Selama pandemi berlangsung, semua maskapai didunia terkena dampaknya, hanya saja takaran dampaknya bervariasi dari satu maskapai dengan lainnya, ada yang harus gulung tikar, ada yang mengembalikan beberapa pesawatnya ke pihak leasing dan lainnya.
Di saat yang sama, kesempatan memulai usaha maskapai terbuka lebar, namun bukan karena sedikitnya pesawat untuk mengakomodasi lonjakan penumpang akan tetapi karena pihak leasing mengalami over stock unit pesawat akibat pengembalian pesawat oleh maskapai.
Hukum ekonomi pun terjadi di pasar, di mana kelebihan stock dengan minimnya permintaan berarti harga jual diturunkan, momen ini ditangkap oleh beberapa pihak yang ingin memulai bisnis maskapai.
Walau terdengar sedikit aneh karena memulai usaha di saat semua pintu gerbang udara di seluruh negara didunia ditutup, akan tetapi bagi pemain lama alias maskapai yang sudah beroperasi, ini adalah kesempatan atau opportunity karena tidaklah sering pihak leasing "mengobral" pesawat pesawat mereka.
Pemain lama bisa berarti juga maskapai yang mengembalikan pesawatnya ke pihak leasing karena tidak lagi mampu membayar biaya sewa/leasing, sudah tentu maskapai yang menangkap obralan pesawat dari pihak leasing ini tidak menggunakan nama maskapai saat ini tapi dengan nama lain atau mengklaim dari "grup" berbeda.
Sampai di sini pasti kita dapat melihat contoh maskapai yang muncul di tanah air saat pandemi masih berlangsung dari deskripsi di atas bukan?
Ya, pandemi memang tidak hanya membuat banyak maskapai gugur saja tapi juga melahirkan "maskapai baru tapi lama".
Walau adakalanya terdapat perbedaan klaim mengenai satu manajemen ataupun terpisah dari pihak maskapai, publik pun bisa beranggapan bahwa maskapai tersebut tengah membeli baju baru, bukan berganti baju karena mereka masih menyimpan dan menggunakan baju (livery/maskapai) lamanya.
Salah kah mereka? Sama sekali tidak.