Tantangan lainnya adalah bahan baku SAF yang berbeda-beda, ada yang berasal dari tumbuhan, hewan, dan waste dan semuanya perlu benar-benar diolah dengan ramah lingkungan pula -- dan perlu diingat bahwa beberapa bahan baku SAF adalah bahan yang sebelumnya telah diproduksi seperti cooking oil dan lemak hewani.
Dengan tingginya keperluan dalam ketersediaan SAF kelak berarti bahan bakunya juga perlu ditingkatkan secara masif, apakah ini keberlanjutan?
Sebagai ilustrasi jika SAF yang digunakan oleh Indonesia dibuat dari minyak sawit, maka berapa banyak kelapa sawit yang dibutuhkan untuk mendukung kegiatan aviasi di Indonesia per tahunnya?
Oleh karena itu jika ada beberapa pihak yang mengatakan bahwa industri aviasi adalah satu dari tiga industri yang sulit untuk menjadi industri yang sustainable ada benarnya.
Akan tetapi bukan proses pengembangan SAF yang penuh tantangan tersebut yang menjadi satu-satunya tantangan pada proses perjalanan industri aviasi menuju sustainability.
Juga bukan karena menurut salah satu pejabat di Boeing perlunya modifikasi yang harus diterapkan di desain pesawat terutama pada seal yang sudah bisa terjadi kebocoran akibat pengalihan dari bahan bakar fosil ke SAF.
Apa tantangan lainnya?
Jawabannya adalah status dari beberapa pengguna jasa transportasi udara.
Mungkin kita pernah melihat postingan dari salah satu public figure kita yang sedang dalam penerbangan dengan pesawat jet pribadi untuk menjemput sang pasangannya, hal ini akan mengantarkan kita pada pertanyaan ini, apakah penggunaan pesawat jet pribadi tersebut merupakan preferensi atau karena kebutuhan?
Jumlah emisi yang dihasilkan oleh pesawat dengan jumlah penumpang sedikit akan lebih banyak dari pesawat dengan penumpang banyak, sebagai contoh penumpang pada kelas bisnis akan lebih banyak menghasilkan emisi dari kelas ekonomi.
Permasalahannya bukan pada pesawat jet pribadinya melainkan pada penggunaannya yang mungkin dapat tidak dilakukan, namun tetap dilakukan yang mungkin juga atas dasar status, karena apa?