Mohon tunggu...
Widiyatmoko
Widiyatmoko Mohon Tunggu... Wiraswasta - Aviation Enthusiast | Aerophile | Responsible Traveler

Penggemar pesawat berbagai jenis dan pengoperasiannya serta perkembangannya melalui membaca. Airport of Birth : HLP Current Airport : DPS

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Benarkah Jepang Gagal dalam Pengembangan Pesawat?

21 November 2023   20:44 Diperbarui: 22 November 2023   20:35 451
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nama besar seperti Mitsubishi dan Kawasaki mungkin sudah tidak asing di telinga kita karena produk-produk mereka berupa kendaraan roda empat dan roda dua banyak terlihat di jalan jalan, akan tetapi kedua nama besar ini dahulunya adalah dua dari beberapa perusahaan yang memproduksi pesawat.

Iya benar, Jepang yang kini kita kenal dengan industri otomotif dan elektronik nya dahulunya juga memproduksi pesawat terutama pesawat militer dalam berbagai jenis mulai dari pesawat tempur hingga pesawat pembom.

Semasa Perang Dunia 2 dapat dikatakan penggabungan antata kekuatan laut dan udara jepang sangat kuat dengan kapal kapal laut perang mereka termasuk kapal kapal induk yang dijadikan sebagai pangkalan bagi pesawat pesawat militer Kekaisaran Jepang.

Serangan Pearl Harbor oleh ratusan pesawat tempur dan pembom Jepang tidak hanya memenangkan Jepang dalam pertempuran tersebut tapi juga melumpuhkan kekuatan laut Amerika yang saat itu ditempatkan di satu "keranjang".

Kemenangan Jepang pada serangan ini melibatkan lebih dari 400 unit pesawat dalam berbagai jenis, jumlah tersebut setidaknya menggambatkan begitu besarnya industri pesawat Jepang ketika itu.

Pabrikan pesawat mulai dari Mitsubishi Heavy Industries, Fuji, Nakajima Aircraft Company, Kawasaki hingga Yokosuka adalah pabrikan pabrikan yang banyak memasok pesawat militer kepada militer Kekaisaran Jepang ketika itu.

Akan tetapi usai kekalahan Jepang di Perang Dunia 2, Industri pesawat dari negara matahari terbit ini sepertinya justru semakin redup dan dalam perkembangannya hingga kini industri elektronik dan otomotif menjadi dua industri andalan Jepang.

Padahal peralatan elektronik sebenarnya juga terdapat di instrumen pesawat sehingga Jepang sebenarnya mampu membangun pesawat, termasuk pesawat penumpang dan kargo (airliner), akan tetapi pesat nya industri elektronik tersebut sepertinya tidak menyentuh industri aviasi nya baik dalam memproduksi pesawat militer dalam berbagai jenis maupun sipil,

Setidaknya ada satu pesawat penumpang dan kargo yang pernah diproduksi oleh Jepang setelah perang dunia 2 adalah NAMC YS-11 yang terbang pada tanggal 30 Agustus 1962 serta mulai terbang secara komersial pada bulan April 1966 oleh maskapai Toa Airways.

Pesawat YS-11 adalah besutan Nihon Aircraft Manufacturing Corporation (NAMC) yang merupakan konsorsium yang didirikan oleh beberapa eksekutif dari Mitsubishi Heavy Industries, Fuji Heavy Industries, Sumitomo, ShinMaywa Manufacturing, Nihon Kogata Hikoki, Kawasaki Heavy Industries, dan Showa Aircraft.

Latar belakang kelahiran pesawat ini adalah adanya keinginan dari Pemerintah Jepang untuk membangun pesawat penumpang dan kargo (airliner) untuk menggantikan pesawat Douglas DC-3 yang melayani penerbangan jarak pendek pada rute domestik nya.

Beberapa pihak berpendapat bahwa penyebab dari redupnya industri pesawat di Jepang adalah karena syarat syarat yang harus Jepang turuti saat penandatangan "the surrender of Japan" dimana terdapat batasan bagi Jepang untuk membangun industri nya seperti kapal laut perang dan pesawat.

Sekilas mungkin ada benarnya dengan sedikitnya--bahkan nyaris tidak ada-- pesawat penumpang dan kargo yang benar benar merupakan hasil buatan dalam negeri Jepang.

Konsekuensi dari keadaan ini menyebabkan para pabrikan pesawat dan engineer penerbangan Jepang tertinggal dalam teknologi di bidang pesawat dan terlebih saat pengalihan dari pesawat bermesin baling baling ke mesin jet.

Namun pembatalan dari pengembangan pesawat Regional Jet mereka atau tepatnya bernama Mitsubishi Regional Jet (Space Jet) sepertinya kurang pas bila dikatakan penyebabnya adalah batasan pengembangan industri tersebut diatas, karena pesawat regional jet bukanlah pesawat dengan ukuran besar dan tidak pula pesawat dengan kemampuan di pertempuran.

Tekad negara matahari terbit untuk membangun pesawat sendiri sepertinya mulai terlihat pada tahun 2003 pemerintah menggelontorkan dana sebesar USD 420 juta untuk sebuah studi pengembangan pesawat airliner Jet untuk penerbangan regional nya.

Tekad ini setidaknya juga bisa menjadi penantang dari pesawat satu kelas seperti Sukhoi Super Jet 100 dan Comac ARJ-21 asal Tiongkok.

Pemerintah Jepang menunjuk Mitsubishi Heavy Industry (MHI) untuk memimpin studi ini selama lima tahun. Pada tahun 2008 pihak MHI memulai project pengembangan pesawat penumpang regional dengan nama Mitsubishi Regional Jet (MRJ) dengan juga mendirikan Mitsubishi Aircraft Company (MITAC) yang terdiri dari beberapa pemegang saham termasuk Toyota Motor Corporation, Mitsubishi Corporation, Sumitomo Corporation dan Development Bank of Japan, dengan MHI tetap menjadi pemegang saham terbesarnya.

Pesawat yang selesai dan keluar dari fasilitas pabriknya yaitu MRJ 90 pada tanggal 18 Oktober 2014, pesawat ini berkapasitas 86-96 orang sedangkan model satunya lagi adalah MRJ 70 dengan kapasitas 70-80 pax.

Pesawat (prototipe) MRJ 90 kemudian terbang pertama kali pada tanggal 11 November 2015 namun sebulan berikutnya Mitsubishi mengumumkan adanya keterlambatan penyerahaan pesawat kepada pemesan pesawat pertama, awalnya penyerahan pesawat kepada pemesan pertama yaitu maskapai ANA Airlines akan dilakukan pada triwulan kedua tahun 2017 namun mundur ke pertengahan tahun 2018.

Dilansir dari NIKKEI Asia, keterlambatan ini disebabkan adanya upgrade dan pembenahan pada bagian sayap dan roda pendaratan untuk tetap memprioritaskan keselamatan penerbangan.

Pada Januari 2017 keterlambatan diumumkan kembali dimana penyerahan pesawat baru akan dilakukan selambatnya tahun 2020.

Pada bulan Juni 2019 Mitsubishi mengganti brand Mitsubishi Regional Jet menjadi Mitsubishi SpaceJet, pergantian brand ini setidaknya berkaitan dengan pembelian program Commercial Regional Jet (CRJ) oleh Mitsubishi dari Bombardier pada tanggal 24 Juni 2019.

Namun keterlambatan terus berlanjut hingga pada bulan Februari 2023 pihak Mitsubishi membatalkan project Mitsubishi SpaceJet. Dengan dihentikannya program ini maka tekad Jepang untuk membangun pesawat penumpang terhenti pula langkahnya pengembangan pesawat regional jet buatan Jepang sendiri.

Presiden perusahaan sempat mengatakan bahwa "Mitsubishi Heavy "lacked the know-how" to develop passenger jets. "We are no longer sure of its business viability.

Bagaimana dengan latar belakang pembelian program CRJ dari Bombardier, apakah ini dijadikan ajang belajar bagi para engineer Jepang untuk meningkatkan pengetahuannya dalam memproduksi pesawat regional jet?

Mungkin ya mungkin juga tidak, dalam arti bahwa produk pesawat CRJ setelah dibeli oleh Mitsubishi akan menjadi salah satu brand dari Mitsubishi tanpa harus memulainya dari meja desain.

Jika memang demikian maka langkah Mitsubishi Heavy Industry ini sepertinya serupa dengan beberapa produk mereka lainnya seperti Mitsubishi F-2 yang merupakan pesawat F-16 versi Jepang dan dibangun oleh MHI dan Lockheed Martin Juga pada pesawat Mitsubishi H-60 yang dibangun bersama dengan Sikorsky dengan model dasar helikopter Sikorsky S70.

Namun dari semua ini bukan berarti Jepang gagal dalam mengembangkan pesawat buatannya sendiri, ini terbukti dari produk dari pabrikan lainnya asal Jepang yang berhasil seperti pesawat kargo militer Kawasaki C-2 yang merupakan pesawat kargo militer dan hasil pengembangan dari model sebelumnya yaitu Kawasaki C-1, begitu pula pada Honda melalui honda jet nya.

Hanya saja selain dari pembatasan pengembangan industry saat kekalahan Jepang (Perjanjian San Francisco), para pabrikan pesawat dahulunya hanya membuat pesawat berdasarkan permintaan dari pemerintah Kekaisaran Jepang saja.

Para pabrikan pesawat Jepang sejak itu tidak pernah membangun berdasarkan permintaan dari para maskapai dan pengguna lainnya sehingga tidak memiliki daya saing karena ketika akan masuk ke pasar sulit mengenali kebutuhan pasar sedangkan pasar penerbangan tidak hanya pada domestik Jepang saja tapi juga dunia.

Hal ini setidaknya terlihat dimana pesawat pada aviasi sipil belum berhasil sedangkan pada aviasi militer, Jepang membangunnya untuk kebutuhan militer nya yang berarti sama dengan dulu.

Juga mencari peminat pada pesawat militer nya seperti Kawasaki C-2 yang harus bersaing dengan Boeing Globemaster III (C-17) dan Airbus A-400M.

Pembatasan pengembangan industri berat juga membawa dampak pada pengetahuan dan pengalaman para engineer penerbangan Jepang pada industri pesawat yang dari tahun 1960 hingga kini sangat pesat.

Jepang bukan gagal tapi belum memiliki jam terbang yang banyak, jam terbangnya disini bukan jam terbangnya para pilot nya tapi para engineer penerbangan nya dan juga para pabrikan nya utama nya pada pengembangan dan pemasaran produk nya khususnya pada pesawat airliner

Referensi :

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun