Saat Gempa kedua, kata Nidar, mami sempat bilang akan ada musibah besar yang melanda. Tidak lama kemudian burung-burung dari arah Ulee Lheue berterbangan ke arah darat, melihat burung yang beterbangan itu mengingatkan Nidar pada film yang rilis Mei 2004 yaitu, The Day After Tomorrow, pertanda air laut akan naik apabila burung dari arah laut terbang ke darat.
Hiruk pikuk jalanan, suara kendaraan, menembus gendang telinga Nidar, suara kendaraan itu seperti saling bertabrakan, suara klakson mobil, motor bersemrawut saling menyaut, getar tanah saat itu seakan mau ingin meluapkan air. Dalam kehuru haraan itu, Luthfi diperintahkan mengumandangkan azan, spontan ia azan tidak sedetik pun berhenti.
Meutia kemudian mengarahkan keluarganya untuk masuk kedalam rumah mami yang bertingkat, sebelum masuk Nidar melihat gelombang Tsunami menggulung berwarna hitam begitu besar, seperti berada dibawah air besar berbentuk gunung. "Kami pikir sudah kiamat saat itu," ungkap Nidar saat diwawancara khusus di pesisir pantai cermin, Ulee Lheue Banda Aceh.
Sesampai dilantai dua sempat kebingungan untuk mencari cara supaya bisa naik ke atap, posisi pintu depan dilantai dua sudah tidak bisa dibuka, debit air saat itu sudah sepinggang, semua terendam banjir. Diluar intensitas air lebih tinggi, diluar logika manusia air memilih dan memilah kemana kehendak yang akan dituju.
"Suami saya kemudian memecahkan jendela kaca nako, hingga gagangnya menembus kakinya hingga mengeluarkan darah, Tia yang masih SMA kelas satu saat itu merobek bajunya untuk menahan laju darah," kenang Nidar.
Luthfi dengan posisi masih terus azan keluar pertama lewat jendela nako yang sudah dipecahkan kacanya itu, baru setelah itu satu persatu bahu membahu saling membantu keluar hingga dalam sekejap semua berada di atas. Saat berada diatas fokus Nidar masih bertumpu pada si bungsu. "Saya hitung semua masih lengkap termasuk mami, saya berdoa Ya Allah jika ini hari terakhir, satukan kami semua diakhirat," Hafnidar tidak dapat membendung tangisnya, sehingga wawancara sempat terhenti sejenak.
Selang beberapa saat, Nidar kembali membuka ceritanya, setelah gelombang air pertama yang menghancurkan semua yang ada di daratan, 15 menit kemudian, gelombang Tsunami kedua dengan kekuatan yang lebih besar dari yang pertama menghantam bumi Serambi Mekah. Riuh suara teriakan orang-orang yang meminta pertolongan, namun apalah daya, hanya suaminya yang bisa menolong sejumlah delapan orang dengan cara dilemparkan tali yang entah darimana didapatnya.
Pada gelombang kedua mayat mulai masuk ke rumah dan pekarangan, mayat sudah berwarna hitam, tak nampak siapa rupa, percikan air yang sangat panas salah satu penyebabnya, bahkan kulit Nidar yang terkena air itu melepuh.
Hanya lantunan azan yang terus dikumandang Luthfi yang tidak peduli gelombang pertama maupun kedua, yang mampu membuat mereka tenang beberapa saat. "Lailaha illa Anta subhanaka inni kuntu minadhdhalimin," itu adalah ayat yang mami diminta untuk kami bacakan semua.
Meski masih berusia 11 tahun, Luthfi yang mengumandangkan azan, tidak setetes pun meneteskan air mata, ia memejamkan mata khusyuk pada azan yang dikumandang. Kemudian selang 15 menit lagi, datang gelombang ketiga dengan kekuatan lebih rendah, hantaman kerumah tidak kuat, berbeda dengan gelombang kedua yang hampir menghancurkan rumah mami sangking kuatnya hentakan. Kekuatan air yang sangat kuat, tak pernah disangkanya masih kokoh, saat rumah lain rata dengan tanah.