Memang menjadi ambigu bagi pertanyaan yang terus ditanyakan pada akhirnya. Ada waktu di mana Manusia akan mengharap dengan hebat. Seperti kita tahu, dalam aktivitas apapun "pasti ada harapan yang akan manusia dituju". Seperti kisah para buruh urban kini, bukan hanya nafkah dari pekerjaan yang mereka butuhkan. Namun hidup layak sebagai Manusia yang mereka harapkan.
Sebagai petarung untuk mempertahankan hidup, upaya persaingan sesama manusia pasti ada. Di sudut sana sekolah-sekolah menciptakan kualitas manusia "berbeda-beda". Bagaimana suatu starata menjadi acuan bagi setiap dasar penilaiannya.Â
Dalam perumahan terbentuk suatu kelas adanya majikan atau pembantu. Juga industri menciptakan karyawan kelas satu dan dua. Masing-masing dari mereka dikotakan atas nama keahlian dan status administrasinya; akan sebagai pengguna (user) atau digunakan (outsource).
Sebenarnya bukan antara mampu atau tidak mampunya sebagai manusia. Hanya saja nasib kelahiran yang berbeda membuat tubuh dalam persaingan itu seperti takdir yang telah menjadi suratan.Â
Ketika kau dilahirkan dengan kekurangan kekayaan, mungkin nasibmu akan berbeda dari manusia yang berkelimpahan. Kekurangan berarti harus bekerja lebih keras dari yang berkelimpahan. Juga berusaha lebih tegar dari kontradiksi diri-diri, baik diri sendiri atau orang lain. Tetapi ini bukanlah titik untuk mengutuk bahkan bukan pula ini sebagai upaya tidak mensyukuri kehidupan itu sendiri.
Suatu kisah dari gemerlapnya kota dan teriknya panas di jalan raya. Siapa yang akan melalang buana menyusurinya? Mungkin itu merupakan suatu keenganan untuk memulainya dengan setiap penelusurannya. Tetapi siapa sangka, gemerlapnya malam dan teriknya siang adalah potensi ekonomi yang lumayan.Â
Di perempatan sana ada seorang membawa kuda lumping bersama sound system kecil yang dibuat untuk mengiringinya setiap gerakan lekuk tubuhnya. Ia berjoged dan berdandan ala pementasan kuda lumping di hajatan. Tidak lain mereka hanya mencoba mengais receh dari pengguna jalan yang melintas.
Perempatan jalan tidak hanya membawa kerumunan seniman jalanan mencari penghidupan. Juga mereka para anak jalanan yang meminta-minta untuk membeli makan pada pengguna jalan. Dari dalam gerobak putih ini saya ingin bertanya, saya pun pontang-panting ke sana ke mari mempertangungjawabkan hidup saya sendiri dengan bekerja.
Belum tekanan kerja yang gila harus dialami atau ketidakadilan yang harus diterima dari pembagian kerja. Ada kalanya yang bekerja-pun miris hatinya. Sedikit ingin punya, menghemat tiada tara. Untuk menghabisakan 50 ribu per hari saja sayangnya tidak terkira. Karena apa? Gaji menjadi buruh urban hanya kisaran 65 ribu per hari saja. Itupun tidak ada tambahan apa-apa.
Apakah hal seperti itu, dengan meminta-minta, manusia masih muda, mampu untuk bekerja, merupakan suatu kewajaran? Anak jalanan sendiri tidak tahu apa yang diungkapkan dari dalam gerobak atau di atas motor yang berjejer di luar sana. "Mungkin sama- sama bertarung nasib dalam pusaran arus bawah kehidupan " tetapi dengan beragam beban setiap profesinya.
Saya mungkin atau mereka juga sama ingin menanyangkan, layakah mereka diberi receh? Seberapa besar hasil mereka perhari? Melampaui buruh urbankah selaku yang memberi? Apakah mereka tidak punya keluarga? Harus disantuni seperti orang cacat yang tidak bisa bekerja? Apa yang mendasari mereka begitu? Mungkinkah ungkapan melawan dunia? Atau enggan melawan dunia? Apa benar ia manusia genius itu?