Seni menyulam kristik semakin kehilangan peminat. Satu persatu dari mereka sudah berkurang kemampuannya untuk menyulam atau sudah dibawa waktu untuk berkumpul bersama dalam alam keabadian. Seperti budhe saya, yang gemar menyulam kristik dan hasilnya menjadi hiasan dinding rumah yang menawan dilihat.Â
Saat masih duduk di SMA, saya pernah mendapat hadiah sulaman kristik darinya, kemudian saat saya kost di Jogja sulaman kristik itu saya pajang di kamar kost. Sulaman kristik itu merupakan hadiah atas sebuah pilihan. Budhe sudah berada jauh di sana bersama pakdhe, mungkin senyum-senyum lihat polah ponakannya.
Menyulam Yogya
Kembali ke Ibu Sulam, saat saya ngobrol dengannya sedikit tersirat rasa sedihnya karena sekeliling Alun-alun Utara kini dipagari, sehingga orang tidak dapat masuk ke area Alun-alun Utara. Ibu Sulam sempat merasa bingung harus menyulam dimana karena selama ini kegiatan menyulamnya dilakukan di bawah salah satu pohon beringin yang ada di tengah alun-alun.
Kini kegiatannya kerap dilakukan di sekitar Jl. Pangurakan atau di sebelah timur Alun-alun Utara, tepatnya di Pendopo Lawas. Tidak ada salahnya jika bertemu dengan Ibu Sulam di sekitar alun-alun atau Titik Nol bertanya seputar sulam kristik atau ngobrol apa saja. Sambil menikmati suasana Jogja.
Di Indonesia sendiri seni menyulam kristik menurut beberapa catatan tumbuh saat zaman penjajahan kolonial Belanda. Maka tidak heran jika pola gambar kristik bergambar bangunan, bunga dan orang Eropa sempat jadi warna khas hasil sulaman kristik. Perempuan dengan membawa payung, pemandangan dengan bangunan khas Eropa. Namun sejalan dengan waktu, wajah Doraemon juga menjadi pola sulaman kristik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H