Aku hisap rokok ini tidak seperti biasanya, mulutku merasa begitu pahit bersama panggilan Sunset yang sudah mulai terlihat. Dengan itu, "aku melihat orang asing sedang memunguti pasir yang hitam", untuk apakah itu? Mungkin aku tidak harus bertanya, sudahlah mungkin untuk cerita hidupnya saja karena ia datang dari timur jauh.
Pasir ini begitu halus, halus seperti kau rembulan disana. Di sebrang terlihat pula Pulau Nusa Penida yang cantik jelita, kapan lagi aku berkunjung kesana? Di Pantai Purnama, Gianyar, Bali ini memang tidak secantiknya, namun tetap banyak orang yang mengunjunginya seperti aku mengunjungi tempat ini untuk mengusir suntuk-ku.
Hari sudah mulai sore, kulihat sore ini semakin cerah. Aku tahu aku harus bergegas pulang melanjutkan perjalanan lagi. Disini di Pantai Purnama, mungkin saja akan aku kunjungi engkau dilain waktu lagi. Karena aku tidak dapat berjanji seperti orang-orang dengan mudahnya berjanji.
Maka manusia adalah kesalahan itu sendiri. Untuk yang tak terbalas, dimanakah untain kata-kata indah yang terwujud kenyataan itu dalam janji manis? Ia mungkin akan kembali kemudian datang menghampir,i selanjutnya ia akan kembali menghilang. Oh, yang sudah lelah menjadi dirinya sekarang? Dan masih terkatung-katung oleh penantian janji keindahan yang semu?. Sadarlah selama masih manusia mungkin akan tetap pada kondisi yang sama pada akhirnya. "Kesalahan datang bukan dari arah manapun, mungkin menjadi manusia adalah kesalahan itu sendiri yang harus dihadapi". Tidak aka nada pernah janji, karena manusia dihadapan janji mereka memakan omongannya sendiri.
Mental yang salah dari dirinya, "kemungkinan ada yang salah dari dirinya". Satu orang yang sama dengan dua pandangan yang berbeda. Cermin merupakan mentalnya dan badannya adalah realitasnya.Â
Namun apa daya, realitas tidak akan mampu membohonginya, ia adalah pesuruh yang ingin bebas, tersenyum dan berkarya menurut apa yang ia ingin kehendaki. Memang aneh, "manusia selalu melihat pada dua hal antara realitas dan cerminanya". Tetapi manusia selalu bisa menebak, jika ia mulai tertekan dengan realitasnya sendiri, "ia mulai salah, salah dalam mensinkronisasi tentang apa yang menjadi cerminannya".
Rasanya kesalahan mengaktualisasi diri adalah langkah untuk beranjak mencari yang benar dari dirinya untuk kebebasannya. Dimatanya terdapat kebebasan yang terus dirasakannya.Â
Merpati bebas, "ketika ia mencari makanannya sendiri", "terbang bersama angan-anganya yang besar menuju langit biru". Sedangkan merpati di "kadang" pelataran orang adalah merpati yang sejahtera kehidupannya karena semua kebutuhan dipenuhi majikannya. Tetapi asal kau tahu, ia hanya menjadi bahan eksploitasi hobi bagi majikannya saja yang membuat merpati itu terhina.
Kesesuaian "menjadi" sepertinya adalah cerimian yang harus dinyatakan kebenarannya. Bulan pernah berbicara bagaimana ia menerangakan segala sesuatu yang belum terjadi dan yang akan terjadi jika, "memang perkiraan bulan jarang meleset".Â
Tetapi mau bagaimana, ketika matahari butuh suatu ruang untuk bersinar menyinari dirinya? Oh, yang sudah terjadi, rangkulah kesadaran itu. Yang berat adalah ketika menjalani sesuatu tidak sesuai dengan jiwanya, karena ia dapat melenceng jauh dari misi jiwa yang mengendap dalam tubuhnya. Seprtinya manusia butuh "berjalan digaris yang sama"
Langit dipandang terlalu jauh, sedangakan aku masih menginjak hamparan tanah ini. Tetapi bisa saja langit mendekat, karena tanah yang meninggi. Tetap berjalan digaris yang sama, sesampainya nanti, menemui Gunung Tinggi untuk mendekat dengan langit. Maka dari itu lampauilah sengsara'mu untuk semua bentuk kebahagiaan'mu.