Guru, digugu dan ditiru. Menjalani profesi sebagai guru atau pendidik tidak ubahnya sebagai profesi marketing.Â
Bedanya, guru adalah marketing yang meyakinkan seseorang dan publik bahwa melalui jalan pendidikan, seseorang bisa mengubah nasib, pendidikan bisa mengubah jalan hidup seseorang, dan pendidikan adalah satu-satunya jalan memanusiakan manusia.Â
Tentu, menjadi marketing ini, guru atau pendidik diharapkan tidak hanya berbicara panjang lebar, melulu teori. Namun, lebih dari itu, guru dan pendidik harus mulai berkarya, meyakinkan yang diajarnya untuk dapat terinspirasi, termotivasi dari apa yang dilakukan oleh gurunya.
Upaya meyakinkan anak-anak zaman sekarang itu sungguh membutuhkan kerja keras dan kerja cerdas. Anak-anak tidak gampang percaya. Mereka membutuhkan figur pendidik yang bisa menginspirasi, memotivasi, dan menunjukkan bahwa pendidikan bukan menjauhkan manusia dari rasa kemanusiaan itu sendiri.
Tugas ini berat. Jadi, biar pendidik saja yang melakukannya. Seorang pendidik baru bisa disebut guru ketika ia bisa menemukan bakat-bakat terbaik, menggali potensi terbaik dari diri anak, menanamkan karakter yang baik, serta memperlihatkan bahwa manusia terdidik adalah manusia yang bisa bermanfaat bagi banyak orang.
Di era merdeka belajar, seorang guru harus bisa mengubah pola pikir peserta didik. Tentang sekolah bukan lagi sebuah "penjara" yang bebas menekan siapa saja. Era merdeka belajar sejatinya mewujudkan sekolah menjadi rumah kedua yang selalu dirindukan.Â
Guru menjadi teman, sahabat, yang karib mendengarkan siswa, serta materi dan tugas-tugas sekolah menjadi bagian dari proses memantaskan diri. Jika ini terwujud, inilah wajah depan arti "merdeka" bagi sekolah, guru, siswa, juga pendidikan itu sendiri.Â
Kehadiran sekolah juga guru di dalamnya sungguh dirindukan. Sekolah adalah tempat semua orang bisa mendapatkan sesuatu untuk bekal menghadapi hidup yang tidak mudah ini. Bukan sebaliknya.Â
Dari cara guru memberikan ulangan, itu bukan semata-mata menakuti siswa, melainkan nilai yang ditanamkan adalah nilai kejujuran, tanggung jawab, dan disiplin.Â
Tentang PR atau pekerjaan rumah, bukan lagi menjadi beban, melainkan berganti wujud menjadi bentuk tanggung jawab dan melatih kemandirian. Tentang matematika, bukan lagi soal hafalan rumus dan gurunya yang menyeramkan, melainkan menjadi sebuah tes untuk menemukan bakat anak secara logika.Â
Kemampuan berbahasa juga dilatih bukan untuk menghadapi ujian nasional, melainkan menanamkan kepercayaan dan keterampilan dalam diri anak bahwa bahasa seseorang, bagaimana caranya berkomunikasi akan berdampak besar dalam kehidupannya kelak.Â
Presentasi dan kerja kelompok itu bukan lagi tentang tugas melainkan tentang kerja kelompok yang mau tidak mau harus dimiliki manusia dalam kapasitasnya sebagai makhluk sosial.Â
Presentasi juga menjadi indikator bagaimana karakter anak bisa menghargai satu dengan lainnya. Yang pintar tidak lantas merendahkan yang kurang pintar. Presentasi dan kerja kerja kelompok adalah bentuk perayaan perbedaan di kelas.Â
Di kelas yang gurunya sudah "merdeka" dan menularkan kemerdekaan ini kepada peserta didiknya, akan diwujudkan dengan terbentuknya anak-anak gemilang secara pengetahuan juga sikap.Â
Tidak ada lagi kalimat yang diucapkan seorang anak ketika salah satu temannya mendapatkan nilai seratus "Ah, toh juga nilai tidak menentukan kesuksesan" yang justru seorang anak berlindung di balik kalimat tersebut. Berlindung dari ketidakmampuannya mendapatkan nilai baik dengan cara merendahkan pencapaian orang lain.Â
Saya setuju bahwa nilai, ranking, juara, prestasi, tidak menjadi garansi apa-apa dalam kehidupan atau kesuksesan seseorang. Namun, anak-anak yang memperoleh nilai baik bahkan maksimal yang didapat dari cara dia berproses dengan baik, tekun, dan jujur, nyata tidak nyata akan ikut membentuk kedisplinan, tanggung jawab yang pada akhirnya akan memengaruhi kesuksesan anak tersebut.Â
Bersekolah dimaknai sebagai perayaan setiap proses seorang anak. Sekolah, pendidik, dan anak yang "merdeka" harus memaknai proses ini dengan sebaik-baiknya.Â
Angka, pencapaian, prestasi, ranking, adalah bonus dalam berproses. Kenakalan, kegagalan, kesedihan, tidak naik kelas juga bagian dari hambatan yang harus dimaknai pula sebagai sebuah pelajaran yang mendewasakan.Â
Bukankah bahagia dan sedih itu datang selalu sepaket dalam hidup manusia? Kita harus terbiasa dengan dua bagian yang tak terpisahkan itu. Duka, sedih, kecewa, bahagia, senang adalah karakter-karakter yang ikut membentuk pribadi manusia dewasa.
Dalam era "merdeka" ini, guru harus berkarya untuk "menjual". Karya dalam bentuk apapun bisa menjadi keteladanan bagi siswanya. Misalnya, guru yang tidak ingin siswanya mematikan kamera saat kelas daring dan ikut berpartisipasi dalam kegiatan webinar maupun dalam proses pembelajaran, setidaknya guru memulai dahulu hal itu.Â
Di setiap webinar, diskusi, seminar, jika itu berlangsung secara daring, maka guru harus menyalakan fitur kamera sebagai apresiasi atau penghargaan terhadap yang berbicara. Karya lainnya yang bisa menjadi teladan bagi peserta didik yang sangat mungkin diupayakan guru.Â
Ketika menghadiri sebuah acara atau mendengarkan orang lain yang tengah berbicara pada sebuah acara, guru tidak tertunduk pada telepon pintarnya dan abai memberikan penghargaan terhadap yang bicara itu.Â
Tentu guru harus memulai terlebih dahulu langkah-langkah sederhana ini untuk dapat meminta kepada siswa melakukannya di depan kelas.Â
Menyoal bermedia sosial seorang guru, guru harus meningkatkan literasi sebelum mengunggah apapun di media sosial. Guru harus banyak tahu, banyak membaca, dan kritis menerima informasi agar tak menjadi penyebar berita palsu. Sungguh malu jika guru sampai tidak kritis menghadapi gempuran media sosial ini.Â
Meski media sosial adalah privasi, milik pribadi, bahkan orang lain tak berhak menghakimi, selayaknya seorang guu ketika bermedia sosial bisa memberikan dampak-dampak positif. Bukan melulu berandanya dipenuhi swafoto tanpa sebuah kalimat motivasi atau jajaran prestasi yang bisa membangkitkan motivasi.
Memang berat menjadi guru sehingga tak banyak yang setia pada profesi ini. Guru boleh salah, tapi tidak boleh berbohong. Sebab, jika melakukan satu kebohongan maka Ia sesungguhnya telah membohongi satu generasi dan berlanjut pada generasi-generasi setelahnya.Â
Lisan guru sudah seharusnya diisi dengan hal-hal terpuji. Tak mudah menjadi guru sebab apapun dinilai. Masak begini gurunya? Tentu kalimat ini menjadi nyinyiran sekaligus cambuk untuk selalu bertumbuh dan berbenah sampai tak seorang pun bisa mencari cacat cela seorang guru.
Guru transformatif tidak tumbang karena kritik. Menjadi agen perubahan dan memberi makna pada pembelajaran membuat guru harus berlapang dada atas segala keterbukaan dan pemikiran siswa yang tak bisa dibendung.Â
Siswa bebas mempertanyakan segala hal dan disediakan ruang untuk berdiskusi. Guru seharusnya tidak antikritik. Guru siap diberi masukan dan perbaikan. Sebab saat dunia jelajah internet kian masif, setiap siswa bisa mengakseks ilmu pengetahuan dari manasaja dan kapan saja.
Guru menunjukkan keteladanan dengan mulai menulis, mengikuti seminar, kegiatan penngembangan diri dan juga hal-hal merdeka lainnya agar bisa memberi motivasi kepada siswanya. Jika guru bisa memulai memberi teladan sangat mungkin siswanya akan menjadikan langkah-langkah dan karya guru ini sebagai pedoman.Â
Guru meminta siswanya untuk gemar membaca, sedangkan gurunya sendiri hanya bermain media sosial. Tentu hal ini akan melukai wajah pendidikan. Bukankah sudah dinasbihkan bahwa guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Segalanya yang dibuat guru akan membawa dampak yang sangat besar di kehidupan siswa-siswanya.
 "Peserta didik tumbuh secara kodratnya sendiri, sedangkan guru hanya menuntun dan merawat kodrat itu." Jadilah guru yang seperti itu!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H