Kasus Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh KPK terhadap kepala Badan Search and Rescue Nasional (Basarnas) sebenarnya meninggalkan pekerjaan rumah, hanya saja tertimbun oleh pro dan kontra dari proses operasinya.
Pekerjaan Rumah yang dimaksud disini adalah pada Undang Undang yang berkaitan dengan kasus dan status dari subyek nya yang masih menyandang status prajurit aktif TNI dimana TNI memiliki peradilan militer yang terpisah dari peradilan umum/non militer.
Sedangkan kasus yang menjeratnya adalah kasus yang secara UU berlaku bagi semua warga negara termasuk pegawai negeri.
Namun mari kita melihat kasus ini dari sudut lain yaitu keberadaan atau penempatan perwira (tinggi/PATI) aktif TNI di badan/institusi pemerintahan seperti pada Basarnas, BNPB, BNN, Bakamla dan BIN.
Semua badan/institusi diatas berhubungan dengan pertahanan, keamanan, SAR, politik, Sekmil Presiden, intelijen negara, sandi negara, dewan pertahanan, lembaga ketahanan nasional.
Untuk penempatan perwira TNI aktif di luar struktur ini sudah sesuai dengan bunyi UU no. 34 tahun 2004 tentang TNI pada pasal 47 ayat 2.
Penempatan perwira aktif ini berarti mereka menduduki jabatan diluar struktur satuan dia berasal, apakah ini tidak mengganggu proses regenerasi kepemimpinan di satuannya ?
Jawabannya tidak -- justru penempatan mereka diluar struktur kesatuannya tersebut adalah sebagai hasil dari proses regenerasi kepemimpinan.
Ilustrasinya begini, regenerasi di militer biasanya berdasarkan tahun kelulusan Akmil, dan untuk pucuk pimpinan seperti kepala staf angkatan, regenerasi antara tahun kelulusan bisa antara 2-3 tahun , jadi bila kepala staf saat  ini merupakan angkatan 1990 maka penggantinya bisa antara angkatan 1992-1993 atau bahkan lebih muda.
Nah, jika dalam satu angkatan dengan tahun kelulusan yang sama terdapat lebih dari satu kandidat yang berpotensi menduduki jabatan puncak maka akan ada salah satu perwira yang tanpa jabatan di struktur, ini karena tidak ada dua jenderal berbintang empat di satu matra TNI yang sama, selain dari hanya ada satu jabatan bintang empat.
Solusinya ? penempatan diluar struktur TNI ketika tidak ada jabatan baik di matra TNI tempat dia berasal maupun di Markas Besar TNI misalnya.
Dan karena masa bhaktinya masih tersisa maka tidak ada dasar untuk mengajukan pensiun kecuali mengundurkan diri atau melakukan pelanggaran hukum militer.
Sebagai perwira aktif maka segala atribut militer tetap melekat di pundaknya baik kepangkatan maupun Code of Honor nya yaitu Sumpah Prajurit dan Sapta Marga serta lainnya termasuk proses  ketika yang bersangkutan melakukan pelanggaran baik pelanggaran pada hukum militer maupun umum.
Mungkinkah mereka pensiun dini ?
Jawabannya adalah, kemungkinan itu sama lebarnya dan sama terbukanya dengan pegawai non militer yang juga memegang jabatan lebih dari satu dimana seseorang bisa memegang jabatan di partai politik, akademik dan lainya dan jabatan di badan/institusi pemerintahan disaat yang bersamaan.
Mereka sebenarnya dapat dengan sukarela (willingness bukan voluntarily) mengajukan pensiun atau pengunduran diri dari jabatan satunya untuk lebih fokus pada satu jabatan lainnya.
Bagi perwira aktif yang melakukan pelanggaran hukum (umum) sebenarnya sudah bisa dikatakan bahwa yang bersangkutan sudah melanggar code of honor militer baik itu sumpah prajurit maupun sapta marga dimana proses penanganannya di peradilan militer karena hukum militer yang telah dilanggar.
Sedangkan untuk perdebatan mulai dari proses penangkapan hingga penanganan serta peradilan hukumnya terhadap pelanggaran hukum umum dimana subyek hukumnya juga tunduk pada hukum militer , ada baiknya kita perlu melihat kembali apakah sistem hukum kita sudah 'merah putih' bagai bendera kita.
Dalam arti, bendera itu bentuk dan warnanya sama (seragam), kibarannya pun di satu angkasa yaitu NKRI, jangan sampai antara UU satu dengan UU lainnya saling berbenturan atau menimbulkan celah hukum.
Salah satunya contohnya  misalnya, siapa saja yang termasuk pegawai negeri, apakah anggota kepolisian dan TNI termasuk didalamnya ?
Apabila memang termasuk maka memang subyek hukum yang merupakan pegawai negeri (non sipil) dan pelanggaraan hukumnya adalah hukum umum maka dapat diproses pelanggaran hukumnya di peradilan umum, serta bisa di peradilan militer atas pelanggaran code of honor militer misalnya.
Akan tetapi disisi lain bagaimana hak pilih pada pemilihan umum/daerah/presiden dari anggota kepolisian dan TNI yang bila memang merupakan pegawai negeri tetapi hak nya berbeda dengan pegawai negeri non militer ?
Singkatnya,  jangan sampai karena adanya celah dan argumentasi hukum tersebut justru memberi  stempel anggota masyarakat kelas satu atau apapun itu yang  menjauhkan TNI dari bagian dari rakyat dan yang dahulu bersama sama berjuang meraih kemerdekaan Indonesia.
Tidak ada satupun manusia yang luput dari kecurangan, kelalaian, Â kesombongan, superioritas, kekhilafan dan lainnya, siapapun mereka baik sipil maupun militer, begitu pula produk buatan manusia termasuk UU.
Ibarat sebuah pesawat yang secanggih dan dengan tingkat keselamatan yang tinggi sekalipn apabila manusia yang mengoperasikan lalai, maka itu akan membuka pintu pada sesuatu yang tidak inginkan.
Begitu pula Undang Undang yang dibuat agar manusia tidak melanggarnya, namun ketika manusia lalai dimana celah menjadi dampaknya maka UU dapat dijadikan sebagai argumentasi.
Saatnya me "merah putih" kan semua Undang Undang dan hukum kita agar kibaran nya sama, juga sama tajam tanpa membedakan status dan jabatan serta agar tidak sama semrawutnya dengan kabel kabel di jalanan.
Referensi :
- nasional.kompas.com/read/2023/08/04/06482401/tni-buka-suara-soal-prajurit-aktif-boleh-duduki-jabatan-sipil-tapi-saat
- nasional.kompas.com/read/2023/08/04/10432861/tni-ungkap-alasan-tak-terima-kpk-tetapkan-kepala-basarnas-jadi-tersangka
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H