Bawang bukan sekadar bumbu dapur. Fungsinya telah melebur sebagai salah satu elemen penting dalam pengobatan. Meski terkesan zadul (zaman dulu), Ibu milenial seperti saya masih percaya khasiat bawang matambus (bawang yang disangrai) mampu menetralisir demam. Dibalurkan seluas punggung, menjalar perut, hingga kaki-kaki. Meski, anak-anak kadang protes dengan baunya yang menyengat, bawang niscaya ampuh tinimbang obat penurun panas yang harganya tidak murah itu.
Bawang juga hadir sebagai pelindung bagi orang Bali. Digunakan sebagai pangraksa atau sebagai sesikepan (penangkal) untuk kekuatan negatif. Entahlah, bagaimana cara menjelaskan ini. Alam niskala yang sulit dijangkau membuat orang yang tak bersentuhan langsung akan menganggapnya sebagai tahayul, sesuatu yang mistis, dan banyak yang tak bersepakat. Ketika memiliki bayi, setiap akan kemana-mana, seorang Ibu akan membekali bayinya dengan bawang. Lantas, ketika baru sampai di rumah, bayi dan ibunya akan menuju dapur paling dulu. Meminta perlindungan Dewa Brahma, dan mengambil bawang untuk bekal menuju tempat selanjutnya. Sekali lagi, saya tak bisa menjelaskan atau meyakinkan seseorang tentang gaib ini. Hanya mampu dirasakan. Bayi menjadi tenang sebab hati Ibunya seolah ikut ditenangkan. Cara kerja perasaan itu rumit.
Tentang merica hijau atau mica gadang. Rempah langka yang selalu menggugah rasa. Bentuknya kecil seperti buah, ketika digigit akan pecah. Kecil yang selalu meledak di mulut. Cita rasa pedas khas Bali. Begitu tutur para penikmat kuliner dengan rempah mica gadang. Bulirannya mempercantik sajian makanan dan mempertegas cita rasanya. Mica gadang ini karib hadir dalam sajian lawar marlin, ayam suir bumbu serapah, dan sajian lainnya.
Bali bukan hanya tentang ingar bingar. Mata menjadi teduh sebab budaya yang tak banyak mengaduh. Bibir merekah sebab cita rasa yang menggugah. Juga tentang kenangan-kenangan di dalamnya sebagai bukti bahwa tak ada yang benar-benar selesai di hidup ini. Vifick Bolang menyatakan tegas melalui potretnya bahwa Bali membuat semua yang singgah akan tetap kemBali, suatu hari nanti.
Sajian kuliner tidak hanya terhidang di meja makan untuk manusia, melainkan tersaji hangat dalam ritual untuk dewata. Orang Bali mempersembahkan ini dengan perasaan tulus ikhlas yang disebut ngayah. Dewata mana yang tak tersentuh?
Aneka hidangan dengan rempah melimpah dan cita rasa base genep, base rajang melengkapi setiap ritual dan tradisi di Bali. Sajian ini menyiratkan makna keseimbangan dan keharmonisan. Sajian kuliner untuk Sang Pencipta memiliki petanya sendiri yang mewakili fungsi manifestasi. Darah berwarna merah melambangkan Dewa Brahmana, kelapa berwarna putih melambangkan Dewa Iswara. Terasi berwarna hitam melambangkan Dewa Wisnu. Aneka bumbu berwarna kuning melambangkan Dewa Mahadewa. Keempat arah mata angin melambangkan keseimbangan.
Sate lilit, lawar, dan urab khas Bali metafora untuk menyatakan masyarakat Bali yang guyub, akur, padu, satu, dan tidak terpecah. Segala perbedaan bisa dilekatkan oleh budaya, adat, juga falsafah. Lawar, urab, olahan sate lilit, memiliki berbagai rasa yang melambangkan pengalaman hidup, seperti: manis dari gula merah, asam dari buah asam, asin dari garam, pahit tapi harum dari buah limau, pedas dari cabai, sedikit bau menyengat (busuk) dari terasi. Semuanya menyatu menjadi bagian-bagian penting untuk dirasakan sehingga semua bersepakat menyebut "enak". Pengalaman untuk mengalami semua rasa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI