Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ketika Dunia Menjadi Sebuah Distorsi

29 April 2019   22:11 Diperbarui: 30 April 2019   21:22 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi diambil dari pixabay.com

Melihat, mendengar dan merasa, banyak orang berbicara tentang ramalan akhir zaman seperti ramalan yang pasti terjadi. Di sudut sana orang-orang membisikan sampai telinga saya bahwa ramalan tidak untuk dipercaya.  Jika ada suatu kejadian yang tidak wajar segelintir orang berujar  "ini akhir zaman".

Entah akan menjadi seperti apa, saya pun tidak begitu maksud dan ingin sekali bertanya, apakah dengan sadar mereka berujar kalau ini adalah akhir zaman? Mungkinkah mereka rela mati dalam waktu dekat ini? Saya kira bukan hanya saya yang engan untuk menjemput kematian terlebih dahulu.

Ataukah mereka hanya ikut mengikuti apa yang menjadi pendapat kerumunannya? Mungkin akhir zaman adalah sebuah konsep cara hidup yang sudah usang untuk dipikirkan lagi? Saya sendiri berpendapat bahwa suatu zaman yaitu suatu kondisi cara hidup yang dijalani bukan untuk di khayali. Bagi saya, akhir zaman merupakan akhir dari suatu cara hidup lama yang akan diganti menjadi cara yang baru.

Saya merasa jika orang-orang menganggap akhir zaman suatu akhir dari alam semsesta, mungkin dia  sedang membohongi dirinya untuk takut, mengapa demikian? Saya mengira dari zaman dulu orang selalu berujar akhir zaman, tetapi belum pernah terjadi kehancuran total kehidupan. Justru yang terjadi hanya cara hidup semesta saja yang berbeda masih eksis sampai sekarang "bumi dan kehidupan belum hancur".

Ramalan akhir zaman pada kenyataannya memang hanya berjalannya cara hidup yang berbeda. Saya melihat ini pada kasus yang nyata, "mungkin jika ada LGBT atau sejenisnya, bukankah dari dulu itu sudah ada? Yang berbeda hanya sekarang begitu banyak media membuat isu itu semakin banyak dikonsumsi publik.

Saya menilai, awal dan akhir zaman juga menyangkut budaya yang sedang dijalani dewasa ini. Selama hidup, saya mengamati kondisi jaman atau budaya akhir dan awal. Di mana sebelum tahun 2000-an masih banyak ibu - ibu bahkan "ibu saya kalau ke pasar memakai konde rambut, kebaya yang khas pada jamannya, namun kenyataannya itulah akhir dari zamannya.

"Keterhubungan dengan manusia lain adalah suatu pertanda bahwa kita adalah saudara yang sebelumnya tak saling mengenal."

Pasca tahun 2000-an diganti awal zaman budaya Islamisasi, dimana "hijab" sebagai pakaian khas setelahnya. Untuk itu, tidak lain dan tidak bukan, "Zaman selalu mendistorsi dirinya sendiri". Seharusnya manusia tidak gumunan bahwa ini tanda positif atau negative.  Setiap masa sendiri akan melahirkan identitas baru pada ciri kehidupan masyarakat.

Seperti halnya jika manusia merantau masuk pada budaya masyarakat baru. Umumnya perantau, saya tidak mengenal siapapun disini " tempat masyarakat baru bagi saya". Daerah inipun begitu asing diwaktu saya hanya kenal daerah tempat dimana saya dilahirkan dulu. Saya tidak pernah bermimpi sebelunya, saya akan tumbuh dan berkembang tempat ini sebagai kaum perantau yang tinggal disini. Dengan berkembangnya waktu, saya menyadari bahwa dunia ini luas dengan berbagai isi dan ciri khas masyarakatnya.

Dalam masyarakat budaya baru terdapat banyak orang yang mempunyai karakter unik dan tersendiri. Saking rupa-rupanya membuat "Awalnya saya begitu terasing". Mungkin karena pandangan sempit pikiran saya yang hanya tahu itu saja, yang hanya saya lihat dan pelajari selama ini. Saya dulu menganggap kampung hanya satu yaitu tempat tinggal di mana orang tua dan para kawan-kawan kecil saya berkumpul di tempat tertentu.

Saat menjalin hubungan dengan orang yang lebih luas dan masuk dalam komunitas masyarakat di daerah tertentu, saya menepis semua anggapan-anggapan sempit saya dulu. Saya pun mulai menyadari bahwa," tempat tinggal manusia sangatlah luas dan membentang sejagat raya ini".

Keterhubungan dengan manusia lain adalah suatu pertanda bahwa kita adalah saudara yang sebelumnya tak saling mengenal. Tempat tinggal kita disini, dimanapun wilayah dan siapapun manusianya,  bagi saya dunia adalah kampung halaman manusia.

Saya sendiri menilai "saat manusia menganggap kampung halamannya hanya dikampung dimana  mereka dilahirkan, dia adalah seseorang manusia yang diasingkan oleh pikiranya sendiri untuk tidak mengenal rumah yang sesungguhnya selain di dalam dirinya sendiri. Rumah sesunggunya manusia adalah "dunia" dan kampung halaman kita dimanapun manusia berada di dunia.

Sedikit sejarah hidup manusia

ilustrasi diambil dari pixabay.com
ilustrasi diambil dari pixabay.com
Pada saat peradaban komunal primitif, bahan makanan disediakan oleh alam, karena itu hanya dengan bekerja pada alam, manusia dapat sejahtera dengan hasil makanan yang dihasilkan oleh alam. Mereka bekerja dengan berpindah-pindah tempat, mencari bahan makanan yang masih ada. 

Saat terjadi seleksi alam, hanya manusia kreatiflah yang sanggup mempertahankan eksistensi hidupnya. Manusia bertahan hidup dengan mereproduksi pangan melalui bercocok tanam. Pada saat itulah "manusia menetap tidak berpindah-pindah lagi".

Dengan keadaan manusia yang telah berbeda cara hidupnya, cara untuk sejahtera pun berbeda. Masa dimana bercocok tanam sebagai suatu media bereksistensi, hanya dengan mempunyai lahan yang luas-lah manusia bisa sejahtera. Untuk melegalisasi kepemilikan dibuatlah suatu pemerintahan atau negara guna mengakui kepemilikan secara pribadi. Kenyataanpun bergati kesejahteraan hanya bisa dicapai melalui tanah, maka dari itu kelas sosial tercipta antara tuan tanah dan buruh tani.

Reproduksi pangan mulai tumbuh pasar pun tercipta guna tukar-menukar hasil produksi. Sekian lama mekanisme pasar melalui barter dirasa menyulitkan, manusia pun berinovasi membuat alat penukar berbentuk emas dan perak. 

Banyaknya kebutuhan akan emas dan perak membuat barang itu tidak mudah untuk diakses, pembaharuan alat tukar waktu itu sangat mendesak, manusia melakuakan inovasi kembali menciptakan uang.

Dengan ini uang menjadi barang yang vital bagi kehidupan, karena keguanaannya yang bisa ditukar dengan barang apapun. Keadaan hidup manusia pun berganti lagi, karena uang sebagai suatu alat yang vital, "lambang kesejahteraanpun berganti semakin uang itu terakumulasi banyak semakin manusia sejahtera". 

Karena akumulasi uang itu manusia memulai berdagang dan menciptakan alat-alat produksi. Keadaan uang sebagai lambang kesejahteraanpun terjadi sampai saat ini. Tetapi kembali lagi, "di zaman apapun hanya manusia yang kreatif yang mampu bereksistensi".

Dunia "Surga yang tidak diakui sebagai surga"

ilustrasi diambil dari pixabay.com
ilustrasi diambil dari pixabay.com
Jika lebih dalam di interpretasikan dunia adalah wahana surga bagi manusia, hewan dan segala makhluk yang ada di dunia ini. Di mana bersama-sama kita di kumpulkan  oleh partikel-partikel untuk saling menjaga, mengasihi dan berbagi di sugra yang kita sebut "dunia" ini. Tetapi kenyataannya dunia mungkin tidak diciptakan menjadi surga bagi para penghuninya. Tidak lebih itu karena sikap dari kehendak untuk berkuasa sebagai makhluk hidup itu sendiri, bahwa ada yang unggul diantara yang lemah.

Saling mangsa-memangsa adalah hal lumarah yang dilakukan untuk berkesistensi makhluk hidup. Kebengisan dalam memangsa dilakukan para penghuni bumi, "manusia memangsa hewan", "manusia menindas sesamanya", "hewan memangsa hewan", tumbuhan sepertinya "ditakdirkan untuk kalah,  ia hanya memakan sisa-sisa dari yang tidak diperhitungkan oleh makhluk yang lain untuk menghidupi dirinya sendiri". Begitupun pada alam yang tetap mengalami tindak eksploitasi oleh para penghuninya, dalam hal ini kuasa terbesar atas alam adalah manusia.

Majunya peradaban kehidupan manusia membuat tindak eksploitasi pada alam terus meningkat. Batu yang terkadung dari alam sendiri tidak ubahnya kini sebagai gedung-gedung tempat manusia, begitupun minyak bumi,"untuk bahan bakar kendaraan manusia" dan juga pepohonan sebagai hutan yang berfungsi menghasilkan oksigen, mencegah banjir dan tanah longsor dibabad habis untuk kepentingan industri.

Ketika hutan hilang, pemanasan global adalah konsekwensi dari berubahnya iklim dunia, juga bagaimana tatanan peradaban satwa hutan berubah bahkan hilang karena habitatnya rusak. Saya pesimis ketika komunitas kecil "aktivis lingkungan" bekerja karena ketakutan menolak pemanasan global. Sedangkan komunitas yang besar "industri" cenderung mengundang pemanasan global melalui ekspansi bisnis secara habis mengeksploitasi alam.

Bagi saya, suara dan tindakan manusia kini mengikuti suara mayoritas, bagaimana keuntungan yang mereka dapat dan apa yang dihasilkan? Memberi banyak manfaat atau tidak untuk kehidupan manusia? Meskipun manfaat tidak berbanding lurus dengan dampak apa yang akan dihasilkan di masa depan kehidupan manusia? Kita dapat melihat bagaimana orang utan Kalimantan yang dirugikan kehidupannya oleh pembalakan hutan untuk industri? Juga bagaimana perbukitan di sebagaian Pulau Jawa yang hilang ditambang untuk bahan membuat semen sebagai bangunan gedung-gedung manusia?

Lagi-lagi sesuatu itu yang telah terjadi hanya ilmu pengetahuan untuk diri, dimana kita tahu dampak tetapi masih melakukan eksploitasi karena kebutuhan. Padahal dibelahan dunia lain, manusia yang mulai tersadar akan bagaimana menjaga alam sudah memulai dengan energy terbarukan yang ramah alam. Menanam pohon dan berkesadaran merawat lingkungan hanyalah budi baik manusia kepada alam. Karena alam memberi kebaikan juga kepada manusia dan makhluk hidup lain selain manusia.

Jika memang banyak manusia yang menikmati buah dari kuasanya akan eksploitasi alam, saya tidak menolak pemanasan global karena "mungkin itu sesuatu yang alami". Anak yang tidak bisa membalas budi orang tua begitupun manusia, "dia merusak alam dan tidak bisa mengembalikan alam seperti semula". 

Seperti sel makhluk yang rusak secara alami, akan tumbuh sel-sel baru mengantikan sel yang rusak. Biarkan bumi meregenerasi dirinya sendiri, terpenting sekarang adalah manusia sadar bahwa datangnya kerusakan akibat bencana alam bermula dari tindakannya sendiri. Banjir di Bengkulu dan  yang terjadi di Jakarta adalah sebagai buktinya.  

Sebagai satu pribadi manusia, siapa yang mampu menolak dan melawan peradaban yang dibangaun atas nama mayoritas manusia? Apa yang telah terjadi dan apa yang akan terjadi, "ini semua diluar jangkauan akal satu manusia". 

Dengan berbagai pertentangan nalar, apakah energi yang hidup digerakan untuk seperti ini? Seakan membuat harus ada kuasa untuk menindas yang lemah, dan "memangsa adalah bagian kehidupan yang tidak mungkin makhluk hidup ini tinggalkan".

Dengan kesadaran saya berucap, apakah kita tidak bisa jika, "tidak tindas-menidas", "makan-memakan" dan lain sebagainya yang mencidrai hidup bersama ini untuk terciptanya surga di bumi? Jika ketika makhluk yang berkuasa hanya memanfaatkan tanpa ada upaya memperbaikinya kembali, saya yakin kehancuran bukanlah ilusi lagi, sebab banjir, tanah longsor dan berbagai bencana alam yang ada merupakan bukti nyata awal kehancuran bumi dan kehidupan itu sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun