Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Melampaui Kesengsaran untuk Kebahagiaan

2 Mei 2019   20:24 Diperbarui: 18 Mei 2019   23:27 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi diambil dari pixabay.com/ Taman Bermain

Perasaan sangat layak untuk dibunuh tetapi mengapa ia terus hidup dan berubah-ubah? Rasanya setiap kali merasa ada korban rasa lain yang harus dibayar. Tidak ada yang lebih menyakitkan dari pada rasa ini. Aku ingin berlau, dan benar-benar ingin berlalu. Usik dan terusik hidupku seperti terusik rasa yang tidak berkesudahaan.

Harus seperti apa perlawananku ini? Memang benar orang lain adalah neraka. Mereka menyusahkan orang-orang yang merana dalam batinnya. Aku raba dan terus aku raba rasa ini. Sedikit-sedikit menyembuhkan dengan menulis. Apakah gerangan disana tertawa melihatku ini? Dimana hay kau yang adil, yang kuasa dan yang berbelas kasih? Tidak mau kah kau sentuh diriku dengan kelembutanmu? hay kau yang katanya penyayang?

Mungkin aku harus merenung lagi, harus tenang lagi dan harus mampu melupakan lagi. Saat-saatku busuk, ternoda bahkan kasian. Tetapi aku sama sekali tidak mau dikasihani. Kini aku berjuang, bukan hanya mencari nasi, tetapi juga mencari tenang dalam hidup ini. Mereka adalah kesemuan, palsu dan terlihat indah namun buruk. Ya sudahlah, "aku harus lebih menikmati lagi sebagai aku".

Melelahkannya rasa ini sepertinya ingin mati dalam rasa. Aku seperti si sakit jiwa tetapi belajar selalu waras. Oh, rasa yang membunuhku, aku pun ingin menikam dan membunuh engkau kembali. Tenang dan menenangkan, kalut, "tetap akan menjadi kekalutan".

Aku ingin tidur malam ini lebih cepat demi membunuh rasaku sendiri. Jiwaku seperti tidak berarti lagi. Hidup dipenuhi rasa sakit merana di dalam batin, namun pancaran akan sadar pengetahuan ini menyelamatkanku. Akan ada cahaya di dalam gelap itu, mencari tenang memang sulit, sesulit menyembunyikan perasaan diri sendiri.

Tidak ada ungkapan pasti dari rasa itu. Dia rasa, "mempunyai cara sendiri menyiksa dan membahagiakan dirinya sendiri". Yang sehat adalah mereka yang terus tenang tanpa beban rasa di dada dan hatinya. Namun tidak mudah membebaskan itu, kau harus pergi jauh-jauh melampaui bayanganmu sendiri. Menyepi di dalam hingar-bingar gemerlapnya hidup.

Yang terpasti adalah mati, jodoh pun dengan kematian. Hidup ini seperti menunggu mati, "mati untuk tenang melanjutkan hidup baru lagi". Tidak akan ada alasan untuk menyarah, di dalam keadaan ini. 

Tidak ada pula alasan untuk tidak melawan kehidupan ini. Setan dan malaikat adalah kotoran imajinasi yang palsu. Lambat laun pretensi mereka hilang menjadi kita dan diri kita sendiri. Hidup bersama rasa memang meilukan seperti pilunya kekalutan yang ada didalam diri ini.

Jika aku bisa terbang? akan aku terbangkan diri ini. Jika aku bisa mematikan diri? aku akan mempercepat mati demi hidup baru itu. Hidup ini melelahkan, tetapi apa yang harus kau perbuat? kau sudah mengetahuinya. Sepertinya untuk membunuh hidup bukan kau untuk mengakhiri nyawamu tetapi, "kau harus membunuh imajinasi dan setiap angan-anganmu sendiri yang secara tidak sadar mematikan dirimu sendiri dengan buayan romansa superioritas palsu".

Disore ini aku seperti angin, terbawa, riuh dan mengalir di dalam ketidaktahuan. Aku masih terdiam bahkan berkali-kali berdiam. Aku merasa aku harus melakukan sesuatu. Ya, keputusan yang harus aku tuju, "antara singgah dan terus bergerak melaju".

Bau dupa ini sesekali menenangkan hatiku. Rasanya harus dengan apa lagi menjadi tenang dan bersemangat menjalani hari? Oh, kedaimaian, aku menunggumu disetiap waktu, di sini aku masih terjebak dengan anganku, "angan-angan yang menggelisahkan aku". Aku sadar bahwa hidup adalah kepamrihan yang harus dijalani. Aku pun mengira, menjalani hidup tanpa pamrih itu hanya omong kosong belaka.

Dengan sejuta pamirlah kita hidup disini, siapapun tetap berpamrih."Orang-orang melakukan sesuatu untuk sesuatu dan selalu ditunggu untuk menjadi sesuatu". Orang suci berharap juga berpamrih untuk diakui sebagai tersuci. Juga penjahat yang tetap ingin diadakan sebagai yang pantas menjahati.

Rasanya semua ingin tetap diakui, dan disinilah keakuan yang sedang dicari. Setiap hari kegelisahan menghantui, tetapi apa tentang pengetahuanku dan bakatku ini? Hari adalah pencariaan untuk dirinya sendiri. Aku mencari, mencari di dalam mengisi hari. Oh, yang malang sedang mencari dirinya sendiri.

Sudah dimana dan sampai mana perjalananmu yang menegangkan ini? Oh, ya terberkati, aku ingin engkau datang kemari. Kita menari bersama, bahagia bersama dan bersedih-sedih ria bersama. Mungkin aku adalah penyair yang akan terus bersyair bersama hidup ini. Uh, hidupku, malangku, bahagiaku, dan kesakitanku. Rasanya aku akan ada dan terus ada bersamamu.

Akhir-akhir ini aku seperti kehilangan diriku, bagiku, "aku tak lagi menjadi belang dibalik satu warna". Aku mulai lagi hidup mengalir tanpa aral, ikut dan ikut untuk rakus yang membawa diri pada kedunguan. Sering kali, diwaktu ini aku jarang berpikir seperti dulu, merenung, observasi, dan tenggelam menyelami kedalaman diri.

Kini aku memang sedang lari, "ya aku lari terhadap diriku sendiri". Aku sadar aku lah pemimpi namun; "mimpi itu hilang dengan sendirinya". Oh, aku rasa aku seperti di caci dunia. Ideku malam ini kosong, tanpa arah, tanpa warna dan gelap seperti kegelapan malam berkabut.

Wahai si penyair yang gelap, "disudut kamar sedang merenungi dirinya dan pikiran-pikirannya yang kotor". Sesekali dimohon sadarlah, kau akan tumpul jika kau tidak menunjukan itu pada dirimu sendiri. Hay jemari, hitunglah pikirian ini. Rekam dia, jangan sampai dia hilang. Ya, "yang tumpul akan hilang jika tidak terus dilatih".

Penyihir yang gelamor, "hidup dalam pikiran ini sepertinya tidak akan pernah habis". Rasa dimana kau kini berada? Penyihir ini sedang megelapkan daku, woo pikiran yang rumit membawa harapan, jauh-jauhlah engkau dari hidup ini. Yang sudah-sudahlah, biarkan ia tenang dalam lamunanya sendiri tanpa menerka apa yang akan terjadi esok hari.

Tetapi di malam yang hujan ini, aku mahon kepadamu, hay kau "penyihir". Janganlah kau melumpuhkan tanganku merekam setiap alunan rasa di pikiranku ini. Memang yang tidak berpikir dengan rasa tidak akan mengerti. "Jadilah nihilis yang mempunyai karya, di mana setiap nada adalah rongrongan bagi semesta". Oh, yang dirinya sedang hilang, lari dari gelapnya malam untuk bertepi dari dalam pikirannya sendiri, "lampauilah kebahagiaan semu yang kau inginkan".

Hay, "kau yang berbahagia", jagalah hasratmu tetap menyala pada kehidupan ini. Jangan kau ubah halauanmu meskipun goadaan tiada tara ingin selalu menggodamu. Bagiku, beruntunglah kau yang berbakat dan mempunyai akses, hidupmu adalah kesenangan-kesenanganmu yang tidak perlu susah payah kau usahakan. Ya, kesenangan yang punya kelas dan akan tetap berkelas pada porosnya. 

Tetapi bagiku, "kesenangan tidaklah berbentuk wujud", mereka yang menyebah senang dari wujud hanyalah lari dari hidupnya sendiri yang pelik "menyerah pada dirinya sendiri". Maka datanglah engaku ke pulau kebahagiaan yang telah kami para penakluk dunia rancang.

Pulau kebahagiaan adalah pulau yang penghuninya memiliki getaran sama dengan minat yang sama. Meskipun jauh disana, terdapat janji yang harusnya ditepati, tetapi mimpi tetaplah menjadi mimpi, kemudian kenyataan tetaplah menjadi kenyataan yang tersakiti impian.

Dikepulauan bahagia seharusnya aku tak lagi menghawatirkan diriku  yang tidak punya apa-apa. Aku bermain seperti anak kecil dengan mainannya, tertawa, mencari bahkan saling berdiskusi apa yang ingin diketahui. Oh, pulau yang berbahagia hidupku kini sedang terintimidasi kehawatrian yang akut antara mimpi bahagia dan kenyataan yang pahit, bersumber pada lubang kegemerlapan pikiran yang rancu.

Seakan dalam pikiranku ada Burung berkicau seakan terus ingin merayu. Ia ingin mendapat bidikan, tetapi ia burung yang galau. Sarangnya sungguh sempit bahkan wilayah bermainnya sungguh tak terlalu luas. Dasar, Burung kuper ini sedang buas, mencari dan terus mencari bidikan yang justru tidak jelas.

Namun kebuasan hanyalah kebuasan tanpa keberanian, "ia berlari ditempat mengejar bidikan". Tak tau apa yang sedang ia pikirkan, mungkin sang burung banyak pertimbangan. Meskipun ia kuper dalam pergaulannya, pikirannya tanpa batas, ia si bodo yang banyak tahu. Menurutnya "alam raya" adalah ketidakpastian yang nyata.

Burung ini mencari yang baik, karena ia tahu, "yang terbaik hanyalah dongong masa lalu". Tidak ada bidikan yang sempurna dimata pikiran, ia timbul seperti tulisan, terkadang jelas namun banyak juga yang buram seperti mata singa yang tajam mencari mangsa. 

Si Burung paham betul akan idenya itu, tak jarang ia hanya menjadi penonton kebuasannya saja, "hanya menerawang dari jauh tanpa tahu kepastian kapan ia harus mulai membidik lagi untuk kedua kalinya". Agar ia mendapat cahaya yang sama dengan kemarin tetapi terkadang ia juga menjadi " si naas itu nasibnya"

Hari-harinya selalu gelap, "ada hasrat yang kuat tetapi hamsyong (hampa dan kosong)". Ia tidak bertarung dengan pembidik lain, ia hanya bertarung dengan hasratnya sendiri, "ada tetapi tidak kunjung nyata". Ia si Burung yang membingungkan dirinya sendiri, lupa bahwa hasratnya ada tetapi hanya ilusinya saja sebenarnya.

Kini ia hanya merenung di dalam sangkarnya, tetapi ia bukanlah tipe burung yang waktunya dihabiskan untuk renungan saja. Ia bersiap menyambut bidikannya, sembari menyiapkan senjata yang ampuh untuk bidikanya. Walaupun ide dan kehendak tidak kunjung ada hasilnya, "tetapi ia sangat gigih memperjuangkan apa yang ingin dicapainya". Meskipun berjalan ditempat, tetapi ia berangsur bersiap, "menyajikan sesuatu untuk apa yang akan dibidiknya".

Memang terkadang apa yang belum didapatkan rasanya akan selalu menjadi kehendak angan. Namun apa yang akan didapatkan belum tentu, "itu yang dibutuhkan". Si burung inipun berujar, biarlah yang misterius menjadi misterius, yang nyata akan tetap menjadi nyata, jika terus berjalan dijalan yang sama, pasti akan sampai juga. Hasil tidak akan pernah tertidur, ia hidup bagikan angan yang menganga seperti barong Bali yang mempesona.

Sekiranya apa yang bisa aku lihat dari birunya laut dan hitamnya pasir hitam ini? Ya hanya ketenangan yang bisa aku dapatkan. Aku lihat ditengah laut ini ada kapal-kapal besebrangan, dalam hatiku aku bertanya, apa mereka tidak jengah dengan lautan? Oh, mungkin bagi mereka lautan adalah jiwanya.

Sore ini langit begitu agak mendung. Masih aku lihat banyak orang menikmati harinya ditepi Pantai. Mereka bersama keluarga, bersama yang tersayang dan bersama masalah-masalah hidupnya sendiri yang mencoba ingin dilupakan sore ini.

Gemuruh ombak mengiringi dudukku, di pantai ini aku terpesona pada orang-orang yang menghibur hatinya. Dalam duduk ini aku bertanya, rembulan kapan kau akan datang untuk bersamaku? Apakah kini kau sedang bersamanya, oh, sepertinya kau adalah kesabaranku saat ini.

Aku hisap rokok ini tidak seperti biasanya, mulutku merasa begitu pahit bersama panggilan Sunset yang sudah mulai terlihat. Dengan itu, "aku melihat orang asing sedang memunguti pasir yang hitam", untuk apakah itu? Mungkin aku tidak harus bertanya, sudahlah mungkin untuk cerita hidupnya saja karena ia datang dari timur jauh.

Pasir ini begitu halus, halus seperti kau rembulan disana. Di sebrang terlihat pula Pulau Nusa Penida yang cantik jelita, kapan lagi aku berkunjung kesana? Di Pantai Purnama, Gianyar, Bali ini memang tidak secantiknya, namun tetap banyak orang yang mengunjunginya seperti aku mengunjungi tempat ini untuk mengusir suntuk-ku.

Hari sudah mulai sore, kulihat sore ini semakin cerah. Aku tahu aku harus bergegas pulang melanjutkan perjalanan lagi. Disini di Pantai Purnama, mungkin saja akan aku kunjungi engkau dilain waktu lagi. Karena aku tidak dapat berjanji seperti orang-orang dengan mudahnya berjanji.

Maka manusia adalah kesalahan itu sendiri. Untuk yang tak terbalas, dimanakah untain kata-kata indah yang terwujud kenyataan itu dalam janji manis? Ia mungkin akan kembali kemudian datang menghampir,i selanjutnya ia akan kembali menghilang. Oh, yang sudah lelah menjadi dirinya sekarang? Dan masih terkatung-katung oleh penantian janji keindahan yang semu?. Sadarlah selama masih manusia mungkin akan tetap pada kondisi yang sama pada akhirnya. "Kesalahan datang bukan dari arah manapun, mungkin menjadi manusia adalah kesalahan itu sendiri yang harus dihadapi". Tidak aka nada pernah janji, karena manusia dihadapan janji mereka memakan omongannya sendiri.

Mental yang salah dari dirinya, "kemungkinan ada yang salah dari dirinya". Satu orang yang sama dengan dua pandangan yang berbeda. Cermin merupakan mentalnya dan badannya adalah realitasnya. 

Namun apa daya, realitas tidak akan mampu membohonginya, ia adalah pesuruh yang ingin bebas, tersenyum dan berkarya menurut apa yang ia ingin kehendaki. Memang aneh, "manusia selalu melihat pada dua hal antara realitas dan cerminanya". Tetapi manusia selalu bisa menebak, jika ia mulai tertekan dengan realitasnya sendiri, "ia mulai salah, salah dalam mensinkronisasi tentang apa yang menjadi cerminannya".

Rasanya kesalahan mengaktualisasi diri adalah langkah untuk beranjak mencari yang benar dari dirinya untuk kebebasannya. Dimatanya terdapat kebebasan yang terus dirasakannya. 

Merpati bebas, "ketika ia mencari makanannya sendiri", "terbang bersama angan-anganya yang besar menuju langit biru". Sedangkan merpati di "kadang" pelataran orang adalah merpati yang sejahtera kehidupannya karena semua kebutuhan dipenuhi majikannya. Tetapi asal kau tahu, ia hanya menjadi bahan eksploitasi hobi bagi majikannya saja yang membuat merpati itu terhina.

Kesesuaian "menjadi" sepertinya adalah cerimian yang harus dinyatakan kebenarannya. Bulan pernah berbicara bagaimana ia menerangakan segala sesuatu yang belum terjadi dan yang akan terjadi jika, "memang perkiraan bulan jarang meleset". 

Tetapi mau bagaimana, ketika matahari butuh suatu ruang untuk bersinar menyinari dirinya? Oh, yang sudah terjadi, rangkulah kesadaran itu. Yang berat adalah ketika menjalani sesuatu tidak sesuai dengan jiwanya, karena ia dapat melenceng jauh dari misi jiwa yang mengendap dalam tubuhnya. Seprtinya manusia butuh "berjalan digaris yang sama"

Langit dipandang terlalu jauh, sedangakan aku masih menginjak hamparan tanah ini. Tetapi bisa saja langit mendekat, karena tanah yang meninggi. Tetap berjalan digaris yang sama, sesampainya nanti, menemui Gunung Tinggi untuk mendekat dengan langit. Maka dari itu lampauilah sengsara'mu untuk semua bentuk kebahagiaan'mu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun