Hari pertama sekolah baru tiba, dan Aran melangkah masuk ke kelas dengan penuh semangat. Namun, saat Ibu Oniel, guru bahasa Indonesia, memberikan tugas pertama yang harus diselesaikan, Aran merasakan kegelisahan yang menyelimuti dirinya. Tugas yang diberikan terasa sangat berat, dan tekanan dari orang tua serta harapan yang tinggi membuatnya semakin cemas. "Apa yang akan mereka pikirkan jika aku tidak bisa?" batinnya.
Minggu-minggu berlalu, Aran mulai berkenalan dengan teman-teman barunya, termasuk Delynn, gadis baru yang pindah dari kota sebelah. Mereka duduk bersebelahan di kelas, dan Delynn memiliki kepribadian yang ceria dan optimis. Mereka sering belajar bersama di perpustakaan, berbagi catatan, dan membahas pelajaran yang sulit. Namun, saat ujian akhir semester mendekat, Aran merasakan tekanan yang semakin meningkat.
Suatu malam, setelah belajar hingga larut, Aran terpaksa mengabaikan tugasnya untuk menghadiri acara keluarga yang penting. Di dalam hatinya, ia merasa bersalah. "Seharusnya aku bisa membagi waktu dengan lebih baik," pikirnya, tetapi semua terasa terlalu membebani. Keesokan harinya, ketika mengerjakan tugas di kelas, ia merasa kelelahan dan tidak fokus. Nilai ujian yang rendah pun semakin menambah rasa stresnya. Ketika hasilnya keluar, Aran mendapati nilainya jauh di bawah harapan. "Apa yang salah? Kenapa aku tidak bisa mendapatkan hasil yang baik?" Kegagalan itu menggerogoti kepercayaan dirinya.
Ketika Ibu Oniel memanggilnya dan mengatakan bahwa ia harus menyelesaikan semua tugas yang tertinggal sebelum liburan, Aran merasa terpuruk. "Aran, kami sudah memperhatikan bahwa kamu banyak tertinggal dalam tugas. Kamu harus menyelesaikan semua yang belum dikerjakan," ujarnya dengan nada serius. Rasa panik melanda Aran. "Semua tugas? Bagaimana mungkin? Ini akan sangat sulit!" pikirnya. Dengan berat hati, ia mengangguk dan berjanji akan menyelesaikannya.
Kembali ke tempat duduknya, teman-temannya memperhatikannya. "Ada apa, Aran?" tanya Delynn, yang selalu sigap membantu. "Aku harus mengerjakan semua tugas yang tertinggal setelah ujian. Ini sangat berat," jawab Aran, suaranya terdengar frustrasi. Delynn memandangnya dengan penuh empati. "Kamu tidak sendirian, Aran. Kita bisa bantu satu sama lain. Bagaimana kalau kita belajar bareng di perpustakaan?" tawarnya.
Meskipun Aran merasa sedikit lega, beban pikirannya belum hilang. Saat mereka bertemu di perpustakaan, Delynn melihat betapa cemasnya Aran. "Apa yang terjadi? Sepertinya kamu tidak bisa fokus," tanyanya. "Aku merasa tertekan dan tidak tahu harus mulai dari mana. Rasanya semua tugas ini seperti gunung yang harus kutaklukkan," jawab Aran, suaranya bergetar.
Delynn memberikan dorongan. "Tenang saja. Kita bisa bagi tugas. Apa yang paling sulit menurutmu?" tanya Delynn. "Matematika dan bahasa Inggris. Aku bahkan tidak bisa menyelesaikan soal-soalnya," jawab Aran. Delynn mengangguk, dan mereka mulai bekerja. Delynn menjelaskan beberapa konsep yang sulit, dan Aran berusaha sekuat tenaga untuk menyerapnya.
Namun, meski Delynn berusaha membantu, Aran merasa kesulitan untuk berkonsentrasi. Dia sering melamun, teringat akan harapan orang tuanya dan rasa takut akan mengecewakan mereka. "Bagaimana jika aku gagal?" batinnya. Hari demi hari, beban Aran semakin terasa berat. Ia merasa terjebak dalam lingkaran stres dan ketidakmampuan.
Suatu sore, Delynn melihat Aran tampak sangat lelah dan cemas. "Kamu baik-baik saja?" tanyanya khawatir. "Aku tidak tahu. Semua ini terlalu banyak. Aku merasa aku tidak bisa melakukannya," ungkap Aran dengan nada putus asa. Delynn mencoba menenangkannya. "Kita bisa melakukannya bersama. Aku percaya pada kamu. Mari kita atur waktu dengan lebih baik."
Aran mengangguk, merasa sedikit terhibur oleh dukungan Delynn. Mereka merencanakan jadwal belajar yang lebih teratur, membagi waktu antara belajar dan istirahat. Namun, meski telah merencanakan semuanya, Aran tetap merasa terjebak. Ketidakpastian dan rasa cemasnya terus mengganggu pikirannya.
Saat mendekati hari pengumpulan tugas, Aran merasa waktu semakin sempit. Dalam kepanikannya, ia mulai mengabaikan waktu istirahat dan berusaha bekerja lebih keras. "Aku tidak akan bisa menyelesaikan semua ini," pikirnya, kepanikannya semakin meningkat. Ia terbangun di tengah malam, menatap langit-langit kamar sambil memikirkan semua tugas yang belum terselesaikan. Meskipun ia merasa sangat lelah, pikirannya tidak bisa berhenti berputar.
Suatu malam, saat Delynn datang untuk belajar bersama, Aran terlihat sangat cemas. "Aran, kamu tampak tidak enak badan. Apa ada yang salah?" tanyanya. Aran menghela napas dalam-dalam. "Aku hanya merasa tertekan. Tugas ini terlalu banyak dan aku takut tidak bisa menyelesaikannya. Aku merasa semua harapan ada di pundakku."
Delynn memandangnya dengan lembut. "Kita bisa membagi tugas ini. Jangan ragu untuk meminta bantuan. Aku ada di sini untukmu." Aran mengangguk, tetapi rasa cemasnya tidak kunjung reda. Hari demi hari berlalu, dan meski mereka belajar bersama, Aran merasa tidak ada kemajuan yang signifikan.Â
Suatu sore, setelah belajar, Aran pulang ke rumah dengan perasaan campur aduk. Ia melihat ibunya yang sedang menunggu di ruang tamu. "Aran, bagaimana dengan tugas sekolahmu? Apa kamu sudah menyelesaikannya?" tanya ibunya. Rasa takut membuat Aran tidak bisa menjawab. Ia hanya mengangguk. Namun, ibunya menatapnya dengan cemas. "Jika ada yang salah, kamu bisa bercerita padaku."
Aran merasa berat hati. "Aku tidak ingin mengecewakan mereka," pikirnya. Malam itu, ia terjaga, terbayang raut wajah kecewa ibunya jika tahu nilai-nilainya. Ia merasa seolah-olah terjebak dalam labirin tanpa jalan keluar.
Hasil ujian yang keluar tidak membantu mengurangi kecemasan Aran. Nilainya jauh di bawah harapan, dan setiap kali ia melihat raut wajah kecewa orang tuanya, hatinya semakin berat. Meskipun Delynn selalu memberinya semangat, Aran merasa dirinya tidak cukup baik. "Aku harus bisa lebih baik," pikirnya sambil menatap tumpukan buku di meja belajarnya.
Hari pengumpulan tiba. Aran menyerahkan tugasnya, tetapi ia tahu itu tidak cukup baik. Ibu Oniel memandangnya dengan serius. "Aran, saya melihat kamu tidak memberikan yang terbaik. Ini bukan sekadar soal tugas, tapi tentang usaha dan komitmen." Aran merasa hancur. "Aku telah berusaha, tetapi ini semua terlalu berat," pikirnya, air mata mulai menggenang di matanya. Delynn melihatnya dan menenangkannya sambil berkata "Kamu sudah berusaha sebaik mungkin. Kita semua punya tantangan."
Setelah hari itu, Aran merasa bingung. Ia pulang dengan perasaan campur aduk. Meskipun Delynn berusaha menghiburnya, rasa putus asanya tetap ada. Di malam hari, Aran tidak bisa tidur. Ia terjaga memikirkan masa depannya dan apa yang akan terjadi jika ia terus gagal. "Apakah aku harus memberi tahu orang tuaku?" pikirnya. Rasa takut akan reaksi mereka mengganggu pikirannya.
Dalam keputusasaannya, Aran memutuskan untuk berbicara dengan Ibu Oniel. Keesokan harinya, setelah pelajaran selesai, ia mengumpulkan keberanian untuk mendatangi Ibu Oniel. "Bu, saya ingin berbicara tentang semua tugas yang tertinggal. Saya merasa sangat tertekan," ungkapnya dengan suara bergetar. Ibu Oniel memperhatikan Aran dengan serius. "Aran, penting untuk terbuka tentang perasaanmu. Kami di sini untuk membantumu. Jika kamu merasa kesulitan, jangan ragu untuk mencari bantuan. Tugas itu memang penting, tetapi kesehatan mentalmu juga sama pentingnya."
Kata-kata Ibu Oniel membuat Aran merasa sedikit lega. Ia menceritakan semua yang ia rasakan, tentang tekanan dari orang tua, ketidakmampuan untuk menyelesaikan tugas, dan rasa cemas yang terus menghantuinya. Ibu Oniel mendengarkan dengan penuh perhatian, lalu memberikan beberapa saran. "Mari kita buat rencana yang lebih realistis. Kamu tidak perlu menyelesaikan semuanya sekaligus. Kita bisa bagi tugas-tugas itu menjadi bagian yang lebih kecil."
Dengan bimbingan Ibu Oniel, Aran merasa ada harapan. Ia pulang dengan semangat baru. Aran dan Delynn kembali bertemu untuk belajar. "Aku
 berbiara dengan Ibu Oniel, dan dia memberiku beberapa saran. Kita bisa membuat rencana belajar yang lebih teratur," kata Aran dengan senyuman. Delynn mengangguk. "Bagus! Mari kita lakukan itu. Aku akan selalu di sini untuk membantumu."
Mereka mulai mengatur jadwal belajar dengan lebih baik, membagi waktu antara belajar, istirahat, dan bersenang-senang. Setiap hari, mereka menetapkan tujuan kecil yang bisa dicapai. Aran merasa lebih percaya diri dan mulai melihat kemajuan dalam belajarnya. Delynn juga memberikan dukungan moral yang sangat berarti. "Kamu bisa melakukannya, Aran! Ingat, setiap langkah kecil itu penting," ujarnya semangat.
Saat mendekati hari pengumpulan tugas, Aran merasa lebih optimis. "Ternyata semua ini tidak sesulit yang aku bayangkan," pikirnya. Dengan semangat baru, ia bertekad untuk menyelesaikan semua tugas dengan baik. Ia merasa lebih mampu menghadapi tantangan yang ada.
Hari pengumpulan tiba. Aran menyerahkan semua tugasnya dengan penuh rasa bangga. Ibu Oniel memandangnya dengan senyuman. "Bagus, Aran! Saya bangga padamu. Ini adalah hasil kerja keras yang nyata." Aran merasa harapannya mulai terwujud. Dia tidak hanya belajar untuk mengerjakan tugas, tetapi juga menemukan arti dari kerja keras dan persahabatan.
Dengan liburan yang sudah di depan mata, Aran merasa siap menghadapi tantangan berikutnya. Ia bertekad untuk tidak lagi merasa tertekan dan tidak akan menghindari tanggung jawab di masa depan. Pengalaman itu mengajarkan Aran banyak hal, dan kini ia merasa lebih kuat dari sebelumnya.
Setelah liburan, Aran dan Delynn melanjutkan persahabatan mereka. Mereka belajar bersama, berbagi pengalaman, dan saling mendukung. Suatu sore, saat mereka berjalan pulang bersama, Delynn berkata, "Aku senang kita bisa saling membantu. Kadang kita butuh dukungan dari teman, kan?"
Aran mengangguk setuju. "Benar. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika kamu tidak ada di sini." Delynn tersenyum. "Kita akan terus bersama, bukan? Kita bisa mengatasi segala tantangan yang ada."
Sejak saat itu, Aran tidak hanya berfokus pada tugas sekolah. Ia mulai menemukan minat lain, seperti menggambar dan menulis. Delynn pun mendukungnya. "Kamu harus ikut lomba menggambar atau menulis! Itu pasti menyenangkan," sarannya.
Aran berpikir sejenak. "Mungkin aku bisa mencobanya. Selama kita saling mendukung, aku rasa aku bisa melakukannya." Delynn bersemangat. "Ayo kita daftar bersama!"
Selama semester berikutnya, Aran dan Delynn aktif berpartisipasi dalam berbagai lomba. Meskipun mereka mengalami kekalahan, mereka tetap saling mendukung dan merayakan setiap pencapaian kecil. Aran belajar bahwa perjalanan adalah hal yang lebih penting daripada hasil akhir.Â
Akhirnya, saat hasil lomba diumumkan, Aran menerima penghargaan untuk karyanya. Ia merasa sangat bangga. "Aku tidak akan bisa mencapai ini tanpa kamu, Delynn," ungkapnya, penuh rasa syukur. Delynn tersenyum. "Kita melakukannya bersama. Ingat, semua ini tentang perjalanan kita sebagai teman."
Pengalaman itu mengajarkan Aran banyak hal tentang ketekunan, persahabatan, dan pentingnya meminta bantuan saat dibutuhkan. Ia belajar untuk tidak hanya mengejar kesuksesan akademis, tetapi juga menemukan kebahagiaan dalam prosesnya.Â
Dari situ, Aran dan Delynn semakin akrab, menjadikan satu sama lain sebagai sumber inspirasi. Mereka merencanakan untuk melakukan lebih banyak kegiatan bersama di luar sekolah, seperti mengikuti klub seni dan olahraga. Aran merasa beruntung memiliki teman sepertinya, dan rasa percaya dirinya semakin tumbuh.
Ketika tahun ajaran baru dimulai, Aran bertekad untuk tidak lagi merasa tertekan. Ia akan menghadapi setiap tantangan dengan kepala tegak dan semangat baru. Dengan dukungan Delynn dan pelajaran berharga dari pengalaman sebelumnya, ia merasa siap untuk menjalani petualangan baru di sekolah, menjelajahi setiap peluang yang datang. Aran kini menyadari bahwa meskipun ada banyak tugas dan tantangan yang harus dihadapi, perjalanan ini akan selalu lebih menyenangkan jika dijalani bersama teman yang benar-benar peduli.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H