Mohon tunggu...
Komalku Indonesia
Komalku Indonesia Mohon Tunggu... Freelancer - Komunitas Menulis

(Komunitas Menulis Buku Indonesia) "Berjuang demi Bangsa lewat Kata kata"

Selanjutnya

Tutup

Diary

Menatap Ngilu Kebiri Literasi pada Guru Agama Anggota Komalku Ini

3 November 2021   03:44 Diperbarui: 3 November 2021   05:37 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Taman Kemesraan Pujon

 Dia berjuang menulis puisi, mengumpulkan, membukukan. Diajukannya pada orang penting, mendapat apresiasi. Begitu dapat reward, dia tidak kebagian. Alasan yang diberikan sungguh tak masuk akal. Bagaimana bisa pemimpin bisa bertindak sedholim ini pada anak buah?

Saya tergugu mendengar perkataanya. Dia, guru di sebuah sekolah negeri, pegawai negeri yang mempunyai minat tinggi pada seni, juga literasi. Guru agama seperti saya, miskin prestasi, kata sejawatnya. Anggota Komalku, Komunitas Menulis Buku Indonesia.

Hanya passion yang membuatnya hidup, bersemangat terus mengajar, meski kesempatan maju sering dikebiri. Seperti yang sedang dia alami saat ini.

Oktober, bulan bahasa, bulan sumpah pemuda. Permulaan tanggal saya dihubungi dia, kawan saya sesama guru agama yang mengajar di sebuah sekolah negeri. Menunjukkan karya-karya puisi, berkisah kecintaan pada bumi pertiwi, pada anak-anak didiknya agar terus berkarya, menjadi warna indah negeri tercinta ini.

"Bu, saya ada puisi cuma 35 biji. Bisa dibuat buku kurang apa tidak?"

"Monggo, saya lihat baitnya dulu ya?"

Seperti korektor, saya melihat, mengamati, mencermati, menikmati. Goresan kata-katanya indah sekali. Ada ruh yang meletup-letup di tiap judulnya. Pemilihan diksi, penggunaan majas, heroik. Kecintaan yang nyata pada negerinya, pada generasi penerus bila kami, guru agama ini mati.

Tidak mungkin saya mengebiri karya seperti ini. Untuk dibukukan sepertinya terlalu tipis, maka saya minta dia membuat lagi 10 judul, segera. Dengan ruh yang sama, satu tema. Agar pembaca terjaga euforianya. Itu saja maksud saya.

Singkat cerita, puisi jadi. Design cover dan layout diserahkan pada saya. Mencari inspirasi bukan perkara gampang. Berpikir keras menemukan agar dalam waktu singkat sudah jadi dengan hasil maksimal. Memburu momen Sumpah Pemuda yang tinggal hitungan jari. Buku harus jadi.

Seperti ada energi, draft berhasil selesai. Dia membaca, suka. Menghargai karya, dia cetak dengan kualitas eksklusif. Hard cover, kertas AP kalender.

Prototipe yang membuatnya terkagum sendiri.

"Bu, buku ini apa layak minta pengantar Kepala Dinas?"

"Sangat layak, silahkan diusahakan, akan saya masukkan."

Belum sampai usaha ke sana, ajudan wakil bupati yang dia kenal dihubungi. Mendapat saran, buku ini misal dibaca bapak Wabup pasti sangat suka. Beliau orang yang peduli literasi.

Nasib buku dan ajuan pengantar berpindah tangan, ke tangan stake holder, penguasa. Apresiasi tinggi diberikan, Wabup memberikan endorsement, bersedia datang melaunching buku tersebut tepat saat Sumpah Pemuda. Di sekolahnya.

Ijin kepada Kepala Sekolah, disupport. Tak ada kendala awalnya. Persiapan dilakukan, termasuk pementasan teater dengan baca puisi di dalamnya. Dia sendiri menjadi pelatih sekaligus koreografer.

Tak kenal lelah, segala persiapan dilakukan. Demi sukses acara, demi anak-anak yang sumringah bisa melampiaskan ekspresi rindu pementasan setelah sekian lama dipenjara pandemi.

Masalah mulai muncul beberapa hari sebelum pementasan. Guru-guru lain yang merasa lebih hebat, punya prestasi dan menulis buku lebih banyak unjuk diri. Mengapa dia yang diapresiasi, mengapa bukan mereka?

Pada saya dia menangis,
"Saya memang bukan apa-apa bu. Cuma guru agama yang gandrung literasi. Bukan bidang saya menulis membuat buku. Apalagi mengajukan diri dilaunching orang penting."

Menggelegak darah saya. Kata-kata "cuma" untuk sebutan guru agama mengandung kata meremehkan. Baiklah, jam pelajaran kami kalah dibanding mata pelajaran lain. Hanya 2 jam perminggu. Sementara Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris bisa 4 jam. Akan tetapi itu tidak berarti kami harus dipknggirkan, dikalahkan hingga ditekan ketika akan menunjukkan eksistensi.

Bukan untuk sekedar pameran, tetapi pembuktian kepada anak didik bahwa materi-materi pendidikan agama juga inhern dengan materi non spiritual. Misal pada puisi-puisi bu guru kawan saya itu. Ruh tasamuh, toleransi, spirit, optimisme sebagai bagian dari materi pendidikan agama nyata dalam bait-baitnya. Bisa menumbuhkan karakter yang diinginkan ketika membaca puisinya. Sebagai bukti, siswa suka, hingga mau mementaskan.

Sampai di sini saya berpikir, kalau hanya guru bahasa Indonesia yang boleh diapresiasi karya literasinya, alangkah ironi. Sempit makna dan pemahaman. Sebab karya tulis dalam bentuk apapun bagi saya adalah hak semua bidang, semua orang. Bagi saya guru bahasa Indonesia adalah penyampai tatanan, bagaimana menulis dengan benar. Titik. Tidak sampai intervensi melarang orang lain menghasilkan karya literasi.

Justru mereka harusnya bangga. Sebagai pendekar Bahasa Indonesia ada orang di luar bidangnya bisa berkarya. Kesuksesan sebagai maestro layak disandang. Guru yang baik, yang menghasilkan murid kreatif inovatif.

Cincing-cincing kecemplung, basah sekalian. Mundur berarti kegagalan, mengecewakan anak didik yang telah serius berlatih. Saya minta kawan saya mengikuti saja apa mau mereka. Yang penting acara tetap berlangsung.

Guru-guru hebat di sekolah itu minta apresiasi diberikan pada mereka juga. Acara ini tidak boleh hanya untuk launching satu buku karya teman saya saja. Tapi juga buku-buku mereka yang telah lebih dahulu terbit, meski tidak ada hubungannya dengan Sumpah Pemuda.

Kepala sekolah mendengar seksama dan mentaati kata-kata mereka. Pada hari H, 28 Oktober di sekolah itu, Wabup datang pagi. Selebrasi laiknya pejabat bertandang dihidangkan. Kalungan bunga juga sambutan.

Seperti yang diinginkan mereka, dalam sambutan, Kepala Sekolah justru menyebut 5 guru lain yang telah berkarya. Menunjukkan buku-bukunya. Bukan karya kawan saya yang bukunya diendorsement  Wabup.

Hal ini tentu ditanyakan, akhirnya kawan saya yang berbesar hati itu dipanggil, naik ke atas panggung. Bukunya dilaunching sendiri oleh Wakil Bupati.

Acara terus berlanjut, pentas teater dengan pembacaan puisi mewarnai. Menggetarkan dinding hati sang pejabat. Sekali lagi dia memberikan apresiasi. Anak-anak itu, diminta tampil mengisi acara pada HUT Kabupaten mendatang.

Sesuatu yang menggemuruhkan bangga di dada pementas. Anak-anak itu, juga teman saya tak menyangka, sajian sederhana dengan kostum tradisional jaman baheula itu berbuah penghargaan yang menurut mereka cukup membanggakan. Air mata bercampur tawa bahagia merona di wajah anak-anak dan kawan saya.

Tak berhenti di sana, uang pembinaan langsung spontan diberikan oleh pejabat tersebut, senilai 5 juta rupiah. Diterima langsung oleh Kepala Sekolah. Menjadi pangkal sedih gusar kawan saya kemudian.

Uang pembinaan itu, satu sen pun tidak diterima kawan-kawan saya. Oleh Kepala Sekolah dia dipanggil sendiri, memberitahu kalau uang itu diberikan kepada 5 kawannya yang lain. Guru berprestasi dan penulis buku yang lebih hebat.

Satu catatan diberikan pada kawan saya ketika memberitahu.

Jangan sampai orang lain tahu, bahkan suami sekalipun. Karena taruhannya adalah jabatan kepala sekolah dan kepala dinas.

Dia memberitahu saya karena tak kuat menahan ancaman dan cibiran. Padanya saya katakan bahwa sabar itu berat memang. Hanya orang yang diuji yang bisa dikatakan sabar. Tak mungkin predikat sabar disandangkan pada mereka tanpa melewati permasalahan.

"Sebagai guru agama, ini saatnya kita mempraktekkan sabar. Tak apa bu, Allah pasti punya rencana lain yang lebih indah untuk panjenengan."

Sepakat, kami akhiri pembicaraan dengan senyum paling memikat. Meski saya ngilu menatap kebiri ini. Sepanjang jari tidak dihentikan menari, kami akan terus berkarya, untuk anak-anak negeri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun