Tidak memungkiri banyak orang merasa bahwa menjalani hidup dalam kesusahan itu tidaklah mudah. Bukan hanya keadaan nanti pasca tidak punya apa-apa, tetapi pada saat terjadi manusia sudah tidak punya apa-apa.
Memang brontak saat krisis tidak wajib, namun dalam budaya masyarakat indonesia yang merupakan gen-gen radikal, kejadiaannya tetap akan sulit dikontrol meskipun secara ekonomi sendiri masih mampu.
Masalahnya adalah masyarakat kita mudah terprovokasi, bahakan dipengaruhi secara politis menjadi hal biasa. Oleh sebab iti sumber dari segala kekacauan, sengaja banyak orang menumpangi isu tersebut untuk kepentingan segelintir orang.
Kronik, tidak mungkin akan terasa bila memang tidak melakukan tindakan. Itulah yang mensejarah bagaiamana sebuah protes itu dilayangkan terjadi. Kita masih ingat budaya bakar-membakar pada saat demonstrasi ketidakpuasan keputusan politik.
Atau dalam perjalanan sejarahnya sendiri, G 30 S misalnya. Membakar rumah lawan politik saat itu merupakan ungkapan kepuasan bahwa; satu aliran politik telah menang dan kekalahan haruslah ditindas supaya tidak punya apa-apa. Bahakan ketika sudah tidak punya, dan mereka kalah, di ludahi pun sah sebagai seorang pemenang.
Tetapi akar dari kekacauan tidak jauh adalah upaya merampok. Sebab dalam peristiwa kekacauan sendiri selalu saja dibalik keadaan yang tegang dimasyarakat, atau dengan ketakutan yang terjadi, segelintir orang memanfaatkan keuntungan dibalik keadaan yang mencekam.
Tidak mungkin seorang penjahat akan merampok disaat keadaan rumah sedang baik-baik saja. Maka dalam peristiwa yang mensejarah sendiri kronik-kronik itu selalu punya cerita dibalik kekacauan yang terjadi. Bukan mengedepankan kemanusiaan tetapi justru yang ada adalah mendegradasi kemanusiaan.
Kita harus ingat pada saat G 30 S, atau demonstrasi besar-besaran kepada pemerintahan orde baru tahun 1998, yang memunculkan kekacauan dimana-mana. Saat itu krisis besar ekonomi maupun keamanan terjadi. Namun apa, bukan faktor kemanusiaan yang dibentuk, tetapi malah identitas, dimana pengaruh-pengaruh politis itu mempengaruhi mobilitas masyarakat untuk berbuat radikal.
Pada saat itu kronik 1965 G 30 S, terjadi sentimen terhadap orang-orang komunis. Dimana rumah-rumah mereka dibakar, harta mereka dijarah, tidak juga sedikit kasus perempuan diperkosa. Begitu pula reformasi tahun 1998, sentimen etnik terhadap orang-orang tionghoa menjadi korbannya. Toko-toko mereka dijarah, perempuan diperkosa, dan masih banyak lain-lainya yang tidak tertulis oleh sejarah.
Karena sudah gen, ataupun sudah sikap manusia indonesia begitu. Masih kurang sadar terhadap polah kerusuhan masyarakat, dimana selalu ada yang menumpang entah masalah politis maupun ekonomi. Sebab kerusuhan sendiri adalah tradisi yang tetap akan tumbuh subur dalam ideologi mereka; para gen radikal yang penuh kepentingan.
Maka memanfaatkan sesuatu untuk keuntungan baik politis, ekonomi, selalu menjadi dalih memperkeruh kerusuhan itu apapun latar belakang terjadinya kerusuhan tersebut. Termasuk baru-baru ini, dimana virus covid-19 berpotensi akan menimbulkan kerusuhan dimasyarakat karena ekonomi yang lesu akan menciptakan krisis.
Jika krisis memang jalan masuk sebuah kerusuhan, mungkinkah covid-19 ini yang pada dasarnya adalah wabah penyakit dalam hal ini banyak orang meyakini bencana yang tengah melanda dunia, apakah akan menjadi akar kerusuhan masyarakat  indonesia dan dunia saat ini?
Provokasi bertuliskan: "Sudah krisis saatnya membakar" yang ditulis dengan piloc di Kota Tanggerang, Provinsi Banten menjadi peringatan bagi masyarakat kita (Indoneisa). Apakah manusia-manusia yang sebelumnya punya sejarah panjang kerusuhan, intrik, korban jiwa, pemerkosaan, penjarahan dan lain sebagainya akan terjadi lagi dibalik krisis melawan pandemi covid-19?
Krisis covid-19 dan pendewasaan masyarakat indonesia
Setiap bencana atau polemik politik yang membuat tragedi masyarakat memang sepatutnya dihindari. Tetapi apakah ketika itu merupakan siklus alam, atau tragedi politik perubahan, mungkinkah dapat dihindari? Sebab setiap perkara kebanyakan manusia sendirilah yang membuatnya.
Tidak dapat dipungkiri covid-19 yang melanda dunia besar kemungkinan melumpuhkan ekonomi. Bahkan disinyalir jika kebijakan karantina dan pembatasan sosial terus digalakan pemerintahan setiap negara untuk kesehatan masyarakat, jelas akan mempengaruhi ekonomi salah satunya indonesia.
