Pembangunan dalam berbagai bidang pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan laju perputaran roda perekonomian karena dengan adanya pembangunan maka kegiatan dalam berbagai bidang tersebut akan meningkat.
Pembangunan juga dapat meningkatkan kualitas kehidupan penduduk baik lokal maupun nasional mulai dari pembangunan fasilitas kesehatan, pusat perdagangan dan bisnis dan lainnya.
Pertanyaan yang mungkin sering kita ajukan adalah mengapa pembangunan terkadang justru menghadapi penolakan dari beberapa lapisan penduduk terutama di daerah dimana pembangunan akan berlangsung dimana terkadang pula menimbulkan bentrokan antara rakyat dan pemerintah melalui aparatnya ?.
Apakah benar rakyat sekitar yang hanya rakyat "biasa" atau grass root ini menjadi penghalang ?.
Rakyat "biasa" disini bukan mempresentasikan strata namun rakyat yang tidak memiliki power (powerless) karena selain tidak memiliki jabatan dan kewenangan juga tidak memiliki kekuatan hukum atas tempat hunian yang mereka tinggali secara turun menurun dalam keluarga mereka, juga belum banyak diberikan pemahaman terhadap hukum yang diberlakukan atas lahan, pemahaman yang sejatinya perlu dilakukan oleh pemegang kebijakan.
Kata "penghalang" juga tidak selamanya negatif atau tidak mendukung program pembangunan pemerintah dengan mengundang investor, akan tetapi mereka hanya berusaha mempertahankan lahan yang selama ini mereka telah garap secara turun menurun.
Ini masalah agraria yang sudah kerap terjadi terutama di pulau pulau yang tersebar di Negara Kepulauan Republik Indonesia yang kita cintai ini, utamanya lagi pada bukti dan status kepemilikan tanah dimana bentuk masalahnya dapat berupa tidak tersedianya bukti kepemilikan seperti sertifikat tanah dan juga sertifikat ganda atas tanah yang sama alias ada dua sertifikat atas satu bidang tanah.
Pertanyaan yang mungkin menjadi awal dari permasalahan agraria ini mungkin adalah milik siapa tanah tanah terutama di pulau pulau yang tersebar dari Sabang hingga Merauke setidaknya sejak Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya di tahun 1945 ?
Apabila milik negara, apakah pemerintah sejak itu pula sudah mendata dan menguatkan kepemilikannya secara hukum, dan apabila sudah pun, apakah kepemilikannya tersebut selalu di awasi oleh instansi yang memang khusus mengurusi bidang ini ?.
Pengawasan yang tidak kuat juga menyebabkan masalah lahan milik negara terjadi di perkotaan seperti permasalahan pengelolahan lahan di GBK baru baru ini, perpanjangan yang menyalahi aturan menyebabkan negara harus menunggu serta melalui proses hukum untuk mendapatkan kembali haknya.
Tanah di pulau pulau kita tidak sedikit jumlahnya dan sebagaian besar bukan merupakan pulau tak berpenghuni (inhabited islands), para penduduk di pulau pulau ini pun sudah menghuninya sejak generasi awal mereka dan bahkan mungkin jauh sebelum Indonesia merdeka.
Kita mungkin masih mengingat sengketa lahan yang terjadi di salah satu destinasi wisata di Lombok yang sudah sangat terkenal di dunia yaitu Gili Trawangan atau Gili T dimana lahan seluas 75 hektar menjadi pemicunya.
Penduduk lokal telah merintis pariwisata di Gili T dari mulanya hanya berupa hutan belantara menjadi kawasan wisata tercantik didunia, hanya saja mereka merintisnya di lahan dengan status Hak Pengelolahan Lahan (HPL) dan bukan Sertifikat Hak Milik (SHM) sejak tahun 1993 (Kompas.com 23/2/23).
Namun memang kita selalu perlu melihat permasalahan dari dua sisi tapi begitu pula dalam menyelesaikannya, kita perlu melihat pada dua sisi sebagai bahan pertimbangannya serta mengevaluasi apa yang sebenarnya (dahulu), dimana letak awal permasalahannya.
Permen 17/2016 dan UU Agraria memang sudah menjelaskan segala ketentuan dan tata kelola lahan di pulau pulau dan pesisir, namun apakah kedua instrumen hukum ini telah disiram secara merata hingga akar rumputnya, dalam arti penduduk lokal sudah mengenal dan memahaminya.
Dalih Peningkatan Kesejahteraan
Tidak jarang terdengar bahwa pembangunan di sebuah daerah akan meningkatkan kesejahteraan penduduk lokal, namun apakah pergantian atas lahan sudah meningkatkan kehidupan mereka, bagaimana dengan mata pencaharian (livelihood) mereka dan generasi mereka selanjutnya ?
Apabila selama ini mata pencahariannya sebagai nelayan, apakah ada peningkatan dalam hal cara mereka melakukan pekerjaannya, misalnya yang mulanya kapal mereka hanya menggunakan mesin "ketinting" Â menjadi mesin tempel atau yang lebih berkualitas atau ukuran kapal yang menjadi lebih besar agar mereka dapat menampung hasil laut yang lebih banyak pula ?.
Relokasi hanya sebagai pergantian walau ada peningkatan pada kualitas bangunan, sedangkan mata pencaharian yang mereka jadikan penyambung hidup selanjutnya tidak meningkat ditengah pembangunan sebuah pabrik atau instalasi berpenghasilan besar.
Mudah mudah an tidak ada lagi sengketa lahan diantara negara dan penduduknya sendiri atas nama pembangunan walau pada dasarnya pembangunan adalah juga untuk penduduknya yang notabene adalah akar rumput di lahan yang akan dilakukan pembangunan.
Ibarat rumput itu sendiri yang bisa hijau subur jika dikelola dengan baik namun ketika akarnya diusik maka rumput mungkin tidak akan sehijau pada sebelumnya.
Mencari solusi bukan dengan mengusik akar rumput ataupun menempatkan penduduk lokal sebagai "penghambat", solusi juga bukan mencari kesalahan ataupun (tidak) menyadari kesalahan pada sebelumnya melainkan menciptakan keadaan dan kondisi yang semua pihak mendapatkan keadilan.
Investor memang mitra pembangunan yang perlu diakomodir, namun kesuburan akar rumput (baca: kesejahteraan rakyat) adalah merupakan kewajiban negara yang telah diamanatkan oleh Undang Undang.
Pembangunan tidak hanya dalam bentuk infrastruktur saja tapi juga sumber daya manusianya, lahan tidak hanya dapat diisi oleh bangunan tapi juga rerumputan yang hijau (baca: penduduk yang sejahtera sebagai dampak dari pembangunan) yang dapat menjadi pemandangan alam yang menyejukan bagi banyak pasang mata yang melihatnya.
Salam NKRI.
Referensi :
- regional.kompas.com/read/2023/02/23/062557578/ratusan-warga-gili-trawangan-geruduk-kantor-gubernur-ntb-unjuk-rasa-dan
- kompas.id/baca/nusantara/2023/04/12/ulah-mafia-tanah-bisa-menghambat-pendataan-lahan
- hukumproperti.com/hak-atas-tanah-pada-wilayah-pesisir-dan-pulau-pulau-kecil/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H