Mohon tunggu...
Widiyatmoko
Widiyatmoko Mohon Tunggu... Wiraswasta - Aviation Enthusiast | Aerophile | Responsible Traveler

Penggemar pesawat berbagai jenis dan pengoperasiannya serta perkembangannya melalui membaca. Airport of Birth : HLP Current Airport : DPS

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Tantangan Menuju Aviasi Keberlanjutan

18 November 2023   22:22 Diperbarui: 20 November 2023   18:08 752
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pesawat terbang. (Sumber gambar: pxhere.com)

Setiap kali mendengar seruan yang berkaitan dengan keberlanjutan, umumnya kita mendengar imbauan untuk mengurangi penggunaan sumber daya berlebihan baik sumber daya alam maupun energi.

Pada transportasi termasuk moda transportasi udara, imbauan berupa pengalihan dari penggunaan bahan bakar fosil ke listrik dan lain sebagainya, namun benarkah dengan pengalihan tersebut keberlanjutan di dunia transportasi memang terlaksana atau hanya solusi jangka pendek jika kelak bumi tidak lagi memiliki stok bahan bakar fosil?

Atau juga apakah sekadar sebagai pembuktian oleh para pelaku usaha di industri aviasi kelak di tahun 2050 terhadap perjanjian Paris atau Paris Agreement 2015 melalui inisiatif industri aviasi yang mereka sebut dengan Fly Net Zero?

Mungkin dahulu penggunaan mesin uap ataupun batu bara yang menghasilkan polusi udara yang juga tinggi tidak menjadi kekhawatiran saat itu karena jumlah kendaraan dan penggunanya tidaklah sebanyak kini, oleh karenanya industri aviasi perlu bersiap diri.

Inisiatif pun sudah dimulai dengan Sustainable Aviation Fuel (SAF) yang terdiri dari dua jenis yaitu yang menggunakan bahan bahan alami dan organik seperti tumbuhan, hewan serta sisa olahan/sampah (waste) atau disebut dengan biofuel serta yang menyaring karbondioksida (captured CO2) di angkasa yang kemudian dijadikan energi atau yang disebut dengan electrofuels (e-fuel).

Namun untuk saat ini SAF yang berasal dari tumbuhan, hewan dan waste (biofuels) yang sudah banyak diproduksi dan digunakan.

Beberapa maskapai memang sudah menggunakan SAF secara 100% pada pesawatnya walau pada beberapa rute penerbangan, akan tetapi kapan tepatnya bahan bakar fosil akan tidak lagi digunakan pada semua pesawat di dunia baik sipil maupun militer, bersayap tetap dan bersayap putar, bermesin jet dan Turboprop?

Jawabannya adalah pada proses pengembangan SAF ini yang tidaklah semudah yang dibayangkan, begitu pula untuk mengetahui kapan SAF ini benar-benar secara penuh dan total menggantikan bahan bakar fosil kepada seluruh pesawat di dunia.

Menurut Financial Times, jika SAF akan menggantikan bahan bakar fosil kelak maka jumlah produksi SAF untuk menerbangkan seluruh pesawat di dunia adalah sebanyak 450 milyar liter per tahun sedangkan persentase produksi SAF saat ini masih di bawah 1% dibanding jet fuel.

Jumlah SAF ini terdengar sangat banyak tapi jika kita menyadari bahwa pertumbuhan industri aviasi akan berlipat lipat pula, setidaknya berdasarkan prediksi dari banyak pihak.

Tantangan lainnya adalah bahan baku SAF yang berbeda-beda, ada yang berasal dari tumbuhan, hewan, dan waste dan semuanya perlu benar-benar diolah dengan ramah lingkungan pula -- dan perlu diingat bahwa beberapa bahan baku SAF adalah bahan yang sebelumnya telah diproduksi seperti cooking oil dan lemak hewani.

Dengan tingginya keperluan dalam ketersediaan SAF kelak berarti bahan bakunya juga perlu ditingkatkan secara masif, apakah ini keberlanjutan?

Sebagai ilustrasi jika SAF yang digunakan oleh Indonesia dibuat dari minyak sawit, maka berapa banyak kelapa sawit yang dibutuhkan untuk mendukung kegiatan aviasi di Indonesia per tahunnya?

Oleh karena itu jika ada beberapa pihak yang mengatakan bahwa industri aviasi adalah satu dari tiga industri yang sulit untuk menjadi industri yang sustainable ada benarnya.

Akan tetapi bukan proses pengembangan SAF yang penuh tantangan tersebut yang menjadi satu-satunya tantangan pada proses perjalanan industri aviasi menuju sustainability.

Juga bukan karena menurut salah satu pejabat di Boeing perlunya modifikasi yang harus diterapkan di desain pesawat terutama pada seal yang sudah bisa terjadi kebocoran akibat pengalihan dari bahan bakar fosil ke SAF.

Apa tantangan lainnya?

Jawabannya adalah status dari beberapa pengguna jasa transportasi udara.

Mungkin kita pernah melihat postingan dari salah satu public figure kita yang sedang dalam penerbangan dengan pesawat jet pribadi untuk menjemput sang pasangannya, hal ini akan mengantarkan kita pada pertanyaan ini, apakah penggunaan pesawat jet pribadi tersebut merupakan preferensi atau karena kebutuhan?

Jumlah emisi yang dihasilkan oleh pesawat dengan jumlah penumpang sedikit akan lebih banyak dari pesawat dengan penumpang banyak, sebagai contoh penumpang pada kelas bisnis akan lebih banyak menghasilkan emisi dari kelas ekonomi.

Permasalahannya bukan pada pesawat jet pribadinya melainkan pada penggunaannya yang mungkin dapat tidak dilakukan, namun tetap dilakukan yang mungkin juga atas dasar status, karena apa?

Peningkatan status seseorang dapat mengubah pula pola atau gaya hidupnya, sehingga seseorang yang tadinya menggunakan kereta api untuk jarak dekat atau pun menggunakan maskapai berjadwal kini mengalihkan preferensinya untuk memenuhi kebutuhan mobilisasinya.

Penjelasannya seperti ini, jika dia tinggal di Jakarta dan menjemput pasangan hidupnya di Bali maka leg dari Jakarta ke Denpasar sebenarnya bisa dihindari dengan misalnya parkir pesawatnya di DPS atau bandara terdekat lainnya saat pasangannya tersebut berangkat, biaya parkir pesawat untuk jangka waktu seminggu pun masih lebih rendah dari biaya penerbangan saat menjemput. Selain itu juga selama pesawat parkir tidak menghasilkan emisi.

Pada kenyataannya, mereka melakukan dua kali penerbangan pergi-pulang dari Jakarta ke Bali atau empat leg yang sebenarnya bisa dilakukan hanya dengan satu penerbangan pergi-pulang atau dua leg.

Ini kembali lagi kepada pertanyaan pada awal artikel ini, apakah kita semua mengikuti imbauan untuk mengurangi penggunaan sumber daya alam dan energi yang berlebihan, karena jika kita masih membeli barang yang masih diproduksi dengan proses yang tidak sustainable atau menggunakan sumber energi yang tidak diperlukan ataupun berlebihan, maka ada hal yang mendasar dari kita yang perlu diubah.

Dengan kata lain, apakah kita bisa menjadi penghuni bumi dan pengguna jasa layanan transportasi yang sustainable?

Jawabannya mungkin tergantung pada masing-masing, juga mungkin akan sulit ketika kita masih belum bisa memisahkan status kita dari kehidupan kita yang memang meningkat serta dengan melihat keadaan bumi itu sendiri.

Industri aviasi dalam sejarahnya memang telah mengubah dunia namun kini aviasi perlu berubah untuk menciptakan dunia yang lebih baik, dan untuk mencapai itu diperlukan juga partisipasi dari para penggunanya...kita.

Jika kita bisa memulai menjalani kehidupan di rumah dengan cara yang sustainable dan juga ketika dalam liburan, kita juga bisa melakukannya pada perjalanan (transportasi).

Jika aviasi mau melakukan perubahan mendasarnya, bagaimana dengan kita sebagai penggunanya? Selain itu kita juga perlu bersiap diri dengan peningkatan harga tiket kelak, karena harga SAF bisa tiga hingga lima kali lebih tinggi dari jet fuel.

Salam aviasi.

Referensi:

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun