Mohon tunggu...
Drs. Komar M.Hum.
Drs. Komar M.Hum. Mohon Tunggu... Guru - Guru SMA Al-Izhar dan Fasilitator Yayasan Cahaya Guru

Berbagi dan Menginspirasi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Spirit Al-Izhar, Sekolah yang Memerdekakan Manusia

29 Mei 2018   23:35 Diperbarui: 22 Juli 2019   10:31 2481
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jika saya bertanya kepada Anda, apakah Al-Izhar merupakan sekolah Islam? Saya yakin, kemungkinan  terbesar di antara Anda akan menjawab "ya". Jika pertanyaannya saya lanjutkan, apa alasannya? Jawabannya pasti sangat beragam. Saya mencoba mengidentifikasi variasinya sebagai berikut:

Karena sesuai dengan namanya, Perguruan Islam Al-Izhar.

Karena selaras dengan visi dan misi lembaga.

Karena adanya pembiasaan ibadah ritual harian.

Karena jumlah jam pelajaran Pendidikan Agama Islamnya lebih banyak dari sekolah umum.

Karena banyaknya program-program kegiatan bernafaskan Islam.

Karena 100 persen muridnya bergama Islam.

Karena arsitektur bangunannya bernuansa Islam.

Karena ada masjid besar di lantai empat gedung utama  yang terlihat jelas dari luar.

Serta kemungkinan jawaban lainnya.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut dengan perspektif filosofis, saya harus menggali dan menata ulang peristiwa lebih dari dua puluh tahun yang lalu. Sekitar bulan September tahun 1995, SMA Al-Izhar yang baru memiliki satu angkatan berjumlah 80 murid,  mengadakan lomba Majalah Dinding (Mading), yang memanfatkan dinding kelas masing-masing. Setiap kelas, yang pada waktu itu berisi 20 murid, dibagi menjadi 4 kelompok. Setiap kelompok harus memilih tema yang akan jadi kajian dalam perlombaan tersebut. Beragam tema yang mereka pilih. Ada yang tertarik pada masalah pemanasan global, pengelolaan sampah, meningkatkan kedisiplinan dan prestasi belajar, kebudayaan popular, olah raga dan sebagainya.

Saat jam istirahat, ketika saya duduk sendirian di kelas, sekelompok anak mendatangi saya, meminta pendapat, bagaimana jika kelompok mereka memilih "masturbasi" sebagai tema kajian. Respon spontan saat itu adalah meluncurnya kata, "Haaah!" dari kerongkongan  saya. Tatapan mata saya nanar. Mulut dan lidah saya terasa kaku. Batin saya berkecamuk, bertanya-tanya, apakah itu mungkin? Mengingat ini adalah "sekolah Islam". Apakah tema itu pantas,  tidak terlalu vulgar dan tabu untuk dibahas. Apalagi sekolah ini juga sekolah baru yang harus pandai-pandai menjaga citra di mata publik. 

Jangan-jangan hal ini akan menjadi blunder bagi lembaga dan diri saya sendiri, yang masih menjadi guru kontrak. Bagaimana jika kemudian saya dikeluarkan karena membolehkan tema tersebut menjadi bahan kajian. Untuk beberapa saat, saya tidak bisa memberikan jawaban sebagaimana yang mereka harapkan. Kemudian saya berkata, "Nanti saya pertimbangkan ya. Kita bahas saat istirahat kedua, setelah solat Dzuhur. Siapkan, rancangan apa yang sudah ada dalam pikiran kalian". Kalimat tersebut sebenarnya hanya "jawaban pengaman", karena saya gagap untuk memberikan jawaban yang tepat saat itu.

Akhirnya momen yang dinantikan datang juga. Setelah solat berjamaah, mereka kembali mendatangi saya, seraya bertanya, "Bagaimana Pak, sudah ada jawabannya?" Saya katakan, "Saya setuju." "Coba kalian jelaskan, rancangannya seperti apa". Maka terjadilah diskusi yang hangat dan seru, yang sesekali diselingi dengan canda tawa riang. Walaupun saya masih ragu,  benar tidaknya keputusan tersebut, keyakinan saya adalah bahwa murid harus diberi ruang sebebas-bebasnya untuk berekspresi. Peran saya adalah mendampingi dan mengarahkan mereka agar kajiannya lebih sistematis, terarah, dan bisa dipertanggung jawabkan.

Setelah melalui proses panjang, setiap kelompok harus menampilkan hasil karyanya di dinding kelas masing-masing, dan menjawab pertanyaan juri yang berkeliling dari kelas ke kelas untuk menggali dan menilai karya semua kelompok. Kelompok dengan tema masturbasi menampilkan hasil kajiannya, yang mereka beri judul, "Mastrubasi dalam Perspektif Islam dan Ilmu Pengetahuan". 

Mereka melakukan survey kepada teman-teman seangkatannya, tentang pernah tidaknya mereka bermasturbasi dan bagaimana pendapatnya. Dilanjutkan dengan wawancara terhadap tokoh agama untuk melihat fenomena ini dari perspektif Islam, dan wawancara dengan dokter serta psikolog untuk mendapatkan penjelasan dari sudut pandang ilmu pengetahuan. Hasilnya, sangat diluar dugaan saya. Kelompok ini menjadi juara pertama, dari aspek orsinilitas tema, kedalaman kajian, serta sistematika penyajian. Ketika dewan juri bertanya, "Siapa pembimbing kelompok ini?" Saya menjawab dengan antusias sambil mengangkat tangan, "Saya."

Beberapa hari kemudian, kepala sekolah memanggil saya, menyampaikan informasi bahwa saya "dipanggil" oleh manajemen Yayasan Anakku. Ketika saya bertanya lebih lanjut, "Untuk keperluan apa pak? Apakah saya melakukan kesalahan?" Beliau menjawab, "Sepertinya tentang tema lomba Mading yang lalu. Tapi secara rincinya, saya kurang tahu." Terus terang perasaan saya campu baur kala itu. Penasaran. Heran. Bingung. Ragu. Takut. Entah apalagi. Sambil berjalan menuju gedung utama, kaki saya serasa tidak menapak di lantai koridor yang saya lewati. Perasaan binggung dan takut yang mendominasi di kedalaman batin saya.

Sesampainya di lokasi, saya memasuki ruangan yang di pintunya tertempel tulisan LITBANG. Di dalam ruangan, saya bertemu dengan seorang pengurus yang bernama Henny Supolo Sitepu, yang menyambut saya dengan jabatan tangan dan senyuman. Saya tidak tahu harus menafsirkan apa dari jabatan tangan dan senyum tersebut. Apakah saya akan sambut dengan gembira, ataukah saya harus merespon dengan kesedihan karena telah berbuat kesalahan, sehingga mesti menanggung konsekuensinya. Dengan kemungkinan hukuman  terberatnya adalah pemecatan. 

Setelah melewati obrolan pembuka, menanyakan kabar, bagaimana senang bekerja di Al-Izhar, dan yang sejenisnya, bu Henny sampai pada pertanyaan esensialnya, "Bagaimana Anda mendampingi murid-murid yang mengangkat tema mastrubasi pada lomba Mading yang lalu?" Dari situlah dimulai obrolan panjang tentang hakikat pendidikan. Saya katakan bahwa pendidikan harus memerdekakan pikiran dan jiwa anak-anak. Tidak membelenggunya dengan secarik kurikulum, tabu-tabu budaya dan kekangan dogma agama. Murid harus diberi ruang berekspresi dalam berbagai cara dan bentuknya. Peran guru adalah mendampingi dan mengarahkan agar potensi tersebut tersalurkan secara optimal.

Saya tidak menduga, bahwa obrolan tersebutlah yang menjadi pemicu "kedekatan intelektual" antara saya dengan beliau. Pada akhir obrolan itu, walaupun sudah lebih dari dua dasawarsa yang lalu, saya masih mengingat dengan detil kalimat yang meluncur dari dirinya, "Ternyata kamu orangnya lucu ya. Padahal selama ini saya menganggap kamu orang yang sangat kaku dan dingin." Begitu ucap beliau sambil tersenyum lebih lebar dari senyum yang pertama, dan menjabat tangan saya sebagai tanda perpisahan.

Bahkan Para Malaikat pun Bertanya 

Kembali pada pertanyaan di atas, apa alasan Al-Izhar dianggap sebagai sekolah Islam? Bagi saya, jawabannya ditemukan 23 tahun yang lalu, tepatnya pada bulan September 1995, ketika mendampingi kelompok murid yang ingin menjadikan masturbasi sebagai tema kajian lomba Majalah Dinding. Jawabanya, karena Al-Izhar memberikan "kebebasan" kepada para murid dan gurunya untuk berkespresi, berkreasi, berpikir kritis, berpendapat, dan bertindak secara bertanggung jawab. Tidak ada pertanyaan yang tabu untuk diucapkan, termasuk pertanyaan ekstrim sekalipun. 

Bahkan Al-Quran menuturkan kisah bagaimana malaikat yang selalu patuh dan sangat dekat dengan Tuhan pun berani serta kritis mempertanyakan kebijakan Tuhan ketika menjadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi.

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui". (Q.S. Al-Baqarah ayat 30)

Bagi saya, esensi ayat tersebut adalah tuntunan bagaimana lembaga pendidikan harus melakukan pengembangan diri anak didiknya, yaitu kemerdekaan berpikir, termasuk mempertajam pikiran kritis. Hal ini selaras dengan prinsip-prinsip pendidikan kontemporer yang sekarang menjadi rujukan. Berdasarkan kajian National Education Association (NEA), ada beberapa kompetensi yang harus dimiliki generasi muda agar mampu berperan secara optimal pada abad ini, yaitu kompetensi:

Komunikasi (Communication)

Kerjasama (Collaboration)

Kreativitas dan Inovasi (Creativity and Innovation)

Berpikir Kritis dan Menyelesaikan Masalah (Critical Thinking and Problem Solving)

Jadi kemerdekaan berpikir, memiliki justifikasi teologis sejak 14 abad yang lalu, yang menjadi ruh ajaran Islam, yaitu "memerdekaan manusia". Sehingga argumentasi Al-Izhar adalah sekolah Islam karena Al-Izhar memerdekakan murid dan gurunya dalam berbagai bidang agar mampu berkontribusi positif bagi peradaban umat manusia.

Daftar Pustaka:

Lang, Jeffrey. Even Angels Ask; A Jorney to Islam in America. Maryland: Amana Publications, 1997.

http://www.nea.org/assets/docs/A-Guide-to-Four-Cs.pdf

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun