Â
Gundah RempahÂ
Ni Nyoman Ayu Suciartini
Â
Semua tangan, setiap jemari, punya takdirnya sendiri. Ada yang pandai membaca pertanda lewat garis tangan. Menunda prasangka lewat ruas jari. Jari jemari tempat mengalirnya nadi. Jari jemari orang Bali juga mengandung takaran, pencapaian, dan kemandirian. Jejak base genep berawal dan bermuara dari ruas jari.
Jemari orang Bali tempat menemukan takaran rempah. Entahlah bagaimana jejak takaran itu dimulai dari ruas jari. Ajaib. Orang Bali guyub dalam aturan. Tata kelola bumbu dan kuliner disusun begitu apik dalam lontar Purincining Ebatan. Rumah rempah, kitab suci para chef zaman dahulu, bahkan pengetahuan yang hidup lintas generasi. Tutur leluhur memercayai bahwa segala kesakitan berawal dari sumber dalam tubuh. Pun penawarnya juga tak lain bermuara di tubuh pula. Menunjuk bahwa di jemarinya, setiap orang punya cita rasa yang menggugah. Tidak perlu membandingkan, tidak perlu menakar. Belawa kini hadir di rumah-rumah modern dan menamai diri mandor base genep. Tanpa upah atau memperbincangkan lelah. Turun temurun tanpa ada yang mengaku paling mahir. Tuturnya, base genep yang sempurna ialah yang tidak terasa apa-apa. Semua setara. Begitu pula seharusnya terjadi pada manusia. Melihat lagi asal muasal base genep dalam ruas jari. Jumlah jahe setengah dari lengkuas, jumlah kunyit setengah dari jahe. Jumlah kencur setengah kunyit. Bawang merah, bawang putih, cabai, lalu dua unsur laut, garam dan terasi bersepakat membaur rasa. Dirasa setara jika tak ada jahe yang terlalu kuat. Dirasa sempurna jika tak ada cecap kunyit. Merekah aroma sedap tanpa kencur atau lengkuas yang memikat. Dirasa pas jika semua beradu mesra. Tak akan pernah hadir hidangan lezat jika satu di antara empat rempah utama dihilangkan atau dilebihkan. Setara dalam bumbu, komposisi menuju syahdu.
Orang Bali tak pernah kerja sendirian. Kerja padu, utuh, dan sadar penuh akan dasar tulus ikhlas. Ngayah, tentang keseharian, tentang kesadaran, membaur memaknai hidup dari beragam individu. Selayaknya, base genep yang tak pernah lengkap jika sendirian. Dicincang, diparut, diulek, komponen base genep, punya takdirnya sendiri. Ukuran pas, setara, sempurna adalah kedalaman dalam melihat diri sendiri. Seperti membaca ruas jari sendiri. Sejatinya, semua bentuk, semua talenta warna, semua anak-anak zaman, punya porsinya masing-masing.
Membuat rasa itu bukan di lidah, tetapi pada tangan. Pengalamanlah yang akan memberi rasa pada tangan, pada jari seseorang. Sebab itu, di Bali dikenal istilah dakin lima, jika seorang piawai mengolah makanan dan rasanya enak. Semua meyakini, jika di Bali, ruas jari masing-masing adalah penentu sempurnanya base genep. Di jari orang Bali, takaran ini menjadi identitas. Jika yang terlahir dengan bakat meracik, maka ruas jarinya akan berbincang demikian. Pun, sebaliknya. Pada tangan, pada jari, orang Bali dibekali bakat meracik segala jenis berkah yang tumbuh di alam, untuk kemudian mempersembahkannya kepada semesta.
Diksi "bawang" selalu lekat dengan budaya masyarakat Bali. Dalam kisah bawang merah dan bawang putih yang gandrung di nasional, Bali justru kebalikan dalam memaknai bawang merah. Karakter suci, baik, santun, selalu melekat pada bawang putih. Di Bali, tidak demikian prasangkanya. Bawang merah sebagai karakter yang digambarkan perangainya keras, keji, penuh amarah, sedangkan Bawang Putih sebagai karakter yang berlawanan. Di Bali, bawang putih disebut kasuna, bermetafora menjadi pisuna (memfitnah, mengadu domba). Sebab itulah tokoh Bawang Putih berkarakter kebalikan yang dipercayai oleh masyarakat Bali. Yang baik, bermanfaat, dan menyelamatkan adalah bawang merah. Berbincang tentang bawang, khususnya bawang merah bagi masyarakat Bali seperti menyusuri seribu dongeng, seribu tafsir mimpi, dan seribu filsafat. Pada bawang merah, orang Bali percaya Tuhan, spiritual, ritual, juga hal masuk akal lainnya. Metafora bawang kerap muncul pada pepatah, nyanyian atau kidung, sastra, juga pengobatan.
Tiyuk puntul, bawang anggen pasikepan, lirik Pupuh Pucung berjudul Bibi Anu juga menyuratkan bawang sebagai metafora. Pupuh ini menyiratkan makna agar orang Bali waspada terhadap musuh yang ada di dalam diri yang justru paling membahayakan. Pesan utuh lirik pupuh ini menyiratkan kemajuan spiritual yang telah diraih jangan dipakai membodohi orang lain tapi dipakai untuk melayani. Sikap welas asih dan kasih sayang harus menjadi dasarnya.
Pepatah aklamaran bawang (sekejap, setipis) kerap didengungkan dalam tongkrongan, lamunan, juga nasihat tetua pada yang muda. Jika memiliki semangat janganlah setipis kulit bawang yang terluar. Jika bergantung pada harapan, janganlah sekejap menyalakan harapan itu.