Mau tidak mau memang harus diterima suatu keputusan itu, bukan--- bukan kita kehabisan seorang tokoh politik mempuni di bidangnya, tidak! Hanya saja untuk menjadi politikus saat ini sangat sulit, walaupun dengan modal kecerdasan yang mempuni sebagai politikus misalnya, tetapi tidak punya modal "uang", tidak akan mengubah apa-apa.
"Tanpa modal Anda tidak akan bisa menjadi calon--- calon dari pemimpin jabatan publik apa-apa meskipun itu hanya setingkat Kepala Desa pimpinan terbawah jabatan publik representasi negara".
Mungkin apa yang menjadi realita kini sebagai manusia yang ingin mulia, harus diterima bahwa Anda anak siapa? Kaya atau tidak? Populer atau tidak? Itulah murninya dari apa yang dinamakan kemuliaan saat ini.
Tanpa disadari dan tidak dapat dipungkiri, abad-21 peranannya sudah menunjukan itu. Apapun yang didalam posisinya menggiurkan ekonomi, akses kekuasaan, serta fasilitas hidup yang menjanjikan, setengah mati akan segera dikejar manusia berapapun biayanya demi wacana suatu kemapanan hidup itu.
Pertanyaannya apakah jabatan publik memberi suatu nilai kemapanan? Tentu ini pertanyaaan yang tidak bodoh dikala bermilyar-milyar uang terus digelontorkan demi mengejarnya. Secara tidak kasat mata dari harga bermilyar-milyar itu, jelas kembali untuk periode hidup tertentu.
Jika memang penjabat publik kini masa jabatnya 10 tahun, ya selama sepuluh tahun itu pasti untung apapun caranya mengambil keuntungan itu, entah dari berbagai proyek pemerintah ataupun dari lain-lainnya berkah dari kekuasaan.
Tidak untung tidak mungkin orang akan berbondong-bondong mengejar jabatan public tertentu itulah teori sederhananya. Se dasar-dasarnya jabatan publik di desa, jika orang punya uang, gila akan kekuasaan, dan kemapanan sudah pasti mencalonkan diri sebagai kepala desa.
Dipikir dengan hasil yang tidak berbanding lurus dengan kampanyenya atau politik uang yang harus dilakukannya, tetap saja kepala desa merupakan posisi yang menarik bagi seseorang yang telah terjun dan mengetahuinya kalkulasi hasil apa yang dapat untuk menjadi keuntungannya.
Di desa saya pinggiran Kabupaten Cilacap juga seperti itu. Mantan Kepala Desa  juga masih berhasrat untuk mencalonkan diri lagi. Marilah kita berpikir dengan suatu logika yang jernih, ditambah abad ke-21 semua bentuk kerja diukur dengan penghasilan akan uang.  Â
"Sebab janji akan kemuliaan hidup menjadi janji hidup yang harus ditepati oleh siapapun yang sudah mengerti. Dengan uang-uang itu selama ada dan dapat mengganti suatu kemapanan untuk waktu yang lama dan mengahsilkan, saya kira tetap akan dikejar seperti saat ini untuk menjadi prajurit keamanan Negara dan juga keamanan masyarakat, masyarakat umum pada khususnya rela membayar beratus juta bahkan sampai bermilyar-milyar untuk merebut posisi tersebut".
Karena disamping lebel mulia sebagai pegawai negri, akan ada juga jaminan kemuliaan yang ditawarkan, salah satunya adalah kepastian pendapatan, serta jaminan pensiun yang akan didapatkan saat masa tua nanti.
Gibran sebagai anak presiden tentu sadar betul politik dan transaksi keuntungan yang ada dalam politik itu sendiri meniti karir politik mengikuti jejak bapaknya "Joko Widodo". Fasilitas dan bentuk-bentuk lain dari kemapanan hidup sudah dirasakan dirinya juga keluarganya sebagai keluarga pemegang jabatan publik.
Gibran Rakabuming memang tidak sendiri, anak Wakil Presiden Ma'aruf Amin; "Siti Nur Azizah" Juga mengejar hal yang sama ikut dalam kontestasi pilwalkot Tanggerang Selatan yang berhembus kabar menggandeng Raffi Ahmad artis kondang dan kaya itu menjadi wakilnya
Sebagai Partai Politik, PDIP Sudah Bijak Memilih Gibran
Umumnya sebagai kendaraan politik, PDIP tentu adalah nilai dari bakal calon bahkan kader-kadernya guna menjamin suatu keuntungan yang menjadi harapan kader dan calon kader yakni; ikut mengadu nasib untuk mengisi jabatan pimpinan publik.
Sebagai sebuah gerbong politik tentu PDIP dan partai politik lain dapat dikatakan perusahaan yang bergerak di bidang politik, dimana keuntungan dari kader dan menjaring calon kader baru merupakan transaksi politik yang menjajikan untuk eksistensi partai politik itu dikemudian hari.
Berdasarkan informasi yang saya terima dari media masa (16/7/2020) secara resmi PDIP mengajukan nama putra sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka dan Teguh Prakoso sebagai bakal calon walikota dan wakil walikota Solo dalam kontestasi pilkada 2020, dimana keduannya merupakan kader PDIP DPC Surakarta.
Berdasarkan pengamatan saya sebagai pengamat jalannya politik negri ini, bijakah PDIP memilih seorang Gibran Rakabuming Raka sebagai bakal calon wali kota Solo? Tentu sebagai daya tarik partai PDIP sebagai mesin politik yang masih dan akan dilirik calon kader maupun kader masa depan, pilihan itu tentu sangat bijak dilakukan oleh PDIP.
Meskipun pengalaman politik Gibran Rakabuming sendiri masih kurang dan muda. Namun figure yang melekat anak Joko Widodo sebagai Presiden Republik Indonesia, yang juga mantan Walikota Solo terbilang sukses menjadi ukuran di mana nama Gibran Rakabuming sendiri sangat potensial menjadi calon Walikota Solo.
Saat ini mengapa partai politik memilih tokoh-tokoh populer dikalangan masyarakat sendiri untuk jabatan publik menurut saya adalah langkah dari bentuk trobosan baru partai, dimana selayaknya sebuah dagangan untuk dijajakan masyarakat supaya laku.
Di samping itu partai yang memiliki kader sebagai pemangku jabatan publik sendiri dapat dikatakan sebagai asset partai, yang dapat mendukung keberlangsungan partai dari dana atau dukungan-dukungan semacamnya.
Sebagai contoh Kabupaten Cilacap meski banyak masyarakat saat ini sedang mengalami krisis akibat wabah covid-19 dan banyak buruh yang terkena PHK. Pemkab Cilacap tetap menggelontorkan dana sebesar 2,9 M untuk 9 Parpol yang ada di Kabupaten Cilacap pada hari selasa (14/72020) lalu.
Maka dari itu siapa pun tokoh populer publik figure kedepan adalah kader-kader potensial partai sebagai "dagangan" kepada masyarakat untuk dipilih sebagai pejabat publik tidak terkecuali PDIP. Anak presiden, wakil presiden, artis dan sebagainya yang pamornya tinggi serta kaya akan terus dijaring dan ditawarkan untuk ikut dalam pemilihan jabatan publik saat ini.
Bukan tidak mungkin kedepan kebijakan penjaringan calon potensial pejabat pubik juga mengarah kepada youtuber-youtuber populer dan kaya. Namun dalam politik sesuatu yang tidak pasti lambat laun akan menunjukan kepastiannya termasuk "youtuber" menjadi kader partai politik untuk tahun pemilihan umum beberapa tahun kedepan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H