12 tahun tinggal di Yogyakarta ternyata tidak membuatnya bosan. Anak-anaknya sudah meminta pulang atau ikut dengan mereka. Tetapi ibu yang sudah paruh baya ini selalu menolak dengan alasan masih senang tinggal di Yogya.
"Ora papa, nyong isih seneng." Jelas sosok ibu yang logatnya masih kental dengan ngapak-ngapaknya, saat menjelaskan kepada anak-anaknya, waktu  saya menanyakan bagaimana dengan putra-putrinya.Â
Ibu yang berasal dari Purwokerto manakala saya temui suatu siang di bulan Oktober di seputaran Titik Nol Yogyakarta. Tepatnya di depan galeri Museum Sono Budoyo Jl. Pangurakan, dahulu dikenal dengan nama Gedung Koni Jl. Trikora.
Lima tahun lalu, suaminya yang bekerja sebagai Abdi Dalem Kraton Yogyakarta meninggal. Tetapi ibu yang memilik nama Indarti merasa masih senang tinggal di Yogya, tidak jauh dari Alun-alun Utara. Sekitar Plengkung Wijilan.
Yang menarik dari Indarti, ibu ini asyik dengan aktivitasnya merajut kristik saat berada di depan galeri Museum Sono Budoyo. Seolah tak peduli dengan lalu-lalang orang berjalan melewatinya dan suara gemuruh mesin kendaraan yang berseliweran di Jl. Pangurakan.
Kira-kira satu minggu ini, Indarti lebih banyak berada di depan galeri karena menunggu orang yang memesan kristiknya dan sekalian menanti seorang teman jelasnya. Biasanya lebih banyak di Alun-alun Utara atau di Pendopo Lawas.
Orang memanggilnya Ibu Sulam
Menurut penuturannya, orang-orang di sekitat Alun-alun Utara dan Titik Nol Yogyakarta lebih sering memanggilnya dengan nama Ibu Sulam. Mungkin karena aktivitasnya di tempat itu lebih banyak menyulam dibandingkan melihat kesibukan orang yang lalu-lalang.Â
Dalam mengisi hari-harinya Ibu Sulam lebih sering menyulam kristik bergambar Bung Karno karena lebih banyak peminatnya dibanding sulaman lainnya. Figur Bung Karno walau sudah lama tiada ternyata tetap dan dapat menginspirasi untuk mendapatkan rejeki.
Sementara itu ibu-ibu yang tergabung dalam Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera (UPPKS) Mekar Berseri di Ngampilan Yogyakarta pernah membuat tas sulam dari pita dan sudah dipasarkan. Bagaimana saat ini ? Waktu bersama zaman terus bergulir. Menyisakan banyak cerita dan tanda.
Seni menyulam kristik semakin kehilangan peminat. Satu persatu dari mereka sudah berkurang kemampuannya untuk menyulam atau sudah dibawa waktu untuk berkumpul bersama dalam alam keabadian. Seperti budhe saya, yang gemar menyulam kristik dan hasilnya menjadi hiasan dinding rumah yang menawan dilihat.Â
Saat masih duduk di SMA, saya pernah mendapat hadiah sulaman kristik darinya, kemudian saat saya kost di Jogja sulaman kristik itu saya pajang di kamar kost. Sulaman kristik itu merupakan hadiah atas sebuah pilihan. Budhe sudah berada jauh di sana bersama pakdhe, mungkin senyum-senyum lihat polah ponakannya.
Menyulam Yogya
Kembali ke Ibu Sulam, saat saya ngobrol dengannya sedikit tersirat rasa sedihnya karena sekeliling Alun-alun Utara kini dipagari, sehingga orang tidak dapat masuk ke area Alun-alun Utara. Ibu Sulam sempat merasa bingung harus menyulam dimana karena selama ini kegiatan menyulamnya dilakukan di bawah salah satu pohon beringin yang ada di tengah alun-alun.
Kini kegiatannya kerap dilakukan di sekitar Jl. Pangurakan atau di sebelah timur Alun-alun Utara, tepatnya di Pendopo Lawas. Tidak ada salahnya jika bertemu dengan Ibu Sulam di sekitar alun-alun atau Titik Nol bertanya seputar sulam kristik atau ngobrol apa saja. Sambil menikmati suasana Jogja.
Di Indonesia sendiri seni menyulam kristik menurut beberapa catatan tumbuh saat zaman penjajahan kolonial Belanda. Maka tidak heran jika pola gambar kristik bergambar bangunan, bunga dan orang Eropa sempat jadi warna khas hasil sulaman kristik. Perempuan dengan membawa payung, pemandangan dengan bangunan khas Eropa. Namun sejalan dengan waktu, wajah Doraemon juga menjadi pola sulaman kristik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H