Untuk itu bahu membahu masyarakat bukan hanya penting, tetapi sangat krusial untuk menjaga stabilitas krisis baik keamanan ataupun lainnya yang dapat menyebabkan kekacauan. Maka menjadi manusia bermasyarakat diuji ketika terjadi krisis ekonomi. Apakah mereka akan berbuat destruktif atau konstruktif sebagai masyarakat?
Namun jika memang sudah mendesak, perut sudah lapar dan tidak punya uang, disanalah pemerintah tetap harus hadir. Bagiamanpun menjaga perut masyarakat tetap kenyang merupakan tugas pemerintah. Supaya potensi provokasi baik dari kepentingan politik maupun lainnya dapat diminimalisir.
Karena perut yang lapar, dan ditukangi kepentingan tetap akan kalap. Oleh karenanya disaat masyarakat dicoba krisis, reaksi dari masyarakat merupakan kematangan kedewasaannya. Dimana jika tradisi bakar-membakar tetap dilakukan dan sebagai solusi, disanalah masyarakat kita tetap akan bar-bar hati nuraninya.
Sebab covid-19 ini yang diduga juga merupakan bencana alam. Namun jika isu ini digunakan untuk kepentingan politik dan ekonomi, jelas isu kebencanaan covid-19 ini memang telah dibuat sebelumnya oleh segelintir orang. Bukan hanya orang indonesia sendiri, tetapi juga orang-orang di dunia melalui kepentingan mereka masing-masing.
Pembatasan sosial masyarakat dunia jelas akan memperburuk ekonomi dan keamanan masyarakat sendiri. Bukan hanya indonesia tetapi juga dunia rawan krisis, yang disebabkan oleh covid-19 ini. Tetapi apa-apa yang dilakukan negara-negara dunia dalam menanggapi covid-19 cenderung sangat kontradiktif. Kebijakan yang mereka ambil justru merupakan akar-akar dari potensi kekacauan tersebut.
Seperti kebijakan lockdown india yang tidak matang justru menimbulkan kekacuan sosial. Belum dengan penanganan covid-19 ini di italia, juga demikian. Menyusul amerika dan negara-negara dunia lainnya yang akan berpotensi krisis ekonomi dan keamanan akibat covid-19.
Begitupula di Indonesia, benih-benih kebijakan kontradiktif juga dilakukan. Tahanan dibebaskan, proyek-proyek pemerintah masih jalan, bantuan cenderung tidak tepat sasaran. Maka dengan dana yang banyak dikucurkan negara melalui gugus tugas covid-19 haruslah benar-benar dicermati masyarakat. Apakah benar-benar tepat sasaran atau hanya euforia angaran belanja negara yang aji mumpun----mumpung ada covid-19?
Maka dengan persiapan mentri keuangan indonesia, Sri Mulyani  untuk mengajukan hutang negara kembali ke Bank dunia. "Katanya, kita tidak perlu takut hutang sebab harta kita masih banyak. Kalau memang indonesia mampu mengapa harus hutang?
Belum dengan nada ketakutan, provokatif dan lain sebagainya. Diberbagai media sosial ditengah wabah ini bermacam-macam informasi telah menyebar. Teror keamanan segala bentuk kejahatan menyusul pasca dibebaskannya tahanan negara dari pencurian hingga ancaman untuk membakar mobil-mobil, gedung dan segala macamnya beredar sebagai gosip ditengah pandemic covid-19 saat ini.
Tetapi semua berpotensi terjadi, nada provokasi; "sudah krisis saatnya membakar" di Tanggerang adalah gerbang tersebut bahwa kekacauan sosial akan terjadi. Mungkin saja jika para tahanan yang bebas tersebut ditukangi kepentingan politik, kepentingan pribadi, dan memanfaatkan momentum covid-19 untuk membuat kekacauan. Jelas pengaruhnya akan mewabah sebagai "penmumpung" Â akar membuat kekacauan di seluruh indonesia.
Memang sudah sepatutnya curiga covid-19 ini sebagai fenomena lebih dari bencana. Artinya bencana ini memang dibuat. Jika tidak dibuat fenomena ini murni bencana alam jelas ditukangi berbagai kepentingan. Apakah memang isu covid-19 ini sengaja dibuat orang-orang yang berkepentingan politik- ekonomi di indonesia dan dunia lebih luasnya?
Menarik untuk dipikir karena membuat dunia krisis dan setiap negara mau tidak mau melakukan hutang. Dimana dari hutang tersebut negara diposisikan sebagai perusahaan profit, yang didalam perbankan membantu menyehatkan Bank Dunia dimasa yang akan datang. Oleh karena itu membuat pertalian bawasannya negra-negra tetap terjajah dengan rayuan hutang.
Pada dasarnya, entah itu yang katanya bencana alam, atau memang kronik politik. Selalu saja ada motif kepentingan yang memulai. Sikap anarkisme memang dalam sejarahnya sendiri kerap terjadi saat krisis justru memunculkan berbagai masalah baru.
Masyarakat yang tetap menanggung akbibatnya. Hutang negara tetap rakyat yang menanggung. Belum dengan kerusakan akibat kerusuhan baik material maupun korban jiwa, rakyat juga yang kena imbasnya. Maka krisis apapun sebabnya, jangan sampai membunuh hati nurani kita "rakyat". Apalagi ini adalah isu bencana yakni virus covid-19. Jadi kerusuhan apapun bentuknya tetap akan berimbas kepada rakyat itu sendiri yang menerima imbasnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H