Jika budayanya sama, maka setidaknya akan merefleksikan pola pemeliharaan yang sama, juga mungkin menggunakan fasilitas dan SDM yang sama yang dimiliki oleh grup atau holdingnya, outputnya bisa jadi berupa gangguan yang serupa pada setiap pesawatnya.
Misalnya ada pada inspeksi berkala yang mungkin adakalanya terlewati seperti inspeksi pada sistem sirkulasi udara, APU dan lainnya sehingga bisa jadi pesawat-pesawat mereka mengalami gangguan yang serupa, hanya saja waktunya berbeda-beda.
Akan tetapi bila kita melihatnya sebagai strategi perusahaan untuk mempertahankan pangsa pasarnya, maka langkah membeli baju baru (tapi bekas) sangat patut diapresiasi, karena bisa dibayangkan bila terjadi kekurangan pesawat pada rute dan frekuensi penerbangan.
Mobilitas pelaku perjalanan bukan satu-satunya yang terpengaruh akan tetapi juga distribusi bahan bahan pokok antar pulau yang selalu mengandalkan transportasi udara, kelangkaan barang dapat terjadi dan mendorong roket booster dari harga harganya.
Hanya saja ada satu hal yang mungkin bisa kita dalami adalah mengapa hanya ada satu pihak saja yang menangkap momen di mana ada obralan pesawat dari pihak leasing selama pandemi, apakah bisnis maskapai tidak dilihat sebagai bisnis dengan prospek yang secerah langit biru?
Bila ada pihak lain yang notabene bukan pemain yang sama atau pun lama, corak dunia penerbangan kita tidak hanya terlihat pada livery dari masing-masing maskapai tapi juga pelayanan dan hal-hal lainnya yang tercermin dari budaya maskapai masing-masing.
Salam Aviasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H