Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Kerja, Antara Keseimbangan Derita dan Bahagia

12 September 2019   18:26 Diperbarui: 24 September 2019   07:10 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Katanya hidup memang harus dinikmati, suka duka yang berjalan beriringan itu, tanda bahwa: tidak ada yang sempurna dari kehidupan ini, hanya saja pikiran manusia itu, inginnya menjadi sempurna tanpa cacat sedikitpun dan itu menjadi realitas yang terjadi, tidak bisa manusia itu tolak. Sebagaimana adanya kini, bersandar dan selalu menyandarkan diri, pada apapun, dan kata manusia yang menghibur dirinya disana, "jadilah orang yang mempunyai tujuan", dan tetap menjadi "aku" manusia yang sadar akan kenyataan itu.

Bintang-bintang memang dapat terlihat tetapi apakah mereka dapat akan tergapai pada akhirnya, sesuatu dan tentang menjadi manusia masa kini yang harus seimbang, bukan saja dengan pikirannya sendiri tetapi dengan penderitaan mereka atas nama kerja, hidup dan juga uang untuk membeli kesenangan mereka.

Yang menjadi tidak berganjar pada akhirnya, sesuatu yang kosong memang akan terlupa, tetapi bagaimanakah menjadi sesuatu yang isi? Apakah ia akan terlupa sebagai mana aslinya sebagai manusia? Tetapi dititik ini, "manusia memang bukan, dan mungkin tidak akan pernah menjadi manusia langit (sempurna). 

Tetapi lihatlah bintang disana, meskipun ia kecil; tetap relakanlah bahwa: hidup memang harus terus membagi dan dijalani sebagai mana adanya menjadi manusia, turun-turun dan menurun, tentu agar tercipta "ikhlas" dalam menjalani hidup yang sebenarnya penuh dengan derita tetapi menginginkan bahagia sebagai manusia.

Sesuatu memang harus terjalani kini, kita "manusia" tengah menjadi pemilih, tetapi dari pemilihan-pemilihan hidup itu, apakah kita akan menjadi manusia pencundang yang kalah pada akhirnya tidak mampu memandang dunia secara berimbang disana dan menjadi para pertapa yang ulang untuk menyongsong: bahkan berjalan beriringan dengan derita dan bahagia yang dunia ini tawarkan? Inilah bentuk pertanyaan itu sebenarnya, menikmati keseimbangan sebagai manusia!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun