Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Analogi Lajang dan Golput

13 April 2019   17:07 Diperbarui: 13 April 2019   17:23 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jadi begini, saya golput tidak lebih karena peranan indentitas yang dominan pada pilpres kali ini. Bukankah bebas dalam pemilu mau melekatkan pada apapun baik identitas maupun golongan ormas? Bebas memang, tetapi, pasca pemilu, masyarakat akan terbelah lagi. Saya hanya tidak ingin menjadi ambil bagian saja dalam pemilu kali ini, agar menjadi manusia bebas dari politik.

Pilpres 2014 lalu juga secara tidak sadar sudah membelah masyarakat, dimana volume identitas tidak se-dominan pilpres kali ini. Saya menilai golput dan tidak memihak sebagai solusi, bebas dari nyinyir politik, bebas dari identitas yang dilekatkan, intinya, malas jika karya tulis saya dilebeli sebagai Cebong maupun Kampret!

Lagian pula menjadi golput tidak dibebankan pada rasa kecewa yang akan mungkin hadir ketika pilihan menunjukan hasilnya. Apa lagi dengan selogan nyinyir-menyiyir calon yang tidak disukai, tidak! Dalam berkehidupan masyarakat-pun tidak ada pertentangan yang berarti karna menjadi netral. "Bagiku menjadi netral adalah golput, hidup golput"

Dengan alasan golput atau tidak memilih, ketika kita akan mengkritik calon, atau ketika mereka telah "menjadi", tidak berat karna itu bukan pilihan kita. Berbeda ketika ia kita yang pilih, pasti rasa menyalahkan diri sendiri akan pilihan yang salah membayangi. Menulis kritik-pun tidak bebas karena pertimbangan moralitas sebagai pemilih.

Saya kira golput juga dapat menjadi kritik bagi bentuk politik itu sendiri. Ketika angka golput melonjak, eksistensi politik harus lah dipertanyakan. Yang paling utama adalah ketidakpercayaan pada politik itu sendiri, baik politikus atau sistem-sistem penunjangnya. Selama ini politikus memang dapat dipercaya? Bukankah selama ini umpan mereka hanya uang dan kau dicari-cari jika tahun politik datang, terus suaramu mereka beli, bahkan dengan sedikit melakukan doktrin memuakkan di berbagai media punya mereka sendiri?

Menurut saya perpolitikan Indonesia sudah tidak sehat sebagai politik itu sendiri. "Indentitas di politikan dan politik di indetitaskan". Baik politikus, maupun ide-ide politiknya dibenturkan pada upaya akan permusuhan, itulah yang sedang terjadi di Indonesia. Mungkin ini bagian dari strategi politik identitas dalam demokrasi mutakhir ini.

Belum lagi peranan oligarki yang sangat berperan penting bagi kedua calon dalam setiap pencalonannnya. Saya yakin setiap calon dalam demokrasi ada peranan oligarki yang kuat secara, baik modal maupun kekuatan politik mem-beck up kedua calon. Tidak diragukan lagi bahwa calon 02 adalah oligarki dalam bentuk nyata.

Meskipun 01 bukan berlatar belakang oligarki, tetapi dalam demokrasi modal kapital maupun genetik sangat penting dalam menjadi kendaraan pencalonannya sebagai petinggi negri. Kita tahu bahwa untuk menjadi ketua umum partai, jika dia bukan orang yang sanggup membuat partai itu sendiri, maupun keturunan dari pendiri partai, akan sangat sulit di Indonesia.

Saya sendiri menggap perkara demokratis bukan sesederhana bagaimana kita bersuara memilih calon yang ada. Tetapi memilih dengan ide, siapa-siapa yang pantas menjadi Presiden adalah mutlak dalam demokrasi. Ketika tidak ada calon yang menurut ide-ide kita sebagai warga negara cocok, menjadi golput-pun merupakan bagian dari menjadi warga demokratis itu sendiri.

Maka ketika kekuasaan ditunggangi penuh oleh oligarki dan semua penyelenggara negara termasuk Presiden di hadapakan pada setiap kepentingannya, saya yakin keruhnya negara ini akan terus berlanjut. Kita bisa tahu bagaimana selama ini pemerintahan Jokowi bekerja dengan latar belakang team baik kementrian ataupun staff ahlinya. Saya yakin ketika ia tidak di dukung dari belakang oleh oligarki pada saat pencalonannya maupun setelah ia menjabat tidak pro oligarki, nasibnya akan seperti Gus Dur, diturunkan secara cepat dalam kekuasaan.

Secara personal saya menilai Jokowi tidaklah buruk, hanya saja ia sedang berenang ditengah paus-paus kepentingan oligarki yang mendukung dirinya. Dimana ia tidak bisa lepas begitu saja untuk memenuhi kepentingan para oligarki berserta bisnis-bisnisnya. Kita lihat bagaimana Reklamsi Teluk Benoa yang tidak kunjung dicabut izinnya, Petani Kendeng yang tidak didengar aspirasinya dan para korban kejahatan manusia yang ditunda penyelsaiannya. Saya kira itu tanda bahwa semua politikus masih tersandara akan kepentingan-kepentingan oligarki yang semakin kuat dengan adanya demokrasi, dimana modal dan kekuatan politik menjadi jalan menuju kekuasaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun