Mohon tunggu...
Tryas Munarsyah
Tryas Munarsyah Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas di Website Pribadi : www.aslianakmuna.com

BERBAGI MENGINSPIRASI

Selanjutnya

Tutup

Politik

Perubahan Paradigma Proses Politik Berbasis Mandat By Name By Adress Satu Paket Sistem Keuangan Nasional

10 Oktober 2023   10:17 Diperbarui: 10 Oktober 2023   10:17 385
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

PERUBAHAN PARADIGMA PROSES POLITIK BERBASIS MANDAT BY NAME BY ADRESS SATU PAKET SISTEM KEUANGAN NASIONAL ADALAH SOLUSI ABSOLUT PENCEGAHAN TINDAK PIDANA KORUPSI

By : Tryas Munarsyah,  ST

Kejahatan korupsi, masih menjadi persoalan serius di Indonesia. Hal ini tercermin dari Indeks Corruption Perception Index (CPI) RI yang dirilis oleh Transprancy Internasional (TI). Menurut lembaga yang berpusat di London itu, CPI RI pada tahun 2022 menunjukkan bahwa Indonesia terus mengalami tantangan serius dalam melawan korupsi. "CPI Indonesia tahun 2022 berada di skor 34 dari Skala 100. Hal ini memberikan posisi Indonesia berada di peringkat 110 dari 180 negara yang disurvei.

Artinya dengan hasil ini, Indonesia hanya mampu menaikkan skor CPI sebanyak 2 poin dari skor 32 selama satu dekade terakhir sejak tahun 2012. Situasi ini memperlihatkan respon terhadap praktik korupsi masih cenderung berjalan lambat bahkan terus memburuk akibat minimnya dukungan yang nyata dari para pemangku kepentingan. (www.ti.or.id).

Apabila ditelusuri lebih jauh, Perilaku Tindak Pidana Korupsi punya kaitan erat dengan kebijakan dan tata kelola pemerintahan yang mempengaruhi transformasi sosial, ekonomi dan politik yang disebut dengan istilah Public Governance oleh Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG, 2008).  Prinsip-prinsip Public Governance yang baik diatur di UU No. 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. UU ini mengatur indikator keberhasilan public governance yakni pemerintah yang bebas dari praktik korupsi (Maria & Halim, Jurnal Akuntansi Vol. 11, No.3, October 2021).  Namun penerapan Public Governance tidak serta merta membuat praktik korupsi berkurang. Korupsi di pemerintah daerah justru banyak terjadi hampir di seluruh bagian organisasi (Maria et al., 2019a).

Di Indonesia, tidak sedikit pejabat pemerintah yang terjerat kasus korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi sejak tahun 2004 hingga 3 Januari 2022 mencatat bahwa di lingkup pemerintahan mayoritas tindak pidana korupsi dilakukan di instansi pemerintah kabupaten/kota yakni sebanyak 548 kasus. Lalu diikuti oleh instansi kementerian/lembaga dan pemerintah provinsi masing-masing sebanyak 422 kasus dan 174 kasus. Sebarannya menempatkan anggota DPR dan DPRD sebagai penyumbang kasus korupsi terbanyak di tanah air dengan total 310 kasus. Sementara itu eselon I/II/III menempati posisi ke-2 dengan total 260 kasus korupsi, diikuti profesi lainnya sebanyak 207 kasus, menempatkannya di posisi ke-3. 

Adapun posisi ke-4 diraih oleh walikota/bupati dan wakil dengan total 154 kasus korupsi hingga 3 Januari 2022. Bahkan dalam tubuh Komisi Pemberantasan Korupsi pun tidak terlepas dari jerat perilaku Extra Ordinary Crime "Tindak Pidana Korupsi" . Di mana salah satu pegawainya melakukan mark-up anggaran uang dinas mencapai Rp 550 juta dalam setahun dengan memanipulasi tambahan orang yang melakukan perjalanan dinas. Sungguh prestasi yang berakibat pada citra integritas lembaga dengan sebutan super body tersebut.

Data tindak Pidana Korupsi oleh beberapa lembaga di atas tak terkecuali KPK itu sendiri diakibatkan karena beberapa faktor yang mempengaruhi baik itu internal/pribadi dan eksternal. Faktor internal biasanya di dominasi karakter diri yang tamak/rakus terhadap materi, moral diri yang lemah, dan gaya hidup konsumtif yakni hidup foya-foya meski pendapatan tidak sesuai. "Lebih Besar Pasak daripada Tiang". Sedangkan faktor eksternal umumnya fokus pada masalah Hukum-Ekonomi-Politik. 

Di luar aspek hukum, aspek Ekonomi-Politik memiliki keterikatan yang sangat kuat satu sama lain. Inilah lingkaran setan tindak pindana korupsi selama ini. Karena faktanya faktor internal berupa integritas jati diri ini telah ada dan diprogramkan oleh partai poltik melalui Pendidikan Politik dalam rangka Pencegahan Korupsi atau aktivitas lainnya oleh partai yang memuat program Anti Korupsi. Hal ini di perkuat dengan adanya kerjasama  partai politik (parpol) dengan KPK dalam menerapkan pendidikan antikorupsi bagi politikus yang merupakan pion pejabat publik.Pendekatan pendidikan antikorupsi inilah yang kerap digembar-gemborkan Ketua KPK Firli Bahuri sebagai cara pertama mengatasi korupsi sebelum upaya penindakan. Olehya meski integritas perilaku anti korupsi  diri telah  di upayakan dengan maksimal, faktanya  praktek Tindak Pidana Korupsi masih saja terus menjadi momok di masyarakat hingga saat ini.

Demikian halnya kalau kita melihat dari aspek hukum itu sendiri. Perbaikan melalui Revisi UU No.30 Tahun 2002 tentang KPK menjadi UU No.19 Tahun 2019, merupakan strategi pemerintah mengurangi penegakan hukum. Bahkan menggeser upaya penindakan menjadi pencegahan korupsi. Namun hal ini belum juga menjadi acaman bagi pelaku korupsi. Sementara program pemberantasan korupsi lainnya pun dilakukan baik dalam pelayanan publik dan pelayanan bisnis, seperti digitalisasi pelayanan publik bahkan UU Cipta Kerja diklaim sebagai strategi besar untuk memberantas korupsi melalui pencegahan.

Tetapi merosotnya skor CPI  menunjukkan strategi tersebut tidak berjalan. Disisi lain pemberantasan korupsi di sektor strategis lainnya seperti korupsi politik dan korupsi peradilan juga tidak menunjukkan stagnasi. Kecilnya kenaikan skor WJP-ROL Index dan VDem yang dapat di lihat dari Pelayanan Publik, memberikan bukti pada dua sektor ini tidak ada terobosan kebijakan dalam pemberantasan korupsi. Padahal selama ini dua sektor ini merupakan sektor penting yang menghambat kenaikan indeks persepsi korupsi Indonesia.

Hal ini terjadi karena agenda internal dan solusi yang telah ada tersebut tidak di barengi dengan perbaikan sistem ekonomi-politik kita yang tengah berjalan. Sehingga hanya akan menjadi solusi tambal sulam semata.  Secara sederhana korupsi yang notabene besar terjadi di level pejabat publik bukan semata soal integritas dan hukum. Bahkan kedua point tersebut masuk dalam peringkat ke sekian dibanding pola sistem ekonomi-politik kita hari ini. Penyebabanya perlu ditekankan pada praktik siklik sistem politik-keuangan nasional kita hari ini sebagai causa primanya.  Mengapa demikian?? Sebab dari segi Sistem Politiknya pejabat publik yang ingin menduduki posisi pemerintahan melalui proses Pemilu lewat Partai Politik, butuh modal yang besar untuk kebutuhan  membiayai kampanye politiknya. Hal ini dapat menyebabkan politisi memperdagangkan keputusan politiknya untuk pendanaan.

Hasil kajian yang sempat dikerjakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebutkan untuk seseorang maju menjadi calon pejabat daerah memerlukan cost rata-rata sekitaran Rp 20 miliar sampai Rp 30 miliar. Sesaat harta kekayaan yang dipunyai calon paling tidak berdasar pada Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) rerata sekitar Rp 6 miliar hingga sampai Rp 8 miliar. Kekurangan cost inilah yang mendorong calon pejabat daerah mencari sponsor pada bidang swasta untuk menutupi biaya kampanye politiknya.  Mirisnya pasca pemilihan hingga terpilih menjadi pejabat daerah, upah pokok yang didapat rata-rata hanya sekitaran Rp 10 juta, masih belum mampu menutupi utang kampanye yang digunakan.

Akhirnya untuk mengembalikan modal cost kampanye yang didapat dari sponsor tersebut, tak jarang kepala daerah mengambil jalan pintas dengan Proses Korupsi. Proses politik dengan mahar ini merupakan efek dari Sistem Pemilu kita yang dibuat tertutup dan tanpa mandat. Akibatnya rakyat dan calon pejabat tidak dapat mengetahui siapa yang dipilih dan diwakili.  Terlebih lagi sistem politik melalui pemilihan kosong tanpa mandat menyebabkan celah kosong bagi pemilik modal untuk dapat masuk memberikan cost politik pada calon pejabat tersebut. Akibatnya arah kebijakan pemerintah atau pemegang kuasa nantinya semata diarahkan pada pemenuhan kepentingan eklusif pengembalian biaya politik.

Domino efek dari proses politik pemilihan nir mandat pasca pesta politik itu memaksa kebijakan yang dibuat oleh Pejabat Terpilih berbasis Progam bukan berbasis individu. Kebijakan yang ada datang dari Pemerintah ke Rakyat bukan dari Rakyat by Name by Adress ke Pemerintah.  Kebijakan berbasis program ini selain melukai prinsip kedaulatan rakyat yang telah memilih by name by adress, kewenangan utamanya pun berada pada pundak pejabat daerah terpilih satu paket dengan  pengelolaan keuangannya.

Sebagaiamana dalam Undang-Undang No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, terdapat penegasan di bidang pengelolaan  keuangan, yaitu bahwa kekuasaan pengelolaan keuangan negara  dari presiden sebagian diserahkan kepada gubernur/bupati/walikota selaku kepala pemerintahnya daerah untuk mengelola keuangan daerah.

Akibatnya dalam menunaikan program yg dirancang pejabat daerah,  keterbatasan rakyat terhadap program satu paket akses anggaran pengelolaannya, tidak dapat berjalan secara maksimal. Sehingga hal ini  mengharuskan dieksekusi oleh rakyat yang memiliki perusahaan berbadan hukum berupa PT, CV, atau UD. Akses oleh rakyat dengan badan hukum tersebut menjadi rawan untuk dimanipulasi. Umumnya pejabat daerah memilih posisi aman dengan menggandeng rakyat dalam kriteria itu yang masih pada lingkaran keluarga atau sahabat  dekatnya.

DPRD sebagai pengawas di daerah pun justru sering terbukti berkomplot dengan oknum pemerintah daerah dalam melakukan tindak pidana korupsi. Perilaku ini dilakukan untuk memuluskan regulasi pelaksaanan program/proyek dengan biaya mahar yang disepakati juga dalam rangka pengembalian biaya politik yang telah dihamburkan. Inilah pintu masuk perilaku korupsi dalam bentuk nepotisme atau penyuapan dengan persentasi terjadinya sangat tinggi di daerah kisaran 40-50% dari perilaku korupsi lainnya.

Meskipun UU No 7 Tahun 2003 itu pun direvisi tanpa mengubah proses Politik dalam hal ini Proses Pemilu yang memakan biaya mahar cukup besar hingga butuh cost return, satu paket Kebijakan berbasis Program yang mudah untuk dimanipulasi, maka perilaku Tindak Pidana Korupsi dalam siklik ini masih akan terus terjadi. Senada dengan itu diungkapkan oleh Deputi Pencegahan KPK, Pahala Nainggolan yang mengaku bahwa tingginya cost politik jadi masalah yang kompleks serta susah untuk dihadapi. Sistem pencegahan yang dibuat sulit untuk jalan maksimum bila cost politik masih tetap tinggi.  

Pertimbangan  solusi dari segala aspek perubahan yang dilakukan masih belum dapat mencegah Tindak Pidana Korupsi ini terjadi. Maka, Perubahan Paradigma Politik by Name by Adress dalam teknis pelaksaaan Pemilu dan Arah Kebijakan Pemerintah perlu di tata ulang. Prosedur yang dapat dilakukan berupa perubahan Proses Pemilihan Umum dari yang terutup Tanpa Mandat beralih ke Sistem Pemilu Terbuka berdasarkan Mandat by Name by Adress.  Pemilu terbuka memberikan posisi rakyat dan calon pejabat daerah dapat memastikan siapa yang dipilih dan siapa yang terwakili. 

Sehingga menjadikan mahar politik tidak diperlukan dalam aktivitas tersebut. Demikian juga halnya kebijakan yang muncul bukan lagi kebijakan berbasis program dari Pemerintah ke Rakyat, namun justru dari Rakyat ke Pemerintah by Name by Adress. Pada posisi ini masing-masing rakyat kemudian dapat secara menyeluruh mengakses modal(uang), mengontrol mandatnya ke pemerintah terpilih, sekaligus memastikan bahwa pejabat pemerintah yang dipilihnya tidak melakukan proses korupsi.

Pada pelaksanan teknisnya hal tersebut dapat dilakukan dengan beberapa langkah berikut :

Pertama :
Pemilihan anggota eksekutif diluar Presiden  RI dilakukan secara pemilihan langsung berbasis suara terbuka by name by adress (BNBA) satu paket pendataan mandat hidup rakyat BNBA. Prosesnya untuk pemilihan eksekutif,  rakyat by name by adress melakukan pencoblosan disertai mandatnya ditujukan ke pelaksana eksekutif yang diinginkan.  Jika ada dua calon atau lebih, calon yang terpilih melalui KPU wajib mengumpulkan mandat rakyat tersebut terhadap calon lainnya untuk dilakukan pendataan ulang atas mandat hidup yang diinginkan. Demikian halnya proses pemilihan yang dilakukan terhadap wakil DPR/DPRD/DPD dalam berbagai jenjangnya. 

Namun, terkhusus anggota DPR/DPD/DPRD jika tidak terpilih dan memenuhi persentasi suara yang ditetapkan, maka dapat meleburkan diri bersama mandat rakyat yang memilihnya kepada calon DPR/DPD/DPRD yang terpilih. Atau dapat membuat  dan mengusulkan kelompok/berserikat lainnya beserta dengan rakyat yang ditunjuk sebagai wakilnya sehingga dapat duduk di kursi dewan DPR/DPD/DPRD dengan tetap mengikuti prinsip perbandingan keterwakilan yg sudah ada sesuai dengan ketetapan KPU. Hal ini dimaksudkan agar memudahkn kinerja anggota tersebut dalam pengelolaan mandat rakyat BNBA tersebut.

Kedua :
Calon Anggota DPR/DPRD/DPD tidak hanya dicalonkan melalui jalur Partai Politik/Independen saja,  akan tetapi dalam bentuk berserikat berkumpul lainnya sebagaimana yang diamanahkan dan dijamin oleh UUD 1945 Pasal 28. Hal ini dimaksudkan agar Rakyat  yang tidak terwakili melalui partai dapat turut andil dalam mengajukan mandat hidupnya by name by adress tersebut dengan perwakilan yang diamanahinya.

Ketiga :*
Mandat rakyat BNBA yang masukkan kepada lembaga eksekutif, menjadi tugas utama DPR/DPRD/DPD/Perwakilan Rakyat lainnya untuk kembali melakukan verifikasi dan kesesuaian. Apakah mandat rakyat yang diajukan ke- eksekutif tersebut masih sesuai atau justru mengalami perubahan dengan mandat yang diberikan ke legislatif sebagai perwakilannya pada proses pemilihan  tersebut. Termasuk didalamnya membuat/menyusun UU untuk mempermudah regulasi, serta mengawasi/ memastikan pihak eksekutif terpilih memfasilitasi mandat Rakyat BNBA tersebut  terealisasi. Sehingga dengan demikian tambahan tugas legislatif yakni adminsitrasi & penyelarasan mandat/proposal rakyat BNBA (Anggaran Fiskal/berbasis Rakyat BNBA). Kebijakan Moneter mengikuti Kebijakan Fiskal atau sederhananya Jumlah Uang Mengikuti Kreativitas Rakyat.

Keempat :
Proses pengajuan mandat rakyat BNBA pra dan pasca pemilihan dibahas secara gotong royong/ musyawarah mufakat  berjenjang mulai ditingkatan Desa, Kelurahan hingga Small Area RT/RW melalui Musyarawarah Perencanaan Pembangunan (Musrembang) agar tidak terjadi  kesamaan mandat, tidak proprosionalnya anggaran terhadap mandat yang diingikan, keterkaitan mandat dengan potensi SDM dan SDA yang dimiliki,  serta masalah teknis lainnya.  

Kelima :
Terkait Proposal/Mandat Rakyat By Name By Adress (BNBA) berupa :
1. Tiap Rakyat dijamin alokasi anggaran dari keuangan negara (Otonomi Daerah) sesuai dengan Identitas Formal (KTP) dan alamat masing-masing .

2. Sedang pelayanan oleh Kekuasan Otonomi daerah sesuai domisili rakyat secara de facto tiap rakyat

3. Otonomi daerah (huruf a) melakukan tagihan pada Otonomi daerah (huruf b) dalam bingkai 2 (dua) kamar fiskal/moneter.

Proses Perubahan Sistem Politik berupa Pemilu Terbuka dan Arah Kebijakan Pemerintah by Name by Adress di atas sebagai bagian dari Antisipasi Tindak Pidana Korupsi, tidak dapat dilakukan tanpa Perubahan Tatanan  Sistem Keuangan di tingkat Negara.   Hal ini terjadi karena adanya keterbatasan anggaran di tingkat nasional (defisit) sehingga tranfser dana ke daerah pun ikut mengalami defisit yang berakibat pada terhambatnya revolusi sistem politik tersebut.  Keterbatasan anggaran ditingkat negara ditengarai sebagai efek dari Sistem Keuangan Nasional yang dikelola  oleh perbankan dalam hal ini Bank Indonesia (BI)  yang menempatkan uang sebagai "jasa/komoditas".

Akibatnya kondisi  keuangan negara menjadi  defisit hingga sulit untuk memaksimalkan pembangunan nasional juga daerah. Bahkan terungkap fakta bahwa Sumber Utang Indonesia utamanya berasal dari Bank Indonesia dibeli menggunakan instrument SBN/SBSN yang terhitung sebagai utang. Utang pemerintah berupa SBN mencapai Rp 6.175,83 triliun, sedangkan dari pinjaman sebesar Rp 825,40 triliun yang terdiri dari pinjaman dalam negeri senilai Rp 14,74 triliun  dan pinjaman luar negeri sebanyak negeri sebanyak Rp 811,67 triliun (Money Kompas, 2022).  

Terlebih lagi pengelolaan keuangan  oleh BI dengan menempatkan uang sebagai komoditas atau sistem bunga mutlak tidak berkedaulatan rakyat dan tidak berdasarkan Pancasila. Padahal secara de jure, pengelolaan moneter harus dikeloa dengan sistem tanap bunga sebagaiaman amanat konstitusi penjelasan UUD 1945 (asli) BAB VIII Hal Keuangan.  Diterangkan bahwa uang adalah alat penukar dan pengukur harga untuk memudahkan pertukaran jual beli (produktivitas) masyarakat. Penjelasan ini sangat gamblang (tidak ada multitafsir) bahwa uang bukanlah komoditas/ jasa melainkan sekedar pengukur nilai. Selain itu, Pasal 33 ayat (2) mewajibkan uang dikuasai oleh negara karena merupakan instrumen yang menguasai hajat hidup orang banyak. Akan tetapi, secara de facto, pengelolaan moneter dan fiskal (uang rupiah/ keuangan negara) justru sebaliknya. Sayangnya banyak dari kita yang enggan untuk menyadari fakta ini sebagai penyumbang utama tindak pidana korupsi.

Proses Perubahan Sistem Keuangan Nasional ini pun tidak dapat dilakukan melalui pemerintah atas kewenangan Legislatif (Presiden) maupun Eksekutif (DPR/DPRD/DPR) hari ini. Sebab  posisi kekuasannya tidak dapat mencampuri kewenangan Perbankan cq Bank Indonesia sebagaimana Pasal 9 TAP MPR RI No. XVI /MPR/1998 tentang Politik Ekonomi Dalam Rangka Demokrasi Ekonomi jo Pasal 4 UU/3/2004 Tentang Perubahan Atas UU/23/1999 Tentang Bank Indonesia. Legislatif memang pada dasarnya memiliki kewenangan mengubah UU bahkan UUD 1945 tak terkecuali UU BI tersebut.

Masalahnya, independensi kedudukan BI selain diatur oleh UU juga diatur oleh TAP MPR RI, yang saat itu diputuskan saat kedudukan MPR RI masih sebagai lembaga tertinggi negara. Dengan demikian, perlu dicermati apakah pengubahan TAP MPR RI oleh MPR RI yang kedudukannya saat ini sebagai lembaga tinggi negara, melanggar hukum atau tidak. Prinsip hukumnya, tidak boleh mengubah hukum dengan cara melanggar hukum.  Tak terkecuali masalah cut off utang luar negeri serta M0 (modal dasar sistem keuangan) yang telah bebas dari sistem pengelolaan cara perbankan di atas.

Perubahan pada Sistem Keuangan Nasional dari Sistem Ekonomi Perbankan (BI) menjadi Sistem Ekonomi Pancasila ini pun hanya dapat dilakukan bertalian dengan Sistem Politik berbasis  mandat by name by adress yang diajukan pada proses Pemilu tersebut dengan pra syarat yang wajib dipenuhi yakni:

Pertama Wajib ada bukti bahwa praktik Ekonomi Pancasila a quo dirugikan oleh Sistem Ekonomi Perbankan Bank Indonesia (BI). Artinya, BI tidak dapat mengayomi pelaksanaan Ekonomi Pancasila di tingkat privat sehingga mandat ini harus disampaikan melalui mekanisme Pemilu. Oleh karena itu, mandat Sistem Ekonomi Pancasila tidak bisa diajukan melalui Pemilu jika hanya sebatas konsep atau masih berada pada level pemikiran. Dia haruslah berupa praktik (sudah dijalankan) dan terbukti secara empiris dirugikan (hingga pada titik mengancam keselamatan diri) oleh Sistem Moneter  BI.

Kedua Mandat Ekonomi Pancasila c.q. mengelola uang rupiah harus jauh berbeda dengan Sistem Ekonomi Perbankan di atas, yakni tanpa angunan berbunga yang dapat berdampak secara sistemik terhadap seluruh aspek kehidupan terutama susunan kekuasaan negara. Mau tidak mau, mandat Keuangan Pancasila menyebabkan revolusi tata negara. Artinya, mandat Ekonomi Pancasila adalah mandat negara itu sendiri. Contoh sederhana, dalam mandat Ekonomi Pancasila wajib memuat penjelasan terkait lembaga yang nantinya mengelola rupiah tanpa bunga. Dengan demikian, mandat Ekonomi Pancasila wajib disertai struktur/susunan kekuasaan yang dapat menjamin terwujudnya Keuangan Pancasila.

Perubahan Struktur Negara yang dimaksud secara mendasar diluar perubahan struktur politik sebelumnya yakni terjadi pada kewenangan Presiden selaku kepala  Negara bukan Kepala Pemerintahan dan MPR-RI itu sendiri.

1. Jabatan Presiden RI bisa dijabat oleh siapa saja sepanjang memenuhi kriteria persyaratan. Utamanya, siap melayani seluruh rakyat tanpa kecuali khususnya menjamin terwujudnya supremasi keadilan. Memastikan terlaksananya mandat setiap rakyat (keadilan ekonomi) sekaligus memastikan tidak terjadi benturan sesama mandat rakyat (keadilan hukum).

2. Presiden RI dipilih secara musyawarah mufakat melalui MPR RI sebagai lembaga tertinggi negara, forum tertinggi kedaulatan rakyat. Anggota MPR RI merupakan para ahli yang mewakili seluruh bidang kehidupan, mewakili seluruh bentuk atau ragam berserikat berkumpul (organisasi).

3.Anggota MPR RI tidak boleh disimplifikasi, diambil dari perwakilan partai politik dan golongan (yang ditentukan oleh penguasa) sebagaimana yang terjadi di era Orba atau sebatas perwakilan partai politik dan perwakilan daerah sebagaimana praktik di era reformasi. Pada intinya, MPR RI merupakan cerminan seluruh ragam golongan (small area) dari Sabang sampai Merauke, dari Mianggas hingga Pulau Rote.

4. Pengambilan keputusan penentuan Presiden RI oleh MPR RI melalui mekanisme musyawarah mufakat berbasis hikmah kebijaksanaan. Tidak ada opsi voting. Dalam voting, ada kebenaran yang dikalahkan. Dalam musyawarah, semua kebenaran diakui.

Kewenangan kepala negara bertindak atas nama negara menjadi benar secara logika karena dipilih oleh MPR RI, disebut mandataris MPR RI. Sedangkan MPR RI merupakan penjelmaan seluruh rakyat Indonesia (mandataris rakyat). Dengan demikian, Presiden RI merupakan kepala seluruh rakyat Indonesia. Terbentuk trias politica mayor kewenangan tertinggi a.n. negara, yaitu kedaulatan rakyat-MPR RI-Presiden RI dengan kedaulatan tertinggi negara ada di tangan rakyat by name by adrress, dengan forum tertinggi negara ada di tangan MPR RI dan kekuasaan tertinggi negara ada di tangan Presiden RI. Secara sturuktural dapat di paparkan sebagai berikut :

a.Kekuasaan tertinggi tindakan atas nama negara berada pada [{Kedaulatan rakyat, Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, dengan NAMA masing-masing dengan keputusan tertinggi berada pada MPR RI selaku lembaga tertinggi Negara RI} dan {Presiden RI (Kepala Negara RI dan hakim Pemutus Perkara pada Pengadilan/Mahkamah Negara RI (lembaga baru bagi Presiden RI sebagai hakim) dengan kekuasaan/ kewenangan Tidak Tak Terbatas/ BUKAN EKSEKUTIF)}]. Khususnya, Presiden RI BUKAN pemegang kekuasaan eksekutif.

b.MPR RI selaku Lembaga/ Majelis Tertinggi Negara RI (bukan hanya House of Lord). Sedangkan DPR RI sebatas lembaga Majelis Rendah (House of Commons) dengan koordinasi Wakil Presiden RI (baca: Perdana Menteri/ Patih).

c.Kekuasaan eksekutif dapat dilaksanakan oleh Wakil Presiden RI sebagaimana Perdana Menteri atau Patih dengan struktur sebagaimana Perpres No. 15 Tahun 2010.

d.Struktur Pemerintahan Negara RI sebagaimana peraturan perundang-undangan, ditambah [UPT Negara RI sebagai perwujudan satu pintu pelayanan rakyat by name by address, Lembaga Moneter berkedaulatan rakyat di tingkat Negara dan Pengadilan/ Mahkamah Negara RI (Lembaga Kehakiman tertinggi dengan Presiden selaku hakim)]

e.Struktur dan penyelenggaraan kekuasaan/ kewenangan Pemerintahan Negara RI (I-IV), berada di bawah kekuasaan/ kewenangan tertinggi negara yaitu kekuasaan/ kewenangan KEDAULATAN RAKYAT. Tidak boleh atas nama kekuasaan, ujug-ujug merugikan kedaulatan rakyat.

f.Bentuk NKRI sebagaimana dimaksud [Pembukaan, Pasal 1, Pasal 33 UUD 1945] adalah [JEJARING OTONOMI/ KEDAULATAN EKONOMI (fiskal/ moneter) Small Area dalam bingkai Kedaulatan Hukum Negara RI Supremasi Keadilan, Jejaring Participatory Local Social Economic Development (PLSED). Semacam Jejaring (Otonomi/ Kedaulatan) Tanah P(m)erdikan di bawah payung hukum Kedaulatan Kerajaan Majapahit. Pemerintah Pusat hanya sebagai penyelaras/ dinamisator.

g.Kekuasaan/ kewenangan eksekutif dipilih secara langsung (PEMILU), sedangkan penetapan Presiden RI (Kepala Negara RI) merupakan kewenangan MPR RI selaku lembaga tertinggi Negara RI satu paket menerima mandat kedaulatan rakyat segenap bangsa Indonesia.

