Pengelolaan aset negara berupa tanah yang berlokasi di destinasi wisata adakalanya menimbulkan pernasalahan serta membuat negara harus beradu argumen secara langsung dengan rakyatnya sendiri.
Kasus seperti Kepulauan Widi dan Gili Trawangan (Gili T) mungkin hanya dua dari banyaknya kemungkinan permasalahan yang bisa ataupun sudah berlangsung lama namun belum terindikasi.
Lahan tidur di destinasi wisata sebenarnya dapat dikatakan sebagai opportunity cost pada pariwisata  karena jika lahan tersebut dikembangkan untuk kegiatan wisata maka akan membawa manfaat ekonomi kepada masyarakat sekitar dan bisa turun menurun.
Entah apakah hal ini sudah diidentifikasi atau belum oleh pemilik tanah, namun perlu disadari bahwa jika status "tidur"dibiarkan dalam waktu yang panjang dapat menciptakan permasalahan baru bila destinasi wisata tersebut mengalami kemajuan pesat dalam jumlah kunjungan wisatawan.
Hal ini karena akan lebih banyak penginapan yang dibutuhkan untuk akomodasi wisatawan yang bertambah dan lainnya, dan bila tidak ada lahan yang tersisa lagi maka lahan tidur bisa menjadi peluang bagi " beberapa" pihak.
Peluang disini bisa sebagai kesempatan tetapi juga bisa sebagai "playground" bagi oknum oknum atau pihak pihak yang melihat adanya celah untuk mendapatkan keuntungan (berlipat lipat).
Dan ketika komitmen pihak ketiga dalam perjanjian tak kunjung dipenuhi, staus tanah sebagai milik negara yang sebenarnya sudah menjadi object dari  kerjasama dengan pihak ketiga justru bisa menjadi sumber pendapatan dari pihak pihak yang sebenarnya justru tidak termasuk dalam perjanjian.
Keadaan dapat memburuk ketika kemudian adanya kemungkinan akan lahan tersebut disewakan dengan mematok harga sewa yang fantastis yang nilainya justru berkali kali lipat lebih besar dari nilai royalty dari pihak ketiga dalam perjanjian kerjasama.
Dan ironisnya keadaan ini tidak terdeteksi oleh pemilik tanah yang sah baik yang berada di pekarangannya sendiri majpun yang jauh sebagai pusatnya walau setelah sekian tahun lamanya.
Salahkah pihak pihak yang melakukan ini ?
Dari kacamata hukum iya karena mereka membangun ataupun menyewakan lahan yang bukan miliknya dan tidak berijin.
Namun dalam kacamata pengembangan pariwisata didaerah yang menjadi lokasi lahan tersebut adalah sebuah pencapaian yang tidak bisa dipandang sebelah mata.
Kenapa begitu ?
Karena pihak pihak baik yang menyewakan kembali ke pihak lain maupun mereka sendiri ini lebih memiliki komitmen baik dalam kata maupun aksi untuk membangun fasilitas wisata.
Hasil mereka itu nyata terlihat dan terbukti serta menyumbangkan devisa kepada negara melalui industri pariwisata selain juga memberikan manfaat ekonomi dan sosial kepada sekitarnya.
Namun ketika destinasi wisata tersebut berada di puncaknya atau bila ada suatu hal yang membangunkan "pemilik" lahan tersebut terbangun dari tidur panjangnya, masalah pun mulai muncul ke pernukaan.
Segala usaha dilakukan mulai dialog dengan masyarkat hingga membuka berkas berkas yang telah lama tersimpan di lemari berkas untuk melihat kembali perjanjian kerjasama dari pihak ketiga yang dahulu disepakati.
Semua ini waktu yang terbuang dan terbilang (sangat) terlambat walau akhirnya dapat diselesaikan.
Mengapa baru sekarang setelah destinasi wisata itu maju dan berkembang, mengapa baru terbangun setelah adanya bunyi alarm yang keras?.
Istilah lahan tidur kini sepertinya bisa bermakna dua yaitu ketika lahan dimiliki oleh perorangan atau entitas bisnis namun tidak dikembangkan serta berubah statusnya menjadi investasi.
Sedangkan makna satu lagi adalah lahan yang dimiliki oleh negara yang tidak dikembangkan atau dengan bekerjasama dengan pihak ketiga untuk mengembangkan namun belum terlaksana.
Dan jika kita melihat di destinasi destinasi wisata lainnya yang mungkin dilihat lebih potensial serta sudah menemukan investor "besar", lahan tidur tidak menjadi awal permasalahan.
Apakah kita sudah lupa bahwa membangun pariwisata adalah pembangunan nasional bisa dimulai dari komunitas terkecil di sebuah daerah, bisa pulau dan desa, begitupun manfaatnya baik ekonomi maupun sosialnya dimana komunitas terkecil tersebut yang pertama yang merasakan.
Untuk itu mereka lah yang sebenarnya sebagai garda terdepan bersama sama dengan pemerintah dalam merencanakan, mengembangkan, membangun dan menjalankan roda kegiatan wisata di derah mereka.
Jikapun investor hadir diantara mereka, alangkah baiknya juga bila terdapat partisipasi masyarakat lokal dalam perjanjian kerjasama sehingga ada pihak yang mengawasi proses realisasi perjanjian tersebut.
Lahan tidur yang dimiliki negara seharusnya dapat memberikan kesejahteraan kehidupan rakyat banyak, dan ketika pemiliknya ikutan tidur maka tertunda pula kesempatan untuk mensejahterakan rakyat banyak.
Jika kita masih memiliki banyak lahan tidur yang menyebar di seluruh daerah, maka beberapa kasus yang telah terjadi ini sepatutnya menjadi langlah awal pembenahan langkah dalam mengelola asset negara, karena selain memang harus dijaga, juga asset berupa lahan tidur di destinasi wisata memiliki potensi yang sama dengan potensi dari destinasi wisata itu sendiri.
Tidak ada pengawasan atau monitoring dalam permasalahan lahan tidur tidak hanya terletak pada tindak lanjut dari perjanjian saja tetapi juga pada penerapan pertaturan yang telah diterbitkan oleh pemerintah sehingga jika ada pelanggaran yang terjadi baru bisa teridentifikasi setelah sekian tahun lamanya.
Referensi :
- kompas.com/properti/read/2022/08/19/134906321/masyarakat-ntb-bisa-kelola-tanah-gili-trawangan-asal
- kompas.com/properti/read/2022/12/29/183000321/pemerintah-tegaskan-pulau-widi-adalah-kawasan-hutan-lindung
- kompas.tv/article/197456/warga-di-lahan-sengketa-gili-trawangan-inginkan-sertifikat-tanah-tapi-gubernur-ntb-tak-bisa-janji
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H