Saat duduk bersila mendengar penjelasan tentang jemparingan, di depan ada busur. Angan melesat  jauh bagai anak panah, ke hutan Sherwood, Nottinghamshire Inggris.Â
Melihat Robin Hood menjelaskan dan memberi contoh, bagaimana cara membidik target agar anak panah tepat sasaran.Â
Lamunan itu buyar saat disodori selembar kain oleh salah satu rekan Kompasianer Jogja yang suka bercanda gojegan atau guyonannya mengingatkan kalau saat itu saya sedang duduk di salah satu sudut lapangan di wilayah Tamantirto, Kasihan Bantul.
Tepatnya di Sasana Jemparingan Wisanggeni, Gunung Aren, Dusun Ngrame, Tamantirto, Kasihan, Bantul. Untuk belajar memanah tradisional bersama persaudaraan atau paseduluran Jemparingan Langenastro, Yogya.Â
Paseduluran ini terbentuk di tahun 2012 pada bulan Maret di tanggal 18. Kesenangan, hobi atau kesukaan mempertemukan mereka dalam kelompok paseduluran jemparingan. Dari kata jemparing yang berarti anak panah. Atau panahan tradisional khas Yogya.
Ya, sodoran selembar kain, menyadarkan bahwa saya tidak berada di hutan Sherwood, Nottinghamshire, Inggris tapi di sebuah lapangan atau Sasana Jemparingan Wisanggeni Tamantirto, Bantul. Lembaran kain yang nampak masih baru dan mesti diikat di kepala sebagai sesuatu yang "wajib" dipakai. Saat melakukan Jemparingan.Â
Wajib karena jemparingan boleh dimaknai sebagai kegiatan olahraga sekaligus aktivitas yang sarat dengan nilai-nilai keutamaan perilaku manusia. Walau terkemas dalam bingkai tradisi budaya. Terasa sekali aktivitas ini bukan semata-mata mengolah raga, tetapi juga olah rasa.
Ikat kepala atau udeng menandai bahwa yang memakai mesti tahu dan mengerti atau mudeng, dalam bahasa Jawanya. Mudeng tak hanya sebatas pikiran atau berhenti di akal, kepala, otak. Tapi hati atau rasa juga harus mudeng atau mengerti dengan semua aktivitas yang dikerjakan atau dilakukan.Â
Seperti saat meletakkan anak panah ditengah busur, merentangkan tali pelontar anak panah. Menentukan target atau sasaran, membidik kemudian melepaskan anak panah agar mengenai sasaran yang diberi nama wong-wongan atau orang-orangan.
Semua mesti ada kesatuan pengertian atau pemahaman yang utuh antara raga dan rasa. Target wong-wongan sejatinya bukan sasaran semata. Target tersebut mengingatkan akan diri, manusia memiliki berbagai kelemahan di samping kelebihan. Bukan orang lain atau wong liyo mesti jadi obyek bidikan namun diri sendiri. Bagaimana mesti mengalahkan diri, ego, keinginan, harapan yang adakalanya terlalu mengawang-awang jauh. Entah dimana. Bahkan adakalanya tidak logis.
Maka memanah dengan duduk bersila, melipat kedua kaki, bagi yang tak terbiasa bukan sesuatu yang mudah. Ditambah sikap duduk tegak, memposisikan punggung lurus. Agar sirkulasi udara saat bernafas lancar dan menyehatkan. Disamping memudahkan untuk fokus atau konsentrasi pada sasaran.
Sah-sah saja mengartikan jemparingan bukan semata-mata aktivitas olahraga, permainan, hiburan serta wisata. Namun tradisi atau budaya luhur yang memberi ajaran tentang berbagai nilai keutamaan hidup.
Jemparingan dilakukan dengan cara duduk bersila. Ini tidak lepas dari gagasan Sri Sultan Hamengku Buwono I mendorong para pengikutnya untuk belajar memanah sebagai sarana membentuk watak kesatria.
Pada mulanya jemparingan hanya diperuntukkan bagi keluarga kerajaan atau keraton dan prajuritnya. Watak kesatria yang dimaksud Sri Sultan HB I meliputi empat nilai agar dapat menjadi pegangan bagi rakyat Yogyakarta. Yaitu sawiji, greget, sengguh, dan ora mingkuh.
Sawiji artinya konsentrasi, greget artinya semangat, sengguh berarti rasa percaya diri. Ora mingkuh berarti memiliki rasa tanggung jawab.
Mengapa dilakukan dengan cara duduk bersila ? Ini tidak lepas dari nilai keutamaan yang mesti menjadi pegangan bagi mereka yang ingin memiliki jiwa kesatria. Bersikap tidak congkak atau sombong. Duduk bersila selain menggambarkan kesopanan juga sifat merendah sebagai bentuk hormat atau menghargai orang lain. Tetapi bukan rendah diri.
Tidak menunjukkan permusuhan atau perlawanan. Mengutamakan kesantunan manakala bertemu atau berhadapan dengan siapa saja. Padahal benda yang ada di depannya adalah busur beserta anak panah, merupakan senjata yang cukup mematikan jika dipergunakan dengan cara yang tepat dan benar.
Jika pernah mencoba memanah dengan panah modern, dimana busurnya dibuat seringan mungkin. Serta berbagai alat bantu yang terpasang di busur sehingga memperbaiki tingkat akurasi ketepatan dalam memanah target atau sasaran.Â
Maka tidak demikian halnya dengan alat panah tradisional yang tanpa tambahan alat bantu apapun untuk menghasilkan bidikan yang akurat.
Sebagai perbandingan, saya pernah menggunakan busur panah modern akhir tahun lalu. Dilakukan dengan berdiri, bidikan saya kedua mengenai lingkaran berwarna kuning, setelah bidikan pertama di luar lingkaran sasaran tetapi tetap menancap di papan sasaran atau target.
Sementara dengan panah tradisional, pertengahan Maret tahun 2023, memanah mesti duduk bersila dan punggung tegak. Belum lagi saat menarik anak panah yang sudah terpasang di tali busur, ternyata cukup berat.
Hasilnya, maaf jangan kaget dengan hasil bidikan panahan saya. Ternyata lebih dibandingkan dengan menggunakan busur atau alat panah modern. Anak panah yang saya lepaskan berada lebih jauh menancap di atas sasaran atau target.
Sehingga untuk mengambil anak panah itu, rekan-rekan dari Paseduluran Langenastro Yogya mesti saling punji atau gendong. Duh, maafkan saya.Â
Ternyata hasil bidikan saya tersebut dikalahkan oleh bidikan Kompasianer Jogja lainnya. Anak panahnya malah jauh melesat melintas di atas papan sasaran, sampai ke perkebunan di belakangnya.
Hasil bidikan kedua yang  saya lakukan, agak lumayan karena berhasil mendekatkan anak panah ke sasaran atau target. Tapi pada bidikan ketiga hasilnya tidak terduga.Â
Anak panah yang saya lesatkan tak cukup tenaga untuk sampai ke papan sasaran. Alias menancap di tanah jauh di depan target. Hasil yang mengecewakan pada percobaan pertama Jemparingan, sore itu di pertengahan Maret. Terbesit keinginan untuk.mencoba lagi di lain waktu.
Ternyata untuk menarik tali busur guna melontarkan anak panah atau jemparing butuh tenaga. Serta kemampuan mengatur nafas yang baik. Saya tak berani untuk melanjutkan bidikan keempat.
Alasannya cukup masuk akal. Bagaimana jika anak panah yang saya tembakan tidak melesat jauh. Tetapi hanya terlontar beberapa meter di depan saya duduk ? Â
Ssst, tapi ada yang lebih lucu sore itu. Kompasianer Jogja yang merasa heran dengan jemparing atau anak panahnya yang tidak melesat jauh ke depan. Tapi tetap menempel di busurnya.
Usut, punya usut ternyata ketiga jarinya tidak melepaskan tali busur. Masih ada sisa satu jari yang menarik tali busur. Kami yang mendengar kontan tertawa dan senyum-senyum. Tahu siapa ? Sepertinya akan susah menemukan karena dia tidak menceritakannya.
Pengalaman pertama jemparingan bersama Kjog (Kompasianer Jogja) di Event Kjog cukup membangkitkan rasa penasaran. Setidaknya sebelum mencoba lagi mesti sering berlatih olah nafas dan olahraga agar memiliki kemampuan menahan nafas lebih lama. Tangan dan lengan lebih kuat agar bisa lebih fokus dalam membidik sasaran atau wong-wongan.Â
Kalau untuk membidik hati wong yang cantik, apakah perlu juga belajar olah nafas ? Supaya saat nembak tidak gagap, grogi, gemetar dan salah tingkah ?
Atau apakah saya mesti belajar pada Cupid, sosok dalam mitologi Romawi yang selalu tepat dalam membidik dua hati manusia sehingga membuat mereka saling jatuh cinta ?
Sayang, saat pertama kali jemparingan. Saya tidak melihat Srikandi masa kini, andai ada barangkali saya bisa jatuh cinta. Eh, bisa belajar padanya. Lagi-lagi, angan melesat jauh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H