Ketiga Mandat Ekonomi Pancasila wajib bersifat taktis implementatif (operasional), mengingat sifat uang yang menguasai hajat hidup orang banyak. Artinya, mandat Ekonomi Pancasila haruslah berupa sistem yang lebih canggih dari Sistem Ekonomi Moneter BI. Sistem Moneter Ekonomi Pancasila tidak menghilangkan Sistem Moneter berbasis bunga melainkan mewujudkan pengelolaan uang rupiah tanpa bunga di tingkat negara. Di level privat, BI tetap bisa mengelola moneter berbasis bunga namun sudah tidak boleh menggunakan nama uang rupiah. Alasannya, sedari awal, konstitusi Indonesia mengamanatkan uang rupiah sekedar pengukur nilai, bukan komoditas yang tertera pada Bagian Penjelasan Bab VII Hal Keuangan UUD 1945.

Keempat, Mandat Ekonomi Pancasila a quo wajib memuat proses cut off pengelolaan uang rupiah yang selama ini berbasis anggunan berbunga berganti menjadi uang rupiah tanpa bunga. Hal ini mengakibatkan beberapa penyesuaian baik di level negara maupun di level privat terutama pada berbagai kebijakan dan kerjasama yang melibatkan uang rupiah seperti utang pemerintah dan swasta, investasi serta transaksi yang melibatkan uang rupiah baik yang bersifat G to G, G to B, B to G maupun B to B. selain itu, proses pengalihan uang rupiah dari berbasis bunga menjadi berbasis tanpa bunga tidak boleh melanggar hukum internasional yang dapat berakibat munculnya sanksi embargo ekonomi bagi Indonesia.

Kelima, Rakyat yang mengajukan mandat Ekonomi Pancasila wajib bertanggungjawab, ksatria. Mengingat mandat Ekonomi Pancasila berdampak terjadinya revolusi baik di tingkat negara maupun di tingkat privat sebagaimana pada penjelasan sistem politik di atas.

Pembicaraan   dan  diskusi mengenai beberapa solusi Tindak Pidana Korupsi yang telah banyak disiasati baik itu melalui pencegahan dalam bentuk penanaman Integritas Diri calon Pejabat Pemerintah atas Pendidikan Anti Korupsi, Revisi UU No.30 Tahun 2002 tentang KPK menjadi UU No.19 Tahun 2019, perbaikan pelayanan publik dan pelayanan bisnis, seperti digitalisasi pelayanan publik bahkan UU Cipta Kerja yang diklaim sebagai strategi besar untuk memberantas korupsi melalui pencegahan, namun solusi yang di tawarkan tersebut belum mampu menurunkan bahkan menghilangkan perilaku Tindak Pidana Korupsi sampai saat ini.

Hal ini disebabkan solusi tersebut tidak bersamaan dengan Perubahan Paradigma terhadap Sistem Politik satu paket Sistem Keuangan Nasional sebagai problem dasar utama tindak pindak korupsi  hari ini.
Maka, Perubahan Sistem Politik berupa Pemilu Terbuka berbasis Mandat Rakyat by Name by Adress  satu paket Perubahan  Keuangan Nasional yang beralih dari Sistem Ekonomi Perbankan berbasis Bunga/Pinjaman menjadi Sistem Ekonomi Pancasila berbasis Tanpa Bunga sesuai amanah UUD 1945  berdasarkan pemaparan di atas merupakan jalan yang patut bahkan wajib untuk diupayakan. Tidak ada langkah lain, selain perubahan paradigma di atas yang dapat di tempuh untuk mereduksi atau menghilangkan perilaku tindak pidana korupsi hingga pada akar masalah utamanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun