Mohon tunggu...
Widiyatmoko
Widiyatmoko Mohon Tunggu... Wiraswasta - Aviation Enthusiast | Aerophile | Responsible Traveler

Penggemar pesawat berbagai jenis dan pengoperasiannya serta perkembangannya melalui membaca. Airport of Birth : HLP Current Airport : DPS

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Aviasi dan Pariwisata serta "Multiplier Effect"-nya

12 Juni 2024   07:36 Diperbarui: 13 Juni 2024   11:00 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aviasi dan pariwisata merupakan dua industri yang dapat mempercepat laju pertumbuhan sebuah daerah khususnya daerah yang memiliki potensi pariwisata yang besar.

Dengan mengatakan itu artinya bahwa para pelaku usaha di kedua industri tersebut saling mendukung dan bersinergi agar percepatan laju pertumbuhan tersebut dapat menjadi kenyataan.

Namun apa yang terjadi ketika salah satu pelaku usaha dari salah satu industri tersebut melakukan langkah yang justru kontradiktif, dengan kata lain berpotensi memperlambat pergerakan pelaku perjalanan dan wisata?

Beberapa waktu yang lalu diberitakan oleh Kompas.com bahwa pimpinan maskapai flag carrier kita menuntut kenaikkan Tarif Batas Atas (TBA) tiket pesawat, langkah ini tentunya sangat kontradiktif dengan harapan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif kita yang sebelumnya berharap harga tiket pesawat dapat turun agar pergerakan pelaku perjalanan dan wisata dapat meningkat.

Salahkah langkah dari pimpinan maskapai flag carrier kita?

Maskapai penerbangan sebagai penyedia angkutan udara reguler dapat dikatakan sebagai trigger dari meningkatnya pergerakan para pelaku perjalanan dan wisata baik itu dari sisi jumlah maupun durasi mereka untuk melakukan perjalanan dan wisata.

Ilustrasi seperti ini, bila harga tiket dari Jakarta ke Bali Rp. 1,200,000 pp maka pelaku perjalanan dapat lebih lama berlibur di Bali dibandingkan jika harga tiketnya Rp. 1,800,000 pp, jika ada penghematan Rp. 600,000 per orang maka keluarga dengan dua orang anak akan memiliki dana lebih sebanyak Rp. 600,000 X 4 = Rp. 2,400,000.

Dengan uang ekstra ini maka dapat dialokasikan untuk penambahan waktu berlibur mereka ataupun menambah anggaran untuk pembelanjaan selama berlibur, penambahan uang ekstra tersebut merupakan potensi penambahan pendapatan bagi daerah atau destinasi wisata.

Akan tetapi jika beban biaya yang harus dikeluarkan oleh para pelaku perjalanan dan wisata meningkat karena harga tiket pesawat naik maka akan selalu ada kemungkinan beberapa dari mereka akan mengurungkan rencana perjalanan dan wisatanya atau juga mengalihkan tujuan perjalanan dan wisatanya.

Jika ini terjadi maka pendapatan daerah sebagai tujuan semula dari para pelaku perjalanan dan wisata tidak terjadi ataupun berkurang sebagai akibat pengalihan destinasi dari para pelaku perjalanan dan wisata tersebut.

Mari kita melihat dari sisi multiplier effect dimana dampak dari pembelanjaan yang dilakukan oleh para pelaku perjalanan dan wisata tidak hanya dinikmati oleh para pengusaha lapis pertama seperti hotel, cafe dan restoran saja tetapi juga pada lapis kedua dan seterusnya.

Saat tiba di bandara tujuan mungkin ada beberapa pelaku perjalanan dan wisata membutuhkan jasa transportasi ke tempat yang mereka tuju misalnya penginapan atau tempat pertemuan dengan mitra bisnisnya, dalam hal ini para pelaku usaha lokal di bidang transportasi menjadi yang pertama mendapatkan multiplier effect.

Selain pengusaha transportasi, para penyedia akomodasi juga menjadi salah satu yang pertama (langsung) menikmati dampak kedatangan pelaku perjalanan dan wisata dengan terisinya kamar kamar mereka.

Dari penyedia akomodasi dampak terisinya kamar mereka adalah kepada para penyedia dukungan dari para penyedia akomodasi yaitu para pelaku usaha pendukung misalnya pengusaha yang melayani laundry untuk sprei dan handuk hotel, begitu pula para penjual bahan makanan, sayur sayuran, buah buahan dan lainnya yang memasok kepada pihak hotel.

Disini kita dapat mengatakan bahwa terjadi sirkulasi pendapatan bagi para penduduk lokal sebagai dampak pembelanjaan para pelaku perjalanan dan wisata pada perekonomian sebuah daerah, semakin banyak kedatangan pelaku perjalanan dan wisata semakin banyak pembelanjaannya dan pada akhirnya meningkatkan pendapatan para penduduk.

Dan jika pendapatan para penduduk lokal bertambah maka daya beli (purchasing power) mereka akan meningkat pula, mereka dapat membelanjakannya untuk kebutuhan selain dari kebutuhan pokok mereka.

Dari pembelanjaan mereka  dari pihak penjual yang juga merupakan penduduk lokal pula dan seterusnya alurnya yang pada akhirnya meningkatkan perputaran roda perekonomian daerah tersebut.

Namun ketika harga tiket pesawat sudah tinggi dan dapat mengurangi daya beli para pelaku perjalanan dan wisata maka berkurang pula multiplier effect yang akan dirasakan oleh para penduduk lokal tersebut.

Namun jika kita melihat dari sisi maskapai penerbangan sebagai salah satu sektor pada industri aviasi, kita mungkin dapat memahami latar belakang dari permintaan mereka untuk menaikkanTBA tiket pesawat, salah satunya adalah sebagai respons dari kenaikkan biaya operasional mereka seperti bahan bakar yang harganya naik atau karena fluktuasi kurs mata uang asing --, khususnya dollar -- dimana hal ini dapat membebani keuangan maskapai ketika diperlukan pergantian suku cadang pesawat yang harganya dipatok dalam dollar.

Namun kini pertanyaannya, apakah menaikkan TBA adalah opsi satu satunya yang dimiliki oleh maskapai untuk mengantisipasi kenaikkan biaya operasional mereka akibat fluktuasi mata uang?

Bagaimana dengan opsi melakukan efisiensi pada usaha mereka terutama yang bukan merupakan inti usaha mereka atau selain dari penyediaan kursi penerbangan, juga biaya biaya lain yang sebenarnya dapat dilakukan efisiensi?

Sebagai badan usaha, maskapai juga biasanya memiliki anak perusahaan yang bergerak di bidang usaha berbeda dengan perusahaan utamanya, namun ketika anak perusahaan tersebut tidak atau kurang dapat memberikan keuntungan kepada perusahaan utama maka akan justru dapat berpotensi mengganggu usaha utama.

Beberapa maskapai dunia telah menggabungkan anak perusahaan mereka yang juga berupa maskapai dengan maskapai utamanya sehingga efisiensi dalam hal manajemen armada dapat dilakukan.

Kenaikkan TBA justru akan meningkatkan harga tiket pesawat selama para maskapai mematok harga di kisaran middle up. Ilustrasinya seperti ini, misalnya batas tarif untuk penerbangan Jakarta ke Denpasar antara Rp. 550,000 ke Rp. 1,400,000 akan tetapi semua maskapai mematok pada kisaran Rp. 900,000 keatas, tidak ada yang mematok di antara Rp. 600,000 ke Rp. 800,000.

Dengan dinaikkan TBA maka maskapai pun akan menaikkan dari Rp. 900,000 ke Rp.1,000,000 lebih dan bisa hingga mendekati ke TBA baru, alhasil semakin sulit mendapatkan tiket yang murah bagi para pelaku perjalanan dan wisata.

Dari sisi regulator, ada baiknya Batas Tarif ini ditinjau kembali terutama dengan mengingat kaitan erat antara aviasi dan pariwisata dimana kedua industri perlu berada di arah yang sama untuk dapat saling mendukung, dan jika perlu berlakukan dihapuskan serta kembali pada sistem sub class pada tiket pesawat seperti yang diterapakan dahulu.

Jika dalih penerapan Batas tarif dimaksudkan agar tidak ada maskapai yang mematok harga sangat rendah sehingga dikhawatirkan dapat memengaruhi kemampuan (finansial) maskapai dalam hal perawatan pesawat, ada baiknya dicari alternatifnya seperti dengan peningkatan pada pengawasan oleh pihak regulator terhadap maskapai.

Persaingan murni antar maskapai tidak terjadi di negara kita ini, dan di kala maskapai kita tidak bisa berkompetisi murni di jalur internasional maka akan selalu ada kemungkinan harga tiket penerbangan antar bangsa khususnya di kawasan ASEAN akan lebih murah, akibatnya para pelaku perjalanan wisata akan lebih memilih berlibur ke mancanegara.

Dengan menciptakan persaingan murni antar maskapai maka mekanisme pasar akan membuat para maskapai dapat meningkatkan pelayanannya dengan tetap memprioritaskan keselamatan.

Pihak regulator juga perlu menyadari bahwa jumlah pelaku perjalanan dan wisata akan meningkat terus dan untuk mengantisipasinya bukan dengan menaikkan TBA yang berpotensi menaikkan harga tiket, penambahan pesawat memungkinkan penambahan frekuensi penerbangan dan pembukaan rute baru.

Jika maskapai yang sudah beroperasi selama ini tidak dapat menambah armadanya sesuai dengan kebutuhan maka opsi lain adalah lahirnya maskapai baru yang lebih banyak.

Kita memang tidak bisa menutup mata bahwa perjalanan dan wisata sudah menjadi kebutuhan kita semua, tidak heran pula jika kursi kursi pesawat terisi penuh terutama ketika musim libur, dengan kata lain berapapun harga tiketnya, jumlah pergerakan pelaku perjalanan dan wisata --khususnya domestik -- tetap terlihat tinggi.

Akan tetapi kita juga tidak menutup mata pada kemungkinan pengalihan tujuan atau destinasi oleh para pelaku perjalanan dan wisata yang berarti multiplier effect yang sebenarnya dapat terjadi menjadi jauh dari kenyataan

Oleh karenanya industri aviasi dan pariwisata tidak bisa berlawanan arah -- tidak hanya dalam hal mengakomodasi pergerakan pelaku perjalanan dan wisata saja tapi juga meningkatkan pergerakannya agar multiplier effect di daerah dapat meningkat pula.

Hanya saja kita perlu juga memahami operasional maskapai khususnya bila ada biaya operasionalnya rentan terhadap kondisi global baik itu pada politik dan ekonomi, contohnya minyak mentah sebagai dasar dari bahan bakar serta suku cadang pesawat.

Namun jika kerentanan ini memang sudah diidentifikasi oleh maskapai, opsi memperbanyak penerbangan internasional dengan menerima hasil penjualan tiket dalam bentuk mata uang asing dapat menjadi solusi.

Langkah untuk mengantisipasi segala kondisi yang dihadapi tidak selamanya dengan menaikkan harga tiket, opsi lain seperti menekan biaya lainnya serta pengurangan beban dari anak perusahaan bisa didalami.

Jangan sampai akibat dari kenaikkan harga tiket domestik membuat para pelaku perjalanan dan wisata domestik beralih menjadi pelaku perjalanan dan wisata internasional karena harga tiketnya bisa lebih murah.

Karena dengan lebih banyak yang ke mancanegara karena tiket lebih murah, potensi multiplier effect yang sebenarnya bisa dinikmati oleh beberapa tujuan wisata akan dinikmati oleh penduduk bangsa lain dari pembelanjaan pelaku perjalanan dan wisata kita.

Mahir di kandang sendiri jangan sampai membuat maskapai lupa bahwa maskapai adalah perusahaan penyedia angkutan udara, dan jika dalam konteks nasional ada penambahan perannya yaitu memberikan kontribusi pada pertumbuhan perekonomian nasional melalui pergerakan pelaku perjalanan dan wisata.

Salam Aviasi dan Pariwisata.

Referensi :

https://money.kompas.com/read/2024/05/23/090000326/bos-garuda-bersikukuh-minta-kemenhub-revisi-tba-tiket-pesawat

https://travel.kompas.com/read/2024/05/06/200000527/penerbangan-bertambah-sandiaga--tiket-pesawat-mahal-sudah-mulai-tertangani

https://www.howandwhat.net/tourism-multiplier-effect/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun