Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ketika Dunia Menjadi Sebuah Distorsi

29 April 2019   22:11 Diperbarui: 30 April 2019   21:22 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi diambil dari pixabay.com

ilustrasi diambil dari pixabay.com
ilustrasi diambil dari pixabay.com
Jika lebih dalam di interpretasikan dunia adalah wahana surga bagi manusia, hewan dan segala makhluk yang ada di dunia ini. Di mana bersama-sama kita di kumpulkan  oleh partikel-partikel untuk saling menjaga, mengasihi dan berbagi di sugra yang kita sebut "dunia" ini. Tetapi kenyataannya dunia mungkin tidak diciptakan menjadi surga bagi para penghuninya. Tidak lebih itu karena sikap dari kehendak untuk berkuasa sebagai makhluk hidup itu sendiri, bahwa ada yang unggul diantara yang lemah.

Saling mangsa-memangsa adalah hal lumarah yang dilakukan untuk berkesistensi makhluk hidup. Kebengisan dalam memangsa dilakukan para penghuni bumi, "manusia memangsa hewan", "manusia menindas sesamanya", "hewan memangsa hewan", tumbuhan sepertinya "ditakdirkan untuk kalah,  ia hanya memakan sisa-sisa dari yang tidak diperhitungkan oleh makhluk yang lain untuk menghidupi dirinya sendiri". Begitupun pada alam yang tetap mengalami tindak eksploitasi oleh para penghuninya, dalam hal ini kuasa terbesar atas alam adalah manusia.

Majunya peradaban kehidupan manusia membuat tindak eksploitasi pada alam terus meningkat. Batu yang terkadung dari alam sendiri tidak ubahnya kini sebagai gedung-gedung tempat manusia, begitupun minyak bumi,"untuk bahan bakar kendaraan manusia" dan juga pepohonan sebagai hutan yang berfungsi menghasilkan oksigen, mencegah banjir dan tanah longsor dibabad habis untuk kepentingan industri.

Ketika hutan hilang, pemanasan global adalah konsekwensi dari berubahnya iklim dunia, juga bagaimana tatanan peradaban satwa hutan berubah bahkan hilang karena habitatnya rusak. Saya pesimis ketika komunitas kecil "aktivis lingkungan" bekerja karena ketakutan menolak pemanasan global. Sedangkan komunitas yang besar "industri" cenderung mengundang pemanasan global melalui ekspansi bisnis secara habis mengeksploitasi alam.

Bagi saya, suara dan tindakan manusia kini mengikuti suara mayoritas, bagaimana keuntungan yang mereka dapat dan apa yang dihasilkan? Memberi banyak manfaat atau tidak untuk kehidupan manusia? Meskipun manfaat tidak berbanding lurus dengan dampak apa yang akan dihasilkan di masa depan kehidupan manusia? Kita dapat melihat bagaimana orang utan Kalimantan yang dirugikan kehidupannya oleh pembalakan hutan untuk industri? Juga bagaimana perbukitan di sebagaian Pulau Jawa yang hilang ditambang untuk bahan membuat semen sebagai bangunan gedung-gedung manusia?

Lagi-lagi sesuatu itu yang telah terjadi hanya ilmu pengetahuan untuk diri, dimana kita tahu dampak tetapi masih melakukan eksploitasi karena kebutuhan. Padahal dibelahan dunia lain, manusia yang mulai tersadar akan bagaimana menjaga alam sudah memulai dengan energy terbarukan yang ramah alam. Menanam pohon dan berkesadaran merawat lingkungan hanyalah budi baik manusia kepada alam. Karena alam memberi kebaikan juga kepada manusia dan makhluk hidup lain selain manusia.

Jika memang banyak manusia yang menikmati buah dari kuasanya akan eksploitasi alam, saya tidak menolak pemanasan global karena "mungkin itu sesuatu yang alami". Anak yang tidak bisa membalas budi orang tua begitupun manusia, "dia merusak alam dan tidak bisa mengembalikan alam seperti semula". 

Seperti sel makhluk yang rusak secara alami, akan tumbuh sel-sel baru mengantikan sel yang rusak. Biarkan bumi meregenerasi dirinya sendiri, terpenting sekarang adalah manusia sadar bahwa datangnya kerusakan akibat bencana alam bermula dari tindakannya sendiri. Banjir di Bengkulu dan  yang terjadi di Jakarta adalah sebagai buktinya.  

Sebagai satu pribadi manusia, siapa yang mampu menolak dan melawan peradaban yang dibangaun atas nama mayoritas manusia? Apa yang telah terjadi dan apa yang akan terjadi, "ini semua diluar jangkauan akal satu manusia". 

Dengan berbagai pertentangan nalar, apakah energi yang hidup digerakan untuk seperti ini? Seakan membuat harus ada kuasa untuk menindas yang lemah, dan "memangsa adalah bagian kehidupan yang tidak mungkin makhluk hidup ini tinggalkan".

Dengan kesadaran saya berucap, apakah kita tidak bisa jika, "tidak tindas-menidas", "makan-memakan" dan lain sebagainya yang mencidrai hidup bersama ini untuk terciptanya surga di bumi? Jika ketika makhluk yang berkuasa hanya memanfaatkan tanpa ada upaya memperbaikinya kembali, saya yakin kehancuran bukanlah ilusi lagi, sebab banjir, tanah longsor dan berbagai bencana alam yang ada merupakan bukti nyata awal kehancuran bumi dan kehidupan itu sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun