia? Inilah saat-saat yang berbicara. Percaya atau tidak percaya sesuatu itu pada masanya akan menemukan sosok yang ideal "jodoh".
Dimana jika dari banyaknya manusia tidak ada satupun yang jodoh dengan kita, rasanya hidup seperti sebuah pertanyaan; apakah kita benar-benar akan menjadi pertapa di dunia tanpa cinta di dunia? Melanglang buana tanpa tahu untuk apa alasan pulang dan untuk apa alasan berangkat seperti pengelana jagad raya ini.
Istilah "jodoh" sendiri yaitu suatu keadaan dalam ketertarikan yang sama atau mempunyai vibrasi yang sama antara lawan jenis. Bawasanya sering dijumpai, bila seseorang memang tidak tertarik, ia akan dengan sendirinya tidak merespon kita, sebagaimana yang dijelaskan dari ungkapan gayung bersambut tersebut.
Maka ketika manusia lain atau lawan jenis yang kita anggap ideal sudah jodoh, ditambah gayung itu tersambut walaupun dengan kesangsian perjuangan kita mendekatinya. Itu merupakan awal dari perjuangan cinta yang tidak boleh ditawar dan jangan pernah tanggung untuk memperjuangkannya harus secara total.
Saya akui bahwa; mencari satu manusia lain khususnya lawan jenis yang dapat jodoh, menyambut diri kita dengan "cinta" walaupun pada akhir dari cerita tersebut belum diketahui takdirnya adalah kesempatan yang langka. Maka teruslah berjuang jangan pernah tanggung apa pun metode perjuangannya.
Mungkin wanita juga sama seperti pria dimana sebenarnya yang mereka cari adalah kenyamanan dan rasa terkesan "jodoh" yang jarang didapat dari lawan jenis-lawan jenis lain yang sama-sama meminatinya.
Maka bila jodoh itu yang disebut dengan cinta--- ketertarikan cinta seperti ini tidaklah harus dipandang sebelah mata. Cerita perjuangan cinta harus tetaplah diperjuangkan. Pendekatan secara intens untuk saling memastikan bahwa; cinta antar kedua sujoli tersebut dapat terus dilanjutkan sampai kapan pun sampai maut yang menjemput dan beranak-pinak dengan penuh tanggung jawab. Â
Maka dilema dalam menjemput jodoh antara tragedi dan peliknya drama pendekatan seperti kenyataan dalam bayangannya. Bawasaanya mencari jodoh untuk sama-sama hidup mengarungi kehidupan antara dua sujoli mutlak harus dilakukan manusia dalam menjalani hidup. Â Â Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H