Mohon tunggu...
uci ayu
uci ayu Mohon Tunggu... Novelis - penulis

mimpi yang membuatku bertahan mimpi menjadi penulis.......

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kekal dalam Ritual

18 Desember 2024   20:15 Diperbarui: 18 Desember 2024   20:15 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kekal dalam Ritual

Ni Nyoman Ayu Suciartini

Di Bali, bahkan di Indonesia tidak ditemukan orang tua yang berprofesi petani berharap anaknya menekuni atau meneruskan profesi itu. Tak terlihat harapan cemerlang di sana. Lahan pertanian telah beralih bangunan mewah merekah. Bisakah padi-padi tumbuh di lahan penuh beton? Yang tertulis di kitab suci, pustaka suci, lontar sakral tidak begitu adanya hari ini. Padi Bali yang legit telah tak bertuan. Berangsur digusur meski posturnya lebih subur.

Sebab ritual, padi Bali masih memiliki tempat tak tergantikan. Padi Bali mungkin mati suri. Memohon lagi pada sang pemiliki kendali, Dewi Sri. Ritual yang menghidupkan lagi napas pertanian di Bali. Jika lahan pertanian habis, siapa lagi yang percaya pada Dewi Sri, Bhatari Nini, Bhatari Umadewi, Sang Hyang Ananta Boga? Negeri yang termahsyur agraris akankah turut dibiarkan kehilangan identitas itu? Padi bagi masyarakat desa Penebel, Tabanan adalah segala-galanya. Melebihi soal pangan semata. Ada ritus, sejarah, ritual, dan kepercayaan yang hendak dijaga. Catatan dari hati untuk #kehati.

Ritual adalah spirit hidup. Turut menghidupkan dan mempertahankan padi Bali. Padi Bali yang gembur, kuat, kaki-kakinya lebih tinggi, tak mudah diterpa angin, tak tumbang dijatuhkan air, serta bulirnya yang tebal melekat sehingga burung-burung sawah kewalahan merusaknya. 1825, Bali mencapai swasembada pangan, penghasil beras unggul dan mendominasi ekspor akibat padinya yang termahsyur. Padi Bali bergayut jadi saksi jalur rempah. Turut dihidangkan dalam sajian betutu, lawar, timbungan, oleh belawa (juru masak istana) kepada raja-raja Bali. Pun padi Bali disajikan untuk memenuhi unsur-unsur ritual.

Menyemai padi di Bali sama seperti merayakan siklus hidup. Selayaknya manusia yang baru lahir hingga menemui muara, padi juga diperlakukan demikian. Lewat ritual, padi di Bali mendapatkan keistimewaan yang juga bermakna. Orang Bali berharap padi dan rezeki terus melimpah. Petani Bali berharap tak menjual lagi sawah-sawah mereka. Mereka ingin menjadi petani yang merdeka.

Padi Bali masih disemai beberapa petani di Subak Piak, Tabanan, Bali. Bentuk padi tak berubah. Masih tinggi, kokoh, bergeming diseleksi oleh tuannya sendiri. Nyaris mati, punah di tanahnya sendiri. Wayan Naya menyaksikan jika bukan sebab ritual, padi Bali muskil divisualkan. Ritual menyebabkan padi Bali kekal. Ngusaba Nini inti dari ritual yang katanya melampaui lima belas tahapan itu. Ngusaba berarti upacara keselamatan, sedangkan nini panggilan untuk nenek (wanita tua atau dituakan). Ngusaba Nini adalah tutur leluhur tentang orang Bali memuliakan padi juga subak yang menghidupinya. Lambang Dewa Nini (sebagai perwujudan Dewi Sri) yang diyakini sebagai lambang Dewi Kesuburan. Lambang Dewa Nini berupa seikat padi lokal, padi Bali yang dipanen dari masing-masing anggota subak yang digabungkan dan diikat menjadi satu kesatuan. Pelambang ini diyakini bisa menyelamatkan hasil panen. Apa yang diyakini tidak bisa dilihat, hanya mampu dirasakan. Menjaga ritual, menjaga tanah warisan, menjaga apa yang menjadi milik Bali harus dilakukan. Anak mudanya harus bertumbuh melihat harapan baru, semangat muda, juga cahaya belia bahwa kemandirian pangan dimulai dari padi Bali yang lestari.

Padi Bali jangan sampai hanya sebuah ingatan yang bermuara pada tetua. Jika banyak petani Bali beralih menanam padi varietas lain, di sekitaran Subak Piak, Jatiluwih, Wongaya Gede, Senganan, masih setia menakar sawahnya dengan padi Bali. Setidaknya, ini dilakukan tetua agar ada yang mengingat bahwa padi Bali, padi lokal, padi merah, padi cendana, pernah berjaya di tanahnya sendiri.

 

 

 

 

Gundah Rempah 

Ni Nyoman Ayu Suciartini

 

Semua tangan, setiap jemari, punya takdirnya sendiri. Ada yang pandai membaca pertanda lewat garis tangan. Menunda prasangka lewat ruas jari. Jari jemari tempat mengalirnya nadi. Jari jemari orang Bali juga mengandung takaran, pencapaian, dan kemandirian. Jejak base genep berawal dan bermuara dari ruas jari.

Jemari orang Bali tempat menemukan takaran rempah. Entahlah bagaimana jejak takaran itu dimulai dari ruas jari. Ajaib. Orang Bali guyub dalam aturan. Tata kelola bumbu dan kuliner disusun begitu apik dalam lontar Purincining Ebatan. Rumah rempah, kitab suci para chef zaman dahulu, bahkan pengetahuan yang hidup lintas generasi. Tutur leluhur memercayai bahwa segala kesakitan berawal dari sumber dalam tubuh. Pun penawarnya juga tak lain bermuara di tubuh pula. Menunjuk bahwa di jemarinya, setiap orang punya cita rasa yang menggugah. Tidak perlu membandingkan, tidak perlu menakar. Belawa kini hadir di rumah-rumah modern dan menamai diri mandor base genep. Tanpa upah atau memperbincangkan lelah. Turun temurun tanpa ada yang mengaku paling mahir. Tuturnya, base genep yang sempurna ialah yang tidak terasa apa-apa. Semua setara. Begitu pula seharusnya terjadi pada manusia. Melihat lagi asal muasal base genep dalam ruas jari. Jumlah jahe setengah dari lengkuas, jumlah kunyit setengah dari jahe. Jumlah kencur setengah kunyit. Bawang merah, bawang putih, cabai, lalu dua unsur laut, garam dan terasi bersepakat membaur rasa. Dirasa setara jika tak ada jahe yang terlalu kuat. Dirasa sempurna jika tak ada cecap kunyit. Merekah aroma sedap tanpa kencur atau lengkuas yang memikat. Dirasa pas jika semua beradu mesra. Tak akan pernah hadir hidangan lezat jika satu di antara empat rempah utama dihilangkan atau dilebihkan. Setara dalam bumbu, komposisi menuju syahdu.

Orang Bali tak pernah kerja sendirian. Kerja padu, utuh, dan sadar penuh akan dasar tulus ikhlas. Ngayah, tentang keseharian, tentang kesadaran, membaur memaknai hidup dari beragam individu. Selayaknya, base genep yang tak pernah lengkap jika sendirian. Dicincang, diparut, diulek, komponen base genep, punya takdirnya sendiri. Ukuran pas, setara, sempurna adalah kedalaman dalam melihat diri sendiri. Seperti membaca ruas jari sendiri. Sejatinya, semua bentuk, semua talenta warna, semua anak-anak zaman, punya porsinya masing-masing.

Membuat rasa itu bukan di lidah, tetapi pada tangan. Pengalamanlah yang akan memberi rasa pada tangan, pada jari seseorang. Sebab itu, di Bali dikenal istilah dakin lima, jika seorang piawai mengolah makanan dan rasanya enak. Semua meyakini, jika di Bali, ruas jari masing-masing adalah penentu sempurnanya base genep. Di jari orang Bali, takaran ini menjadi identitas. Jika yang terlahir dengan bakat meracik, maka ruas jarinya akan berbincang demikian. Pun, sebaliknya. Pada tangan, pada jari, orang Bali dibekali bakat meracik segala jenis berkah yang tumbuh di alam, untuk kemudian mempersembahkannya kepada semesta.

Diksi "bawang" selalu lekat dengan budaya masyarakat Bali. Dalam kisah bawang merah dan bawang putih yang gandrung di nasional, Bali justru kebalikan dalam memaknai bawang merah. Karakter suci, baik, santun, selalu melekat pada bawang putih. Di Bali, tidak demikian prasangkanya. Bawang merah sebagai karakter yang digambarkan perangainya keras, keji, penuh amarah, sedangkan Bawang Putih sebagai karakter yang berlawanan. Di Bali, bawang putih disebut kasuna, bermetafora menjadi pisuna (memfitnah, mengadu domba). Sebab itulah tokoh Bawang Putih berkarakter kebalikan yang dipercayai oleh masyarakat Bali. Yang baik, bermanfaat, dan menyelamatkan adalah bawang merah. Berbincang tentang bawang, khususnya bawang merah bagi masyarakat Bali seperti menyusuri seribu dongeng, seribu tafsir mimpi, dan seribu filsafat. Pada bawang merah, orang Bali percaya Tuhan, spiritual, ritual, juga hal masuk akal lainnya. Metafora bawang kerap muncul pada pepatah, nyanyian atau kidung, sastra, juga pengobatan.

Tiyuk puntul, bawang anggen pasikepan, lirik Pupuh Pucung berjudul Bibi Anu juga menyuratkan bawang sebagai metafora. Pupuh ini menyiratkan makna agar orang Bali waspada terhadap musuh yang ada di dalam diri yang justru paling membahayakan. Pesan utuh lirik pupuh ini menyiratkan kemajuan spiritual yang telah diraih jangan dipakai membodohi orang lain tapi dipakai untuk melayani. Sikap welas asih dan kasih sayang harus menjadi dasarnya.

Pepatah aklamaran bawang (sekejap, setipis) kerap didengungkan dalam tongkrongan, lamunan, juga nasihat tetua pada yang muda. Jika memiliki semangat janganlah setipis kulit bawang yang terluar. Jika bergantung pada harapan, janganlah sekejap menyalakan harapan itu.

Bawang bukan sekadar bumbu dapur. Fungsinya telah melebur sebagai salah satu elemen penting dalam pengobatan. Meski terkesan zadul (zaman dulu), Ibu milenial seperti saya masih percaya khasiat bawang matambus (bawang yang disangrai) mampu menetralisir demam. Dibalurkan seluas punggung, menjalar perut, hingga kaki-kaki. Meski, anak-anak kadang protes dengan baunya yang menyengat, bawang niscaya ampuh tinimbang obat penurun panas yang harganya tidak murah itu.

Bawang juga hadir sebagai pelindung bagi orang Bali. Digunakan sebagai pangraksa atau sebagai sesikepan (penangkal) untuk kekuatan negatif. Entahlah, bagaimana cara menjelaskan ini. Alam niskala yang sulit dijangkau membuat orang yang tak bersentuhan langsung akan menganggapnya sebagai tahayul, sesuatu yang mistis, dan banyak yang tak bersepakat. Ketika memiliki bayi, setiap akan kemana-mana, seorang Ibu akan membekali bayinya dengan bawang. Lantas, ketika baru sampai di rumah, bayi dan ibunya akan menuju dapur paling dulu. Meminta perlindungan Dewa Brahma, dan mengambil bawang untuk bekal menuju tempat selanjutnya. Sekali lagi, saya tak bisa menjelaskan atau meyakinkan seseorang tentang gaib ini. Hanya mampu dirasakan. Bayi menjadi tenang sebab hati Ibunya seolah ikut ditenangkan. Cara kerja perasaan itu rumit.

Tentang merica hijau atau mica gadang. Rempah langka yang selalu menggugah rasa. Bentuknya kecil seperti buah, ketika digigit akan pecah. Kecil yang selalu meledak di mulut. Cita rasa pedas khas Bali. Begitu tutur para penikmat kuliner dengan rempah mica gadang. Bulirannya mempercantik sajian makanan dan mempertegas cita rasanya. Mica gadang ini karib hadir dalam sajian lawar marlin, ayam suir bumbu serapah, dan sajian lainnya.

Bali bukan hanya tentang ingar bingar. Mata menjadi teduh sebab budaya yang tak banyak mengaduh. Bibir merekah sebab cita rasa yang menggugah. Juga tentang kenangan-kenangan di dalamnya sebagai bukti bahwa tak ada yang benar-benar selesai di hidup ini. Vifick Bolang menyatakan tegas melalui potretnya bahwa Bali membuat semua yang singgah akan tetap kemBali, suatu hari nanti.

Sajian kuliner tidak hanya terhidang di meja makan untuk manusia, melainkan tersaji hangat dalam ritual untuk dewata. Orang Bali mempersembahkan ini dengan perasaan tulus ikhlas yang disebut ngayah. Dewata mana yang tak tersentuh?

Aneka hidangan dengan rempah melimpah dan cita rasa base genep, base rajang melengkapi setiap ritual dan tradisi di Bali. Sajian ini menyiratkan makna keseimbangan dan keharmonisan. Sajian kuliner untuk Sang Pencipta memiliki petanya sendiri yang mewakili fungsi manifestasi. Darah berwarna merah melambangkan Dewa Brahmana, kelapa berwarna putih melambangkan Dewa Iswara. Terasi berwarna hitam melambangkan Dewa Wisnu. Aneka bumbu berwarna kuning melambangkan Dewa Mahadewa. Keempat arah mata angin melambangkan keseimbangan.

Sate lilit, lawar, dan urab khas Bali metafora untuk menyatakan masyarakat Bali yang guyub, akur, padu, satu, dan tidak terpecah. Segala perbedaan bisa dilekatkan oleh budaya, adat, juga falsafah. Lawar, urab, olahan sate lilit, memiliki berbagai rasa yang melambangkan pengalaman hidup, seperti: manis dari gula merah, asam dari buah asam, asin dari garam, pahit tapi harum dari buah limau, pedas dari cabai, sedikit bau menyengat (busuk) dari terasi. Semuanya menyatu menjadi bagian-bagian penting untuk dirasakan sehingga semua bersepakat menyebut "enak". Pengalaman untuk mengalami semua rasa.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun