Namun dalam kacamata pengembangan pariwisata didaerah yang menjadi lokasi lahan tersebut adalah sebuah pencapaian yang tidak bisa dipandang sebelah mata.
Kenapa begitu ?
Karena pihak pihak baik yang menyewakan kembali ke pihak lain maupun mereka sendiri ini lebih memiliki komitmen baik dalam kata maupun aksi untuk membangun fasilitas wisata.
Hasil mereka itu nyata terlihat dan terbukti serta menyumbangkan devisa kepada negara melalui industri pariwisata selain juga memberikan manfaat ekonomi dan sosial kepada sekitarnya.
Namun ketika destinasi wisata tersebut berada di puncaknya atau bila ada suatu hal yang membangunkan "pemilik" lahan tersebut terbangun dari tidur panjangnya, masalah pun mulai muncul ke pernukaan.
Segala usaha dilakukan mulai dialog dengan masyarkat hingga membuka berkas berkas yang telah lama tersimpan di lemari berkas untuk melihat kembali perjanjian kerjasama dari pihak ketiga yang dahulu disepakati.
Semua ini waktu yang terbuang dan terbilang (sangat) terlambat walau akhirnya dapat diselesaikan.
Mengapa baru sekarang setelah destinasi wisata itu maju dan berkembang, mengapa baru terbangun setelah adanya bunyi alarm yang keras?.
Istilah lahan tidur kini sepertinya bisa bermakna dua yaitu ketika lahan dimiliki oleh perorangan atau entitas bisnis namun tidak dikembangkan serta berubah statusnya menjadi investasi.
Sedangkan makna satu lagi adalah lahan yang dimiliki oleh negara yang tidak dikembangkan atau dengan bekerjasama dengan pihak ketiga untuk mengembangkan namun belum terlaksana.
Dan jika kita melihat di destinasi destinasi wisata lainnya yang mungkin dilihat lebih potensial serta sudah menemukan investor "besar", lahan tidur tidak menjadi awal permasalahan.