Bisa terjadi kaulah "anak jalanan" lebih manusia dibanding mereka yang mengaku manusia dari atas motor dan mobil mereka. Buruh urban melihat persodaraanmu tulus bagai kerumunan bebek yang tidak saling meninggalkan satu dengan lainnya. Menjadi pembedanya sendiri, kau langsung di gembala oleh alam yang keras, bersama dingin malam, hujan dan terik Matahari. Rasanya pikiran ini terbaui penasaran, bagaimanakah anak jalanan ketika mereka sudah tua?
Tidak seperti buruh urban yang selalu mencari mukanya sendiri untuk baik di mata bos perusahaan di luar sana. Solideritas yang pasti pun enggan untuk dibangun. Bagaimana akan ada solideritas jika tidak ada keadilan yang tumbuh dari lingkungan perusahaan buruh urban itu sendiri? Apa lagi perkara tua, akhir bulan mau apapun tidak akan digubrisnya. Menjadi buruh urban adalah menjadi pengatur nasib bagi dirinya sendiri. Tua atau muda, keselamatan ada pada tingkahnya sendiri. Jika menjadi Buruh culas dan tidak jujur, "kamu tidak akan hancur".
Merajut berbagai kebijaksanaan jalanan
Namun apa yang akan diungkapkan oleh mereka para intelektual bijaksana yang terlahir dari lingkungan Kampus? Dari tempat kelahiran pengetahuan kebijaksaan yang ditradisikan pun menjelaskan bahwa, "Kebijaksanaan murni terlahir dari jalanan yang penuh dengan diskusi mendalam antara anomali dan bentuk realita". Seperti Scorates yang tidak dikenali karya-karyanya secara langsung, ia menciptakan suatu filsafat yang dapat ditradisikan lewat dialog dengan muridnya Plato.
"Ketika seorang Manusia besar dan lahir dari jalanan, praktis kebijaksanaan jalanan adalah metal dan pengetahuan mereka"
Sejak itu kemurnian dari filsafat jalanan tereduksi, banyak dari mereka bijaksana secara ilmu pengetahuan tetapi bijaksana secara realita kehidupan masih terbelakang. Seperti baru-baru ini pada semesta kehidupan politik Indonesia "mengaku atau terakui sebagai filsuf tetapi kehendak kuasa berbicara ingin di pahlawankan".Â
Filsuf murni adalah sorang pengamat yang tidak mau terakui, argument-nya digunakan sebagai dalih menjadi manusia, bukan menjadi di manusiakan lewat kekuasaan. Singkatnya filsuf merupakan guru dari kehidupan.
Kisah seorang buruh urban dan orang-orang jalanan abad 21 menerangkan, "Bahwa kontradiksi dalam realitas pasti selalu ada". Entah dari mana asalnya yang baik, formal, dan kepatuhan moral itu menjelaskan. Sekiranya yang di interpretasikan menjadi pijakan dari kemurnian, seorang Manusia yang ingin berkembang di luar tata kepatutan.Â
Bagaimanapun itu memang menjadi rancu, tetapi akan menjadi adilkah ketika orang dengan keinginannya yang semakin mudah untuk diwujudkan di lain pihak setengah mati mewujudkannya? Kekurangan dan keberlimpahan, ini akan menjadi isu dunia yang tentu akan habis pada masanya.Â
Kini semua memang sedang bertarung, bagimana membawa diri keluar. Pertama bagi kalangan bawah untuk dapat mencapai tengah, dan yang atas ingin tetap mempertahankan status quonya. Sedangkan dikalangan bawah banyak frustasi pada apa yang akan dilakukannya tetapi bukan mereka tidak dapat mempunyai nilai.
Memang tidak pernah ada yang meneliti secara pasti, untuk apa suatu pengelandangan menyusuri setiap jalanan? Setidaknya pendapat ini dapat dijadikan argument yang tentu proporsional. Jika mereka "anak jalanan" kaya, mungkin mereka mengejar suatu pengetahuan akan kehidupan jalanan yang misterius. Di mana tata pencarian tanpa alih-alih kepentingan kapital.Â