Tanah di pulau pulau kita tidak sedikit jumlahnya dan sebagaian besar bukan merupakan pulau tak berpenghuni (inhabited islands), para penduduk di pulau pulau ini pun sudah menghuninya sejak generasi awal mereka dan bahkan mungkin jauh sebelum Indonesia merdeka.
Kita mungkin masih mengingat sengketa lahan yang terjadi di salah satu destinasi wisata di Lombok yang sudah sangat terkenal di dunia yaitu Gili Trawangan atau Gili T dimana lahan seluas 75 hektar menjadi pemicunya.
Penduduk lokal telah merintis pariwisata di Gili T dari mulanya hanya berupa hutan belantara menjadi kawasan wisata tercantik didunia, hanya saja mereka merintisnya di lahan dengan status Hak Pengelolahan Lahan (HPL) dan bukan Sertifikat Hak Milik (SHM) sejak tahun 1993 (Kompas.com 23/2/23).
Namun memang kita selalu perlu melihat permasalahan dari dua sisi tapi begitu pula dalam menyelesaikannya, kita perlu melihat pada dua sisi sebagai bahan pertimbangannya serta mengevaluasi apa yang sebenarnya (dahulu), dimana letak awal permasalahannya.
Permen 17/2016 dan UU Agraria memang sudah menjelaskan segala ketentuan dan tata kelola lahan di pulau pulau dan pesisir, namun apakah kedua instrumen hukum ini telah disiram secara merata hingga akar rumputnya, dalam arti penduduk lokal sudah mengenal dan memahaminya.
Dalih Peningkatan Kesejahteraan
Tidak jarang terdengar bahwa pembangunan di sebuah daerah akan meningkatkan kesejahteraan penduduk lokal, namun apakah pergantian atas lahan sudah meningkatkan kehidupan mereka, bagaimana dengan mata pencaharian (livelihood) mereka dan generasi mereka selanjutnya ?
Apabila selama ini mata pencahariannya sebagai nelayan, apakah ada peningkatan dalam hal cara mereka melakukan pekerjaannya, misalnya yang mulanya kapal mereka hanya menggunakan mesin "ketinting" Â menjadi mesin tempel atau yang lebih berkualitas atau ukuran kapal yang menjadi lebih besar agar mereka dapat menampung hasil laut yang lebih banyak pula ?.
Relokasi hanya sebagai pergantian walau ada peningkatan pada kualitas bangunan, sedangkan mata pencaharian yang mereka jadikan penyambung hidup selanjutnya tidak meningkat ditengah pembangunan sebuah pabrik atau instalasi berpenghasilan besar.
Mudah mudah an tidak ada lagi sengketa lahan diantara negara dan penduduknya sendiri atas nama pembangunan walau pada dasarnya pembangunan adalah juga untuk penduduknya yang notabene adalah akar rumput di lahan yang akan dilakukan pembangunan.
Ibarat rumput itu sendiri yang bisa hijau subur jika dikelola dengan baik namun ketika akarnya diusik maka rumput mungkin tidak akan sehijau pada sebelumnya.