Setidaknya pendapat dari Syamsudin Haris peneliti LIPI menjadi bahan renungan, mengapa politik Indonesia semakin keruh? Karena adanya operator profesional yang bersekongkol dengan Pebisnis hitam. Jika Jokowi masih melakukan pembangunan ala proyek sekarang dimana tidak adanya kongkalikong dengan pebisnis swasta memperlancar usaha mereka. Kedua, Politisi busuk yang di dalamnya termasuk ikut dalam kasus pelanggaran ham, korupsi dan sekarang menjadi pemimpin partai dan ikut menikmati kekuasaan saat ini. Ketiga, radikalis agama, dimana kekuatan ini sebagai pengerak merongrong kekuasaan dan berbagai kebijakan-kebijakannya.
Golput bagi saya sebagai perlawanan terhadap politik model yang semakin dikeruhkan oleh identitas dalam praktek demokrasi mutakhir. Dimana oligarki sangat besar berperan dalam hal ini, membuat semakin dominan kekuatan bayangan akan koflik kepentingan pada setiap tahun politik bukan hanya 2019 saja. Sebelum kecewa dengan berbagai kemungkinan yang ditimbulkan, tidak memilih adalah jawaban, karena ketika pemerintahan tidak membela kepentingan rakyat seutuhnya, untuk apa pemilu?. Tidak memilih berarti tidak akan kecewa, karna satu dari duanya akan tetap sama saja, tidak ada yang lebih baik, mereka sama-sama tersandra para oligarki yang berkuasa dengan kekayaannya.
Jangan pernah menganggap diri salah, anggapan label golput hina bagi mereka, hanya," mereka tidak mau kehilangan sebagian suaranya". Toh, ketika yang berkuasa nanti Represif, Totaliter, dan pengekang kebebasan rakyat, hukum demokrasi masih melindungi rakyat? Ketika hukum Negara tumul dapat di beli juga semakin merajalelanya kejahatan kekuasaan pada rakyatnya atas nama kepentingan-kepentingannya, sebaiknya rakyat "Turun ke jalan, hanya ada satu kata, Lawan!".